Beranda » Harapan Pemuda untuk Politik di Indonesia

Harapan Pemuda untuk Politik di Indonesia

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Sebagai warga negara Indonesia yang dimana negara kita adalah negara berbentuk republik dengan sistem pemerintahan demokrasi tentu kita tidak asing lagi dengan kata ‘politik’. Politik berasal dari bahasa yunani yang diambil dari kata ‘politika’ dan juga berasal dari bahasa arab yang diambil dari kata ‘siyasah’, yang berarti dari, untuk, sesuatu yang berkaitan dengan warga atau hal yang berbau pemerintahan.

Secara definisi singkat politik adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari hubungan antara masyarakat dan pemerintah, tentang bagaimana masyarakat menyalurkan aspirasi kemudian memilih pejabat publik yang mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat di dalam pemerintahan, kemudian cara untuk memilih mana yang benar dan buruk, dan berusaha mencari tahu apakah kita bisa mengatur diri sendiri atau perlu ada sekumpulan orang bijak yang mengurus seluruh kehidupan masyarakat.

Siang hari disebuah kantin kampus yang sangat ramai, duduklah dua orang mahasiswa yang baru saja keluar kelas mata kuliah politik.

“Pusing ya kalo bahas politik itu hfft…” ucap ulum, mahasiswa yang lumayan benci tentang politik.

“Pusing kenapa sih? Seru-seru aja kok belajarnya!” ucap dowi, mahasiswa yang menyukai hal yang berbau politik.

“Seru darimana sih, heran gue. Kok ada ya orang yang suka politik” saut ulum yang semakin murung.

“Mau gimanapun politik itu penting tau buat kehidupan kita, apalagi negara kita negara demokrasi” jawab dowi dengan santai sambil minum es teh.

“Emang politik tuh apa sih?” tanya ulum yang mulai penasaran.

“Politik itu ilmu yang mengajarkan ke kita bagaimana cara mengelola kebijakan dengan baik, menjaga hubungan antar pemerintah dan warga supaya tetap harmonis, ya semacam itulah masa lu gatau sih” jawab dowi dengan nada santai.

“Terus politik diciptain ama siapa?” tanya ulum yang semakin penasaran.

“Kebanyakan dari kita sih taunya politik tuh berasal dari pemikiran-pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Padahal kalo kita telusuri lebih dalam politik tuh udah ada dari sejak penciptaannya nabi adam”. jawab dowi sambil senyum-senyum.

“Lah kok nyambung ke nabi adam sih, emang apa hubungannya dah?” tanya ulum yang mulai tertarik dengan politik.

“Lu mau tau ceritanya? Kan lu sendiri yang dulu bilang gak suka apapun yang berbau politik” ucap dowi dengan nada usil.

“Cepet ceritain dow, gua penasaran banget nih” ucap ulum yang kayaknya bener-bener udah tertarik dengan politik.

“Lu percayakan, semua yang ada di dunia ini itu hakikatnya berasal dari tuhan. Nah, salah satunya politik ini. Lo masih inget gak tentang cerita tuhan menciptakan nabi adam sebagai manusia pertama dan memerintahkan malaikat serta iblis untuk sujud ke nabi adam?” ucap dowi yang asyik bercerita.

“Lah itumah cerita pas gua masih sd, ya jelas ingetlah. Terus apa hubungannya cerita itu ama politik dow?” jawab ulum dengan percaya diri sambil penasaran.

“Nah, dari cerita ini kita bisa simpulkan bahwa sejak dulu sistem politik itu udah ada dan tuhan kita sendirilah yang mencontohkannya. Singkatnya begini, Tuhan bisa kita anggap sebagai pemimpin atau kepala pemerintahan di suatu negara atau daerah. Malaikat, Iblis, dan Nabi Adam itu sebagai masyarakat yang harus patuh dan taat kepada perintah, larangan, tata tertib, peraturan, dan keputusan yang diambil oleh pemimpin. Ketika tuhan memerintahkan kepada para malaikat dan iblis untuk sujud dan memberi penghormatan kepada nabi Adam itu adalah contoh perintah atau aturan dari pemerintah yang harus dilaksanakan oleh setiap warga negara atau masyarakat demi kepentingan dan kesejahteraan bersama. Malaikat yang patuh terhadap perintah tuhan adalah contoh warga atau masyarakat yang senantiasa mematuhi aturan dan kebijakan dari pemerintah dengan alasan agar hidup mereka tenang dan sejahtera, akhirnya mereka pun tetap hidup bahagia di surga. Sementara Iblis yang menolak bahkan melawan kepada perintah tuhan itu adalah sebagai contoh warga atau masyarakat yang selalu melanggar aturan dan kebijakan pemerintah yang pada akhirnya mereka harus menerima sanksi atau hukuman atas perbuatan nya yaitu dengan diusirnya mereka dari surga. Begitu singkatnya, paham gak lu? Masa gua udah cerita panjang lebar gini belum paham juga!” ucap dowi sambil kembali minum es teh.

“Iya-iya ngerti, kok lu bisa kepikiran kesitu sih dow?” tanya ulum dengan nada heran.

“Makanya pas mata kuliah politik tuh dengerin pak ikhsannya kalo lagi ngejelasin, tidur mulu sih lu” ucap dowi sambil ngeledek.

“Ya gimana ya, gua kan kurang suka sama hal-hal yang berbau politik. Tapi, setelah denger cerita dari lu tadi gua jadi suka dan tambah semangat nih buat belajar politik. Apalagi kalo kita ngeliat politik di negara kita sungguh mengenaskan” jawab ulum.

“Bener banget lum, gua juga bingung sama politik di negara kita tuh. Mulai dari sistem kepemimpinan yang udah kayak  dynasty, lagi pandemi uang bansos malah dikorupsi, ada lagi yang sibuk nyari nama sampe pasang baliho dimana-mana, kemaren lagi ada berita ruangan kerja menteri yang direnovasi sampe ngabisin dana 6,4 M gila gak tuh politik di negara kita hmm…” ucap dowi dengan nada lemas.

“Nah iya tuh gue gedek banget sama politik di negara kita” ucap ulum.

“Tapi kita jangan nyalahin politiknya lum, yang harus kita salahin itu oknum-oknum yang mengatasnamakan politik itu sendiri. Nah, sekarang tugas kita sebagai generasi muda nih yang harus bisa merubah keadaan politik di negara kita di masa yang akan datang nanti” ucap dowi.

“Setuju, mau gimanapun politik tuh gak salah. Yah semoga saja kita bisa menjadi generasi yang berperan di masa yang akan datang nanti” jawab ulum.

Hari Pun menjelang petang, tak terasa dowi dan ulum sudah membicarakan banyak hal. Mulai dari politik itu apa, berasal dari siapa, sampai keadaan politik di indonesia saat ini.

Hikmah dibalik cerita ini, saya sebagai penulis ingin menyampaikan bahwa harapan itu akan selalu dan tetap ada. Mungkin saat ini politik di negara kita sedang tidak baik-baik saja dan tentunya sebagai pemuda kita juga dapat merasakannya. Tetapi jadilah pemuda yang berperan dan jangan baperan, terus berusaha dan berjuang keras agar bisa mewujudkan impian gemilang di masa yang akan datang, merubah segala hal yang tidak baik menjadi baik. Memang tidak mudah tetapi percayalah suatu hari nanti pasti kebaikan akan mengalahkan keburukan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemudalah yang signifikan dapat mendorong ke arah perubahan. Secara historis, peran pemuda tak dapat diabaikan dalam sebuah perubahan, baik ke arah lebih baik, ataupun ke arah kehancuran. Pemuda memiliki semangat yang masih “mendidih” di dalam jiwanya.

Tapi bagaimana jika semangat itu dipolitisasi untuk kepentingan tertentu? Dewasa ini kata “kepentingan” nampaknya mengalami pergeseran makna. Kepentingan sering diidentifikasikan dengan sesuatu yang negatif, atau sentimentil. Kepentingan dimaknai dengan adagium, ada udang di balik batu. Stigma yang melekat ini tentunya tak sekonyong-konyong tertanam dalam persepsi masyarakat.

Apalagi dalam politik, yang janji ketika kampanye berlainan dengan realitas ketika sudah berada dalam lingkar kekuasaan. Tidak sulit menemukan politikus yang (meskipun niatnya baik) berlaku oportunis. Mencari segala celah dan ruang di dinamika politik hanya untuk menguntungkan dirinya saja.

Pemuda tak elok memiliki sifat demikian, terlebih kepada mahasiswa/aktivis yang selalu mencari eksistensi dan mengklaim dirinya sebagai agent of change. Oportunisme hanya terdapat pada manusia berjiwa medioker, tak mau ambil risiko lebih di dalam keputusannya.

Seperti telah diuraikan dalam Manusia Indonesia oleh Mochtar Lubis bahwa salah satu ciri sifat manusia Indonesia adalah hipokrit, munafik. Tidak sesuai antara ucapan dengan perbuatan. Ini menjadi tamparan yang keras, sekaligus menjadi kesempatan bagi kita–pemuda untuk membuktikan bahwa yang Mochtar Lubis pernah sampaikan itu salah besar!

Bagi kita pemuda yang masih “haus” akan pengalaman dan panjang akan masa depan, terjebak dalam sifat hipokrit dan oportunis adalah sebuah kesia-siaan yang sungguh nyata adanya. Kita  seakan membuang segenap peluang yang ada, menyingkirkan segala kesempatan menjadi manusia yang utuh, yang out-of-the-box. Jika sudah berlaku hipokrit dan oportunis, apa yang (sedang/akan) diperjuangkan?

Adakalanya politik menaikkan pamor dan citra, dan tak jarang pula menenggelamkan karir dan kharisma seseorang. Pemuda yang berjuang dengan jalan politik adalah pemuda yang “pensiun dengan kehidupan normal”. Karena dalam politik tidak ada habisnya, yang ada hanya berhenti dari partai atau habis masa jabatan.

Prinsip utama yang tertanam dalam sanubari pemuda adalah sebuah value, nilai. Dan nilai itu ditentukan oleh perilaku dan “pembawaan-pembawaan” perbuatannya dari masa lalu. Pemuda yang terdidik dan berpolitik harus berjuang tanpa embel-embel “untung-rugi” atau mental “wani piro”.

Sebuah perjuangan yang revolusioner harus memadukan antara pikiran/ucapan dan tindakan. Sebuah idealisme yang hanya akan dilalui oleh jiwa-jiwa yang merdeka. Merdeka dalam berpikir dan merdeka dalam bertindak.

Sebab idealisme itu, ujar Tan Malaka, “adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Dan pemuda bukan (ditentukan oleh) soal usia, melainkan oleh semangat juang. Berjuang untuk kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan sosial.

(***)

Bagikan Artikel Ini