Beranda » Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Covid-19

Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Covid-19

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Covid-19 merupakan global pandemi yang tentunya menimbulkan kekhawatiran bagi berbagai kalangan, terutama masyarakat. Covid-19 meningkat dalam waktu yang relatif singkat, kepedulian masyarakat terus tumbuh seiring dengan banyaknya kasus positif dan kematian.

Virus yang tersebar di seluruh negara di dunia ini memang tidak bisa dipungkiri bahwa penyebarannya sangat cepat. Kebijakan merupakan awal landasan yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut sukses. Pengambilan keputusan atas antisipatif yang berkaitan dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19, pengelolaan infeksi pasien, perlindungan tenaga kesehatan, dan pengendalian perhatian publik harus ditimbangkan secara matang.

Sejak tanggal 15 Maret 2020, Presiden meminta pemda membuat kebijakan belajar dari rumah untuk pelajar dan mahasiswa. Hal tersebut dikuatkan dengan pers Presiden di Istana Bogor pada hari yang sama. Presiden menyuarakan masyarakat untuk kerja dari rumah, belajar di rumah, dan ibadah di rumah. Sejak saat itu juga pemerintah menyerukan pembatasan sosial (social distancing) dalam rangka mencegah penularan covid 19.

Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Indonesia Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 yang sebagai tanggapan terhadap Covid-19, menetapkan pembatasan sosial yang luas yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang di dalam dan di luar negeri di wilayahnya masing-masing, asalkan telah mendapat persetujuan dari kementerian terkait (dalam hal ini Kementerian Kesehatan di bawah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto). Peraturan tersebut juga mengatur bahwa pembatasan kegiatan yang dilakukan meliputi paling sedikit liburan sekolah dan kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Bersamaan dengan itu, Perpres No. 11 Tahun 2020 juga ditandatangani, yang menyatakan pandemi virus Corona sebagai bencana nasional. Pengembangan kedua peraturan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Sanitasi yang mengatur ketentuan mendasar untuk PSBB.

Kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) memunculkan kritikan dari berbagai kalangan. PSBB ini membuat mansyarakat kesulitan untuk mencari rezeki apalagi pada masyarakat kalangan bawah yang masih mencari pekerjaan serabutan. Adapun dampak dari PSBB, yaitu;

  1. Transportasi

Karena kegiatan dilakukan dari rumah dan social distancing, jadi transportasi umum jarang digunakan. Contohnya, angkutan kota atau angkot yang biasanya ditaiki oleh siswa/siswi berangkat dan pulang sekolah tetapi karena sekolah dari rumah jadi angkot ini sepi dan mengalami penurunan ekonomi.

  1. Kuliner

Selain itu, pembatasan jam buka pusat perbelanjaan atau mall hingga pukul 19.00 WIB. Hal ini juga akan mengurangi perdagangan dan aliran uang. Belum lagi  pembatasan makanan maksimal 25% yang akan mengurangi penjualan para pelaku komersial restoran dan kafe.

  1. Hotel dan Tempat Wisata

Kebijakan ini  juga akan mempengaruhi kunjungan wisatawan dengan menutup berbagai fasilitas umum dan kegiatan sosial budaya. Hal ini akan berdampak pada industri perhotelan.

  1. Pertumbuhan Ekonomi

Kebijakan PSBB Jawa-Bali akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, karena hampir 55% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa dan hampir 60% PDB nasional berasal dari Jawa dan Bali. Kemudian, menurut sensus ekonomi 2016, sekitar 60,74% perusahaan atau bahkan 16,2 juta berada di pulau Jawa dan sekitar 63,38% atau bahkan 44,6 juta karyawan berada di pulau Jawa.

Hal ini menjadikan perekonomian Jawa sebagai barometer perekonomian nasional. Jika aktivitas ekonomi di Jawa dan Bali mereda, dipastikan akan berdampak pada perekonomian nasional.

Kebijakan ini baik dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19, namun di sisi lain hal ini sangat berdampak bagi masyarakat kecil. Dampak yang lain yakni pengurangan karyawan (PHK) karena adanya pengurangan karyawan maka persentase pengangguran akan bertambah. Apabila pengangguran bertambah, beban negeri akan meningkat serta timbulnya masalah sosial yang lain. Selain itu, bantuan sosial di Indonesia ini belum merata, masih banyak masyarakat kecil yang belum dapat bantuan dari pemerintah.

Pada awal Juli 2021 Presiden Joko Widodo mengumumkan kembali peraturan yang bertujuan untuk mengurangi angka pasien covid-19 di Indonesia. Kebijakan tersebut adalah ‘PPKM’ (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang mulai diberlakukan sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali. Namun, dari kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat itu masih belum menunjukan penurunan baik kasus aktif maupun angka kematian akibat Covid-19. Untuk itu, pemerintah memperpanjang PPKM Darurat yang diubah istilahnya menjadi PPKM Level 3 dan 4 sesuai dinamika kondisi Covid-19 secara nasional.

PPKM darurat yang dilaksanakan di Jawa-bali membatasi seluruh kegiatan masyarakat seperti pemberlakuan jam malam pada  supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari yang hanya boleh beroperasi hingga pukul 20.00 dengan kapasitas pengunjung maksimal 50 persen adapun toko obat boleh buka 24 jam., kerja di rumah atau work from home (WFH) 100 persen dan penutupan mall.

Oleh karena itu, banyak masyarakat yang mengalami kerugian hingga kehilangan pekerjaannya sehingga masyarakat menilai PPKM ini hanya sebuah gencatan yang dilakukan pemerintah demi terhapusnya covid-19 di Indonesia tanpa memikirkan keadaan rakyatnya yang sebenarnya lebih tersiksa karena pemberlakuan PPKM ini.

PPKM darurat level 4 diberlakukan 1 bulan tetapi tetap saja masih belum bisa mengendalikan kasus positif covid-19 secara optimal. Sebenarnya tujuan pemerintah sudah tepat yaitu menekan jumlah kasus covid di Indonesia demi terlepasnya Indonesia dari jeratan pandemi ini dengan membatasi kegiatan masyarakat diluar rumah dan peraturan lainnya terkait protokol kesehatan. Namun kembali lagi, seharusnya pemerintah juga harus memikirkan terlebih dahulu apa saja kebutuhan rakyatnya dan memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan dari kebijakan ini sehingga jika ada dampak buruk yang terjadi pemerintah sudah siap menghadapinya. Karena dengan PPKM ini masyarakat sangat dituntut karena pada praktiknya PPKM darurat hampir sama seperti kebijakan Lockdown yang telah diterapkan sebelumnya.

Masyarakat semakin memanas ketika adanya Menteri yang korupsi bantuan sosial. Seperti manusia yang tidak punya hati, bantuan sosial saja dikorupsi padahal masyarakat Indonesia sedang berjuang dikondisi pandemi seperti ini. Dengan begitu, hubungan masyarakat dan pemerintah masih belum baik dalam menghadapi Covid-19 ini. Pemerintah masih membuat kebijakan yang harus ditepati masyarakat tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat.

(***)

Bagikan Artikel Ini