Darurat Judi Online dan Akar Masalah Yang Tak Pernah Selesai

Perjudian online telah menjelma menjadi salah satu ancaman serius bagi kehidupan sosial,
ekonomi, dan moral masyarakat indonesia. Tidak lagi terbatas pada ruang-ruang gelap, kini praktik ini telah masuk pada kalangan anak-anak, mahasiswa, hingga meja kekuasaan pejabat publik.

Maraknya kasus ini bukan hanya menggambarkan lemahnya pengawasan digital, tetapi juga memperlihatkan krisis tata kelola publik yang gagal melindungi warganya dari bahaya struktural yang semakin meluas. Fenomena judi online menyoroti buruknya koordinasi antar-lembaga, rendahnya kecepatan respons institusi negara, dan minimnya kepekaan terhadap pergeseran ancaman berbasis teknologi.

Sejumlah pakar hukum menyatakan bahwa aparat kepolisian sebetulnya bisa memulaipenyelidikan terhadap pejabat atau pengusaha yang diduga terlibat dalam jaringan judi online tanpa menunggu laporan masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa sesungguhnya yang dipertanyakan bukan lagi kemampuan teknis, melainkan keberanian institusional untuk menindak pelaku kelas kakap. Kondisi ini menunjukkan bagaimana budaya birokrasi yang permisif, penuh kalkulasi politik, dan minim akuntabilitas telah menghambat kehadiran negara secara tegas. Penyelidikan yang lambat juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, memperdalam jurang antara negara dan rakyat.

Lebih parahnya lagi, laporan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
mengungkap bahwa pada tahun 2023 saja, terdapat rp327 triliun perputaran dana dari aktivitas judi online. Angka ini bukan hanya menunjukkan skala besar kerugian ekonomi, tetapi juga mencerminkan betapa lemahnya sistem pengawasan transaksi keuangan di indonesia. Jika uang sebesar itu bisa bergerak tanpa terdeteksi sejak awal, berarti sistem deteksi dini negara berjalan sangat lambat atau bahkan sengaja diabaikan. Ini adalah bentuk kegagalan sistemik yang mencakup tata kelola keuangan negara, kebijakan pengendalian resiko sosial, dan sistem pengawasan digital. Secara pribadi, saya menilai negara telah kehilangan kontrol atas sistem yang seharusnya menjadi tameng bagi warganya, bukan malah menjadi ladang pembiaran.
Dampak sosial dari judi online juga begitu meresahkan. Tidak kurang dari 960.000
mahasiswa dan pelajar terjerat dalam aktivitas ini, dan 60% dari total pengguna merupakan generasi milenial dan z. Ironisnya, sebagian besar dari mereka berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Ini memperlihatkan bahwa judi online bukan hanya menyasar secara acak, tetapi mengeksploitasi kerentanan sosial dan ekonomi generasi muda. Hal ini menunjukkan lemahnya fungsi preventif negara, baik melalui regulasi teknologi, sistem pendidikan, maupun literasi keuangan. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai hasil dari kebijakan negara yang gagal memprioritaskan pendidikan karakter dan etika digital dalam kurikulum sekolah serta kampus.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah lingkungan sosial yang permisif terhadap praktik judi online. Pendapat pengamat keuangan, Wayan Nuka Lantara, menyebut bahwa kemudahan akses dan sistem pembayaran menjadi pemicu utama judi online di kalangan mahasiswa. Menurut saya, ini menandakan bahwa negara belum mampu membangun sistem etika publik yang kuat di tengah gelombang teknologi. Sistem yang baik semestinya tidak hanya mengatur, tetapi juga membentuk kesadaran dan tanggung jawab warga melalui pendekatan edukatif yang konsisten.

Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari podcast jumatan PPATTK menyebutkan adanya
80.000 pemain judi online berusia di bawah 10 tahun. Kondisi ini benar-benar menunjukkan
kehancuran sistem perlindungan anak. Jika anak-anak dapat dengan mudah mengakses situs judi, maka kita perlu mempertanyakan efektivitas kebijakan sensor internet serta sejauh mana institusi negara melibatkan orang tua dan masyarakat dalam pengawasan. Peran orang tua sangat vital, namun negara tidak bisa hanya bergantung pada rumah tangga.

Dibutuhkan sistem dukungan sosial dan kelembagaan yang aktif dan preventif.
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 yang membentuk satgas pemberantasan judi online patut diapresiasi sebagai langkah konkret. Namun, tanpa transparansi, partisipasi publik, dan evaluasi berkala, satgas hanya akan menjadi simbol reaktif tanpa hasil yang nyata. Pemerintah harus mulai melihat isu ini bukan semata sebagai kasus kriminalitas, tetapi sebagai penyakit sosial yang harus ditangani melalui kebijakan publik holistik yang meliputi pencegahan, edukasi, rehabilitasi, serta penindakan.

Persoalan judi online di Indonesia adalah refleksi dari lemahnya kontrol administratif, buruknya desain kebijakan teknologi, serta minimnya komitmen politik untuk melindungi rakyat. Ini adalah tantangan bagi semua pihak untuk mengubah paradigma dari sekadar menindak, menjadi mampu mencegah dan memberdayakan. Sebab ketika negara gagal mencegah kejahatan yang terorganisir dan masif, maka yang dipertaruhkan bukan hanya integritas hukum, tetapi masa depan sosial seluruh generasi.

Bagikan Artikel Ini