Beranda » Inovasi Teknologi dalam Menghadapi Perubahan Iklim Pada Pertanian

Inovasi Teknologi dalam Menghadapi Perubahan Iklim Pada Pertanian

Oleh : Viola Khairunnisa

Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming) dan diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, Dampak dari perubahan iklim ini tentu memengaruhi berbagai sektor. Bidang pertanian adalah salah satu sektor yang paling terkena dampaknya.pada sektor budidaya hortikultura, kondisi perubahan iklim bisa menyebabkan banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara dan permukaan laut, perubahan curah hujan, meningkatnya potensi serangan OPT, serta memengaruhi produktivitas dan praktik budidaya yang dilakukan.

Pada sektor pertanian, perubahan iklimdapat menyebabkan potensi penurunan kualitas bulir padi. Selain itu, perubahan iklim juga berpotensi menurunkan produktivitas padi di Bali sebesar 0.54% (rentang waktu 2019-2023) dan memiliki kencendrungan penurunan yang lebih besar, yaitu menurun 7,95% pada rentang waktu 2039-2042 (Gambar 1 ). Penurunan kualitas bulir padi disebabkan oleh suhu udara yang semakin hangat akibat pemanasan global, sementara itu menurunnya produktivitas padi disebabkan oleh pergeseran musim yaitu semakin panjangnya musim kemarau.

Gambar 1. Proyeksi Perubahan Produksi Padi Tahun 2019-2042 Sebagai Dampak Perubahan Iklim.

Selain banjir dan kekeringan, ada dampak lain yang ditimbulkan perubahan cuaca untuk sektor pertanian. Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OTP) akan meluas dan merusak lahan petani. Hama adalah makhluk hidup yang siklus hidupnya juga dipengaruhi oleh iklim; temperatur dan kelembapan udara relatif. Contohnya, pada musim kemarau serangga dan hama kecil akan berkembang biak dan menyerang tanaman karena tidak ada terpaan air hujan. Disisi lain, ketika ada percikan air yang berlebih disertai angin di musim hujan, bakteri juga akan menempel pada tanaman. Sebagai contoh bakteri keresek yang mengakibatkan gagal panen bawang merah

Pada saat ini, Sektor pertanian kini semakin maju dengan memanfaatkan teknologi 4.0.  Kondisi perubahan iklim juga perlu ditangani dengan teknologi 4.0 di bidang pertanian. Teknologi tersebut diharapkan mampu meminimalisir risiko-risiko kerugian dalam budidaya. Digitalisasi 4.0 akan terus berkembang. Semua sektor tak terkecuali pertanian harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Pada masa depan, semua data akan berbasis digital dan terhubung dengan internet. Pemanfaatan IoT dan software akan sangat membantu petani dalam menghadapi situasi perubahan iklim yang tidak menentu. Petani dapat memantau dan mengontrol lahan mereka dari jarak jauh. Bahkan, mereka dapat melacak pertumbuhan tanaman, mendeteksi kebakaran lahan atau banjir dari handphone atau komputer. Dampak perubahan iklim seperti suhu dan curah hujan juga dapat dideteksi. Hal ini memungkinkan petani untuk mengambil tindakan dan pencegahan dini guna menghindari gagal panen akibat perubahan iklim

Petani pastinya menggunakan pestisida untuk mengusir hama. Disisi lain, penggunaan pestisida yang berlebih tentunya tidak baik bagi kesehatan tubuh dan tanaman. Bahkan, apabila pestisida atau obat kimia terlalu banyak digunakan akan menimbulkan resistensi antibiotik. Oleh karna itu,  Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo terus mendorong pertanian berkelanjutan (precision agriculture) dengan memanfaatkan teknologi untuk menghadapi perubahan iklim. Profesor Riset Kementerian Pertanian Fadjry Djufry juga menawarkan smart farming inovatif yang berbasis teknologi budidaya adaptif untuk mengatasi perubahan iklim. Lalu, teknologi apa yang dapat digunakan untuk menunjang program smart farming ini? Ya, seperti menggunakan drone dan sensor.

Penggunaan drone dan sensor untuk pertanian berkelanjutan sudah banyak diimplementasikan oleh negara berkembang, seperti Jepang. Petani dapat menggunakan drone untuk pemetaan lahan dan penyemprotan kebun secara masif. Dalam pemetaaan tanah, drone membantu petani dalam menganalisis kondisi kesuburan tanah dan titik air untuk dibuat saluran irigasi. Drone yang dilengkapi dengan sensor dapat membaca titik hama di setiap tanaman.

Oleh karena itu, penggunaan pestisida dapat terkendali dan tidak menyebabkan resistensi antibiotik bagi hama. Disamping itu, kesehatan petani dapat lebih terjaga akibat paparan bahan kimia. Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi.

Digitalisasi 4.0 akan terus berkembang. Semua sektor tak terkecuali pertanian harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Balai Penelitian Tanah Balitbang Kementan Al Dariah menambahkan bahwa penerapan teknologi 4.0 telah banyak digunakan dalam hal pengembangan kalender tanam. Kalender tanam yang ada saat ini dikembangkan dengan menggunakan big data dan diolah oleh artificial intelligence dan dapat diakses dengan menggunakan android. Selain itu Beberapa teknologi 4.0 lainnya adalah pemodelan iklim dari sistem informasi indeks inventarisasi kerentanan (SIDIK), sistem pengendali otomatis irigasi lahan produksi hingga inovasi terbaru di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menghitung emisi gas rumah kaca di lahan pertanian.

Terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, alat ini bisa dipasang di berbagai lokasi sehingga emisi gas bisa dimonitor secara real time. Dengan demikian, apabila emisi gas dinilai melebihi batas yang ditetapkan, maka akan bisa segera diintervensi. “Jadi bisa langsung diakses petani langsung di lapangan. Penggunaan kalender tanam tradisional dengan adanya penyimpangan musim akan sulit diimplementasikan. Ini sangat memudahkan,” ujar Al Dariah. Selain itu, ada lagi teknologi soil sensing yang berhubungan dengan aspek adaptasi, serta inovasi teknologi presisi, misalnya pengembangan pompa bertenaga surya.

Teknologi yang dibutuhkan antara lain prediksi cuaca, jumlah air, kondisi tanah dengan pemasangan sensor, waktu pemupukan yang tepat dan jumlah pemupukan, serta cara menghadapi dan menangani serangan hama. Informasi yang didapatkan dari sensor tersebut harus bisa dipahami oleh petani dan bisa diakses secara realtime. Teknologi ini tak hanya bisa digunakan untuk sisi budidaya, tetapi dimanfaatkan untuk menduga emisi gas rumah kaca.Praktisi teknologi irigasi tetes komoditas hortikultura pada lahan kering, Yance, menyampaikan, saat ini banyak lahan di Indonesia yang tidak dimaksimalkan dengan baik karena kondisi iklim yang tidak menentu. Faktor lain yang juga memengaruhi adalah ketersediaan air yang terbatas.

Maka dari itu pada saat ini  Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi telah menjadi kenyataan yang memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupunnasional. Dalam menyikapi perubahaniklim, Kementerian Pertanian telah menyusun suatu strategi yang meliputi tiga aspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Strategi antisipasi dilakukan denganmelakukan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampaknegatifnya terhadap sektor pertanian. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif perubahan iklim. Upaya tersebut akan bermanfaat dan lebihefektif bila laju perubahan iklim tidakmelebihi kemampuan upaya adaptasi. Olehkarena itu, perlu diimbangi dengan upaya mitigasi, yaitu mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca.

Bagikan Artikel Ini