Beranda » Feodalisme Muncul dengan Gaya Barunya

Feodalisme Muncul dengan Gaya Barunya

Ilustrasi - Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Perilaku, karakter budaya dan kekuasaan selalu terbangun dari proses sejarah. DNA birokrasi dalam sejarah Indonesia terbentuk dalam tatanan feodalisme sejak zaman kerajaan. Feodalisme lama kelamaan dijadikan sebuah budaya untuk berpolitik, yang bisa disebut dengan politik feodal. Sel-sel kekuasaan di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari napas gaya feodalisme. Kini segala aspek dalam politik sudah terpengaruhi budaya feodal yang menganggap pemegang kekuasaan adalah tatanan tertinggi dalam masyarakat.

Pada zaman dahulu feodalisme muncul sebagai suatu sistem politik yang di mana yang berkuasa/mempunyai lahan menempati kelas sosial paling atas. Sistem politik feodalisme ini sangat merugikan bagi kaum-kaum di kelas bawah. Kelas bawah yang bekerja, menanam, mengelola lahan tersebut harus membayar pajak kepada pemerintah, jadi kelas bawah inilah yang menanggung semua kehidupan para penguasa (raja).

Kerajaanlah yang memeras tenaga bahkan uang para kaum kelas bawah. Betapa mengerikannya sistem politik seperti itu… banyak kaum kelas bawah mati kelaparan, terserang penyakit dan lain sebagainya. Sistem politik tersebut dilanjutkan hingga pada masa kolonialisme. Feodalisme perlahan-lahan hilang pada masa kemerdekaan, Soekarno-lah yang membawa perubahan tersebut untuk menjadikan Indonesia negeri yang bebas dari sewenang-wenangnya para penguasa.

Betapa lamanya kita dihiasi oleh budaya-budaya feodal yang memasuki sendi-sendi kehidupan pada saat itu. Budaya yang meniadakan prinsip kemanusiaan dan keadilan, budaya yang menolak adanya kesetaraan. Para penguasa/golongan elit yang harus selalu dipatuhi, dihormati serta mereka tidak ingin dikritik atau diawasi oleh masyarakat.

Pada saat kepemimpinan Soekarno, budaya feodal perlahan-lahan ingin dihilangkan. Soekarno ingin mengembangkan budaya yang lebih baik lagi dari sebelumnya untuk meninggalkan budaya feodal yang terdahulu yaitu budaya egalit yang dimunculkan secara perlahan-lahan dengan membiarkan sumber daya alam untuk dikelola oleh generasi penerus pribumi yang sudah siap berdemokrasi, tetapi hal itu digugurkan oleh Suharto dengan mendatangkan bantuan-bantuan asing yang berwatak kapitalis-liberalis. Suharto muncul dengan budaya feodalnya yang tidak ingin dikritisi, harus selalu taat serta harus dihormati. Hingga akhirnya budaya feodal pun dihadirkan kembali, bahkan beliau bersikap-tindak seakan Raja Jawa yang sangat berkuasa dan masyarakat harus selalu tunduk kepadanya. Penyerapan manusia feodal dengan gaya barunya yang berbuat sewenang-wenang, serta menyengsarakan rakyat.

Masa Orde Baru berakhir, kekuasaan yang otoriter serta bergaya feodal akhirnya berakhir, digantikan dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis serta menandai berakhirnya orde baru (setidaknya dari pemerintahan) dan hadirnya pemerintahan baru dengan kebijakan baru. Yaitu demokrasi, demokrasi adalah sistem politik yang dianggap paling tepat dan mampu mengantarkan negara mencapai kehidupan yang sejahtera, negara yang adil dan makmur.

Setelah 22 tahun berlalu dari Orde Baru, Indonesia sekarang sudah menjadi lebih baik, menjadikan demokrasi sebagai sistem politik yang dipercayai mengantarkan negara mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur berlandaskan prinsip kemanusiaan dan keadilan.

Tetapi, apakah demokrasi ini berjalan mulus? Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?

Dilihat dari keselurahan, negara kita telah menerapkan demokrasi dengan baik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Tetapi di sisi lain masih banyak sifat-sifat buruk leluhur yang melekat dalam jiwa bangsa Indonesia yaitu korupsi, tidak ingin dikritik, harus selalu dipatuhi, dan masih banyak lagi.

Politik feodal sudah mengakar ke segala sendi kehidupan, seperti halnya pada korupsi. Korupsi bisa terjadi dari berbagai budaya termasuk budaya feodal tersebut, tidak memandang asal negara, tidak memandang barat ataupun timur, tidak memandang kebangsaan semua negara di dunia bisa terjadi adanya korupsi. Korupsi politik berhubungan dengan tatanan sosial feodal, karena struktur masyarakat yang berbudaya feodal memberi kesempatan bagi timbulnya kehampaan moral, sehingga interaksi sosial tidak berproses secara egaliter/setara.

Pada belakangan ini para penguasa pemerintahan mulai menujukkan sifat-sifat buruknya. Pandemi ini dijadikan ladang penggalian materi (memperkaya diri) dan sarana penguasa untuk mengekalkan kekuasaannya. Kasus yang belum lama terjadi yaitu kasus korupsi bantuan sosial. Juliari P Batubara selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp 29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain. Korupsi tersebut merupakan tindak yang tidak berperikemanusiaan, yang menghilangkan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Yang seharusnya dibagikan kepada rakyat malah dikeruk untuk kebutuhan pribadi. Sungguh perbuatan yang keji…fenomena korupsi sulit diberantas di negeri ini bahkan saya curiga adanya KPK atau pemberantasan korupsi itu bukan bagian dari sebuah niatan berantas korupsi tapi bagian dari pembentukan konfigurasi kekuasaan keputusan baru.

Di saat yang bersamaan pula, banyak calon pemimpin suatu daerah yang berasal dari keluarga pejabat pemerintah. Pemilihan calon pemimpin dihiasi dengan relasi keluarga yang biasa disebut dengan politik dinasti. Bagaimana para keluarga pemerintahan menjadikan pandemi sebagai sebuah sarana untuk mendulang suara. Tentu saja dalam hal ini budaya feodal dimunculkan kembali dengan gaya barunya. Budaya feodal yang buruk tersebut telah melekat dalam kehidupan berpolitik di Indonesia ini dan tidak bisa dihindarkan karena sudah menjadi sel-sel yang menyatu dalam sifat-sifat pemimpin saat ini.

Contoh lain dari tersisanya genetika feodalisme yang ada pada saat ini sekarang terjadi pada hubungan pekerjaan. Jadi kalau kita melihat betapa rendahnya gaji professional-profesional di negeri ini, mungkin sisa-sisa dari DNA feodalisme bahwa gaji itu bukan bagian dari sebuah perhitungan profesionalisme tapi perhitungannya di sebuah loyalitas. Jadi para pekerja dipekerjakan, diperas tenaganya diberi upah yang tidak sesuai, orang-orang miskin diperalat untuk membiayai serta memberikan kontribusi kepada tatanan orang-orang kaya.

Kita lihat pada pembuatan UU terbaru tentang ketenagakerjaaan yang satu tahun lalu disahkan yang dikenal dengan Omnibus Law. Kebijakan tentang apa yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dianggap dapat menguntungkan masyarakat kecil seperti UMKM, buruh dan pekerja lainnya tapi sesungguhnya dibalik keuntungan yang ditawarkan itu itu juga adalah penguasaan dari semua sumber daya energi yang ada di Indonesia. Para pejabat pemerintah bekerja sama dengan para asing sebagai investor di negeri ini yang menjanjikan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya mereka merekrut banyak tenaga kerja tetapi dibayar dengan upah yang sangat minimum. Pada akhirnya banyak pekerja yang menjadi korban ketidakadilan para penguasa.

Tetapi terkadang, ketidakadilan perlakuan — penguasa dipandang sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar oleh kaum pekerja, dan mereka menerimanya sebagai bagian dari takdir, serta tidak perlu memprotes, apalagi berkeinginan merubah sistem yang tengah berjalan.

Dilihat juga dari kejadian yang sering dijumpai setelah pemilihan umum, pada saat setelah memenangkan pemilu dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan lebih mirisnya mereka tidak perduli lagi pada rakyat. Bila kekuasaan masih didominasi oleh sistem feodal dan patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang diidam-idamkan oleh setiap orang akan sulit terwujud.

Dengan munculnya fenomena feodal yang mengangap dirinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi sehingga sulit terciptanya demokrasi yang didambakan oleh setiap orang. Politik feodal mengubah fondasi yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia menyebabkan ketidakstabilan politik dan kesejahteraan masyarakat terbilang rendah.

Pusat pandangan ke atas tak dapat dihindari sebab karakteristik terbesar budaya komunikasi politik Indonesia adalah feodal, yang didominasi oleh kaum bangsawan sebagai komunikator. Komunikasi politik egalit yang tumbuh di masyarakat menjadi redup serta tidak berkembang yang diakibatkan dari dominasi kebudayaan. Yang membuat budaya politik egalit bukan hanya redup, tapi di saat kini sudah hilang karena ada dua lintasan “globalisasi” yaitu, lintasan liberal-kapitalisme yang disebarkan oleh Amerika Serikat dengan hegemoni budaya dan perdagangannya, yang kini dilakukan secara terus-menerus melalui media massa ditambah dengan adanya dunia maya, mengakibatkan budaya politik Indonesia kini berantakan. Kedua, lintasan feodal-otokrasi yang dilakukan Eropa (Belanda) dengan penjajahannya, sehingga menyebabkan terpeliharanya feodalisme di kaum bangsawan.

Melalui aspek pendidikan lah yang diharapkan dapat membenahi dan diharapkan dapat memperbaiki dan menghilangkan sistem budaya feodal yang masih merajalela di negeri ini, karena tidak sesuai dengan prinsip politik yang seharusnya mengayomi serta menciptakan kesejahteraan rakyat.

Pendidikan yang dapat mengembalikan hakikat budaya politik yang seharusnya terjadi adalah pendidikan yang bukan sekadar menjadi banking-process, tetapi juga menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak antirealitas, humanis, mengutamakan proses daripada hasil serta penyelarasan antara hak, dan tanggung jawab. Meskipun hal ini memerlukan proses yang perlahan-lahan, karena tidak mungkin bila dilakukan secara cepat. Saya sebagai mahasiswa sudah sepatutnya memperbaiki keadaan politik di negeri ini dengan tujuan mencapai cita-cita yang sedari dulu diidam-idamkan yaitu negara yang adil, makmur serta masyarakat yang sejahtera.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta )

Bagikan Artikel Ini