Beranda » Belajar Bahasa Kalimantan dengan Novel Burung Kayu

Belajar Bahasa Kalimantan dengan Novel Burung Kayu

Sebuah novel etnografi karya penulis Indonesia terbit mengenai dinamika kehidupan masyarakat Suku Mentawai. Novel yang berjudul Burung Kayu karya Niduparas Erlang.

Novel Burung Kayu ditulis oleh orang luar bukan asli orang Mentawai. Namun, penulis pernah melakukan penelitian di sana selama 2 bulan untuk mengenal dan memahami kehidupan masyarakat Mentawai. Isi dari novel ini, kebanyakan menggunakan bahasa Mentawai bahkan penulis tidak memberikan catatan kaki untuk memberikan arti kata yang tidak ada di kamus bahasa Indonesia. Penulis mempunyai maksud tertentu dalam menulis novel burung Kayu. Dalam artian, untuk pembaca novel tersebut dapat kosa kata baru dari bahasa daerah. Secara tidak langsung penulis mengajak pembaca untuk tetap melestarikan bahasa daerah, tradisi dan budaya Indonesia.

Novel Burung kayu karya Niduparas Erlang cocok bagi orang yang sedang melakukan penelitian budaya. Dalam novel ini, dijelaskan secara rinci mengenai tradisi dan budaya masyarakat tradisional Suku Mentawai.

Novel Burung Kayu menceritakan mengenai konflik antar suku serta adat-istiadat Suku Mentawai. Cerita ini menceritakan kehidupan keluarga Leugeumanai. Diceritakan mengenai awal mula konflik antar uma keluarga Legeumanai dengan uma di seberang sungai.

Kisah sejarah keluarga tentang leluhur pertama yang dikenal sebagai Suku Sura’ Boblo berselisih dengan Suku Tunggul Kelapa, tentang pembunuhan pertama yang dilakukan leluhurnya Baumanai.
Perselisihan bermula karena babi sigelag yang dijadikan alat toga keluarga Babuisiboje untuk mengawinkan anak lelaki mereka dengan adik perempuan Baumanai. Namun, babi itu hilang dan ternyata kembali ke rumah keluarga Babuisiboje bahkan dimakan oleh keluarga Babuisiboje. Keluarga Baumanai mencari dan menanyakan babi yang telah dijadikan miliknya kepada keluarga Babuisiboje tetapi keluarga Babuisiboje tak mengakuinya. Namun, adik perempuan Baumanai melaporkan pada keluarganya bahwa keluarga Babuisiboje telah memakan babi sigelag. Mendengar hal tersebut, keluarga Baumanai meminta keluarga Babuisiboje membayar tulou tetapi dihiraukan dan ditolak oleh keluarga Babuisiboje. Terjadilah pembunuhan yang dilakukan Baumanai dengan adiknya Pabelemanai pada keluarga Babuisiboje.

Pada alur berikutnya menceritakan tentang konflik kedua yang menyebabkan Aman Legeumanai (Ayah Legeumanai) meninggal dalam peperangan. Pertikaian itu disebabkan oleh Saengrekerei (Adik Aman Legeumanai) membawa kabur seorang gadis dari suku seberang sungai yang disukainya. Namun, gadis tersebut berhasil kabur dan mengadu pada keluarganya. Mengetahui hal tersebut, keluarga uma seberang meminta tulou (denda) pada keluarga Saengrekerei. Namun, Saengrekerei tak mau membayarnya karena sudah memalukan harga dirinya dan keluarganya karena sudah gagal menculik gadis dari seberang. Demi menjaga harga diri keluarganya ia Saengrekerei menantang Pako namun kalah dari dari suku seberang sungai juga menyebabkan kematian kakak Saengrekerei. Taksilitoni, istri Aman Legeumanai ingin mewariskan dendam kematian itu kepada anaknya, Legeumanai dengan cara menikahi adik iparnya yakni Saengrekerei.

Niat untuk balas dendam terbengkalai, karena keluarga kecil itu harus berhadapan dengan kebijakan negara, agama resmi, korporasi, dan konflik baru yang muncul di antara berbagai suku.
Selain konflik antar keluarga Legeumanai, dalam novel tersebut diceritakan pula konflik antar suku lainnya di mana terdapat ritual ataupun upacara adat dijelaskan dengan rinci.

Di alur selanjutnya, setelah pindah dan tinggal di tempat barasi, Saengrekerei dijadikan kepala desa di daerah barasi. Entah siapa yang memulai, Saengrekerei mendapat tuduhan bahwa dirinya telah mengorupsi tujuh karung beras kiriman dari kabupaten. Bagaimanapun, di dusun tersebut nasi adalah barang mewah sebab makanan beras tidak pernah subur di tanah cadas mereka. Dengan tenang Saengrekerei mengatakan bahwa tujuh karung beras kiriman dari kabupaten itu, yang tidak terangkut ke barasi disumbangkan ke asrama anak-anak di Dusun Muara. Namun, beberapa orang banyak yang tidak percaya apa yang dikatakan oleh Saengrekerei. Sehingga membuat Saengrekerei terpojok tanpa adanya pembelaan pada dirinya karena tidak ada saksi yang melihat dirinya memberikan tujuh karung beras untuk disumbangkan.

Di situasi yang panas tersebut, Saengrekerei terlintas memikirkan ritual Tipu Sasa. Tipu sasa merupakan pemotongan rotan maksudnya untuk mencari seorang yang dituduh melakukan perbuatan jahat. Pemotongan sasa juga disebut sebagai penguatan sumpah. Namun, sebelum melakukan ritual tersebut, harus dipikirkan dengan matang. Karena, menyangkut nyawa diri sendiri atau salah satu anggota keluarga. Apabila orang yang melakukan tindakan kejahatan dan melakukan tipu sasa, maka akan mendapatkan kesialan baginya maupun anggota keluarganya.

Melihat sepotong sasa yang tergeletak, ia letakkan sepotong sasa di atas meja dan meminjam sebilah parang dari salah satu warganya yang masih menatap curiga padanya. Seluruh ruangan seketika senyap. Bayang-bayang kematian mengambang dan menggenang di seluruh ruangan. Saengrekerei merapalkan mantra sembari menyebut banyak nama roh, banyak nama leluhur, banyak nama orang mati, banyak nama dedaunan celaka, dan disusul sebuah sumpah yang hanya akan berujung pada kematian paling mengenaskan dan tiba-tiba bagi dirinya atau keluarganya. Semua mata yang ada di ruangan melihat pada Saengrekerei. Orang-orang gamang dan saling melempar pandang.

Bagikan Artikel Ini