Di era global yang ditandai oleh arus informasi yang deras dan teknologi komunikasi tanpa batas, budaya Barat dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Pengaruhnya merasuk melalui media sosial, film, musik, fashion, bahkan nilai-nilai sosial yang kini mewarnai kehidupan generasi muda.
Menurut Prof. Dr. Suryanto, pakar kebudayaan dari Universitas Indonesia, “Globalisasi budaya bukan sesuatu yang bisa dihindari, tetapi harus dikelola dengan kecerdasan budaya.” Pandangan ini menekankan pentingnya sikap kritis dan selektif dalam menerima budaya asing.
Survei Statista (2023) mencatat bahwa 62% generasi muda Indonesia lebih sering mengonsumsi konten Barat seperti film Hollywood, musik pop, dan serial Netflix dibandingkan karya budaya lokal. Sementara itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2022) mengungkapkan bahwa lebih dari separuh remaja Indonesia di perkotaan mengalami penurunan kemampuan berbahasa daerah.
Pengaruh budaya Barat tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Perayaan seperti Halloween dan Valentine’s Day kini lebih populer di kalangan anak muda dibandingkan tradisi lokal seperti Sedekah Bumi atau Selamatan. Budaya gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia perlahan tergantikan oleh nilai-nilai individualistik.
Kita bisa lihat sekeliling, dari Spotify yang didominasi lagu Barat, film Marvel yang selalu nongol di bioskop, sampai tren TikTok yang seringnya ikutin gaya Amerika atau Korea. Globalisasi bikin budaya Barat masuk ke mana-mana, termasuk Indonesia. Pertanyaannya: apakah ini bahaya buat budaya kita, atau malah bikin kita makin kreatif?
Tapi di sisi lain, globalisasi juga membuka peluang bagi budaya Indonesia untuk dikenal dunia. Melalui platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok, banyak anak muda yang berhasil mempromosikan budaya lokal secara kreatif. Contohnya, musik tradisional yang diaransemen secara modern, batik yang dipadukan dengan gaya busana kekinian, atau kuliner Indonesia yang diangkat dalam konten-konten viral.
Misalnya, akun TikTok @tariannusantara berhasil mempopulerkan tari tradisional ke khalayak global. Musikus seperti Denny Caknan dan Fiersa Besari juga sukses memadukan nilai lokal dengan gaya musik modern.
Dalam menghadapi tantangan ini, langkah reaktif seperti menolak budaya asing sepenuhnya tidaklah produktif. Sebaliknya, pendekatan kolaboratif yang inklusif lebih efektif. Berikut beberapa strategi yang disarankan:
1. Pendidikan Multikultural dan Literasi Budaya
Pemerintah melalui Kemendikbudristek perlu memperkuat kurikulum yang berbasis muatan lokal. Penanaman nilai-nilai budaya sejak usia dini akan membentuk identitas nasional yang kuat.
2. Regulasi dan Kebijakan Budaya
Penerapan quota budaya lokal pada media siaran dan platform digital dapat menjadi langkah afirmatif. Contohnya, minimal 30% konten radio atau televisi diisi oleh musik dan program berbahasa Indonesia atau daerah.
3. Dukungan terhadap Kreator dan Komunitas Lokal
Pemerintah dan sektor swasta dapat memberikan insentif berupa dana hibah, pelatihan digital, dan eksposur media bagi para kreator lokal. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melaporkan bahwa ekspor produk budaya seperti batik dan tenun meningkat hingga 12% pada 2023, berkat digitalisasi dan promosi lintas platform.
Globalisasi budaya Barat merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Namun, nasib budaya lokal tidak ditentukan oleh seberapa kuat pengaruh asing, melainkan oleh seberapa cerdas kita menyikapinya. Sekolah dan orang tua harus ajarkan anak pentingnya melestarikan tradisi, selain itu Generasi muda juga memiliki peran sentral dalam menjaga, mengembangkan, sekaligus mempromosikan budaya lokal ke dunia internasional.
Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, budaya lokal tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang menjadi kekuatan identitas bangsa di era global. Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk aktif menjadi pelaku dalam pelestarian budaya, bukan sekadar pengamat.
Daripada anti-Barat, mending kita pilih-pilih: Jangan malu cinta budaya sendiri. Gaul itu oke, tapi jangan sampai lupa diri.
Penulis:
Riska Devi Septiani
Angga Rosidin S.I.P., M.A.P
Zakaria Habib Al-Raʼzie, S.I.P., M.Sos.
(Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang – Serang)