Oleh: Nazira Aulia Az-Zahra,Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Universitas Lampung
Demokrasi Indonesia kembali diuji. Pilkada Kabupaten Serang 2024 menjadi sorotan nasional setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Alasannya: ada indikasi keterlibatan struktural, yaitu kepala desa yang digerakkan untuk memenangkan calon tertentu. Ironisnya, intervensi itu melibatkan seorang pejabat negara, Menteri Desa Yandri Susanto yang juga petinggi partai dan suami dari salah satu calon.
Kasus ini bukan sekadar sengketa elektoral biasa. Ia adalah cermin dari kerapuhan sistem demokrasi lokal, lemahnya institusi partai, dan peliknya dilema antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup.
Indonesia menganut sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif. Artinya, rakyat bisa langsung memilih nama calon, bukan hanya partainya. Di satu sisi, sistem ini memberi kekuatan kepada pemilih untuk memilih siapa yang dianggap layak. Tapi di sisi lain, sistem ini justru membuka ruang persaingan yang brutal tidak hanya antarpartai, tetapi juga antarcalon dalam satu partai yang sama.
Akibatnya, kandidat yang ingin menang harus mengeluarkan biaya besar: dari “uang perahu” untuk partai, biaya saksi TPS, sampai politik uang kepada pemilih. Tak heran jika mereka kemudian “berutang” kepada para pendukung finansial dan penguasa lokal. Inilah yang kemudian membentuk jaringan klientelistik: politik transaksional yang didasarkan pada kepentingan, bukan ideologi.
Pilkada Kabupaten Serang memperlihatkan dengan gamblang bagaimana negara bisa ikut bermain dalam kompetisi politik lokal. Dalam laporan yang masuk ke MK, puluhan kepala desa se-Kabupaten Serang diduga diarahkan untuk mendukung pasangan calon nomor urut 2, Ratu Rachmatuzakiyah-Muhammad Najib Hamas.
Yang menjadi persoalan, Ratu Rachmatuzakiyah adalah istri dari Menteri Desa Yandri Susanto yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN). Keterlibatan seorang menteri dalam kegiatan politik praktis di wilayah yang berada langsung di bawah otoritasnya menimbulkan konflik kepentingan yang nyata. MK pun menyatakan bahwa telah terjadi konvergensi kepentingan antara posisi pejabat negara dan aktivitas politik lokal.
Dalam pemungutan suara pertama, pasangan Ratu-Najib menang besar dengan lebih dari 70% suara. Namun setelah PSU, meskipun suara mereka menurun, tetap menang signifikan. Tapi kemenangan ini tetap menyisakan luka demokrasi yang dalam: apakah suara rakyat benar-benar bebas, atau sekadar hasil mobilisasi kekuasaan?
Sistem proporsional terbuka dirancang untuk memperkuat hubungan kandidat dengan rakyat. Namun dalam praktiknya, ia justru menciptakan pemilu yang mahal dan transaksional. Kandidat yang kuat bukan mereka yang punya gagasan atau program, tetapi yang punya modal dan akses ke jaringan kekuasaan.
Partai politik sebagai institusi kini menghadapi krisis legitimasi. Alih-alih menjadi ruang pembinaan kader ideologis dan pemimpin visioner, banyak partai justru sibuk mengejar figur yang populer atau bermodal besar. Proses kaderisasi yang seharusnya menjadi fondasi partai tergantikan oleh praktik transaksional dan pencitraan instan. Partai menjadi kendaraan pragmatis, bukan lagi rumah ideologi.
Sebaliknya, sistem proporsional tertutup di mana pemilih hanya mencoblos partai, bukan individu kerap dikritik karena terlalu elitis. Mekanisme ini memberikan kekuasaan penuh kepada elite partai dalam menentukan siapa yang duduk di parlemen, yang berpotensi menutup ruang aspirasi akar rumput. Namun, sistem ini juga memiliki sisi positif: biaya pemilu menjadi lebih efisien, logistik penyelenggaraan lebih sederhana, dan potensi konflik internal antarcalon dalam satu partai dapat diminimalkan.
Lalu, Apa Solusinya?
Bukan soal terbuka atau tertutup, tetapi tentang bagaimana memperkuat institusi politik kita. Jika sistem terbuka ingin tetap dipertahankan, maka:
Partai politik harus dibenahi, perkuat kaderisasi, seleksi kandidat berbasis prestasi, dan kurangi dominasi elite.
Batasi konflik kepentingan, pejabat publik, apalagi menteri, harus benar-benar steril dari urusan politik praktis saat menjabat.
Perkuat pengawasan dan transparansi, tidak cukup hanya pengawasan formil, perlu keterlibatan masyarakat sipil dalam setiap tahapan pemilu.
Pendidikan politik rakyat harus digencarkan, agar rakyat tidak mudah disuap suara atau dimobilisasi oleh janji semu.
Jika tidak, maka pemilu hanya menjadi ritual formal demokrasi, bukan substansi. Rakyat hanya dijadikan “penonton” dalam skenario yang sudah diatur dari awal.
Serang: Simbol Masalah Nasional
Kasus Pilkada Kabupaten Serang mungkin bukan satu-satunya, tetapi ia mencerminkan dengan jelas betapa rapuhnya batas antara kekuasaan negara dan kepentingan politik di Indonesia. Ketika pejabat publik justru terlibat dalam manuver politik praktis untuk memenangkan calon tertentu, maka esensi demokrasi yakni kebebasan dan keadilan dalam memilih runtuh seketika.
Kita tidak bisa lagi menggantungkan harapan pada sistem pemilu semata untuk menyelamatkan demokrasi. Yang kita butuhkan adalah reformasi politik yang menyentuh akar persoalan: dari pembenahan partai politik, penegakan etika jabatan publik, hingga pemberdayaan masyarakat sipil sebagai pengawas aktif. Sistem yang baik tidak akan berjalan tanpa aktor-aktor yang berintegritas dan berani menolak godaan kekuasaan.
Demokrasi tidak akan bisa berjalan secara otomatis. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, kontrol yang ketat, dan keberanian moral dari seluruh elemen bangsa. Kasus di Kabupaten Serang adalah lonceng peringatan yang keras bahwa jika praktik kecurangan terus dibiarkan, maka kita bukan sekadar mencederai proses pemilu, tetapi sedang menggali kubur bagi masa depan demokrasi itu sendiri.