Beranda » Babak Baru Otonomi Daerah di Indonesia

Babak Baru Otonomi Daerah di Indonesia

Oleh : Sayifullah

Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pemerintah bersama dengan DPR telah merampungkan Rancangan Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD) dan menetapkannya menjadi Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) pada tahun 2022 ini. UU HKPD menjadi pertanda babak baru otonomi daerah atau desentralisasi fiskal di Indonesia (Era 2.0), pasca UU 25/1999. UU HKPD semangatnya adalah untuk memperbaiki kualitas dan memperkuat desentralisasi fiskal pemerintah daerah khususnya dari sisi pendapatannya, disamping juga memperbaiki pada sisi belanjanya. Rampungnya UU HKPD yang telah disahkan ini tidak lepas dari hasil evaluasi dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Selama ini daerah-daerah di Indonesia, berdasarkan hasil evaluasi desentralisasi fiskal, masih minim dalam optimalisasi pendapatan asli daerahnya, sedangkan di sisi belanjanya belum maksimal kualitasnya bagi pembangunan.

Daerah-daerah di Indonesia selama ini masih sangat bergantung dari transfer keuangan pemerintah pusat. Total pendapatan APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp 1.115,4 triliun, dikontribusikan masing-masing dari Dana Perimbangan (transfer dari pusat ke daerah) sebesar Rp 752,4 triliun (67,45%), Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 264,1 triliun (23,67%) dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 99,1 triliun (8,9%). Pada belanja APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp 1.121,9 triliun, digunakan untuk belanja pegawai sebesar Rp 373,3 triliun (33,27%), belanja barang dan jasa sebesar Rp 274,9 triliun (24,50%), belanja modal sebesar Rp 157,6 triliun (14,04%) dan belanja lain-lain sebesar Rp 316,1 triliun (28,17%). Berdasar pada data APBD agregat tampak jelas bahwa selama dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, daerah-daerah masih minim dalam memperoleh pendapatan asli daerahnya. Sementara itu pada sisi belanjanya, belanja pegawai masih mendominasi pengeluaran pemerintah daerah dibanding belanja modal dan belanja lain yang mengarah pada program-program pembangunan dan layanan publik bagi masyarakat.

Bila melihat sisi lain hasil pelaksanaan desentralisasi fiskal selama dua puluh tahun, diluar masih minimnya rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah dan minimnya kualitas belanja daerah, terdapat beberapa hasil kinerja positif dari desentralisasi fiskal di Indonesia. Kinerja positif ikut berkontribusi terhadap pencapaian kinerja nasional, khususnya pada capaian layanan publik dasar dan kesejahteraan. Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni SMP dan SMA di tahun 2020 adalah sebesar 80,12% dan 61,25%, telah meningkat dari 66,90% dan 44,84% di tahun 2001. Di bidang kesehatan, persalinan yang melibatkan tenaga kesehatan naik dari 64,20% di tahun 2001 menjadi 95,16% di tahun 2020. Berkaitan dengan infrastruktur dasar, masyarakat yang memanfaatkan air minum layak dan sanitasi telah mencapai 90,21% dan 79,53% di tahun 2020, telah meningkat dari 48,68% dan 34,30% di tahun 2001. Pada bidang kesejahteraan, yaitu persentase penduduk miskin dan angka IPM, pada tahun 2020 menunjukkan angka sebesar 10,19% dan 71,94, telah lebih baik dibandingkan angka tahun 2001 yaitu sebesar 18,41% dan 60,9.

Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, beberapa catatan positif juga bisa kita lihat melalui beberapa hal terkait pengelolaan keuangan daerah. Kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah menunjukkan tren yang semakin berkurang sebagaimana terlihat dari angka theil index sebesar 0,223 di tahun 2019 dari 0,332 di tahun 2016. Rasio pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) terhadap PDRB telah meningkat dari 1,35 di tahun 2016 menjadi 1,42 di tahun 2019. Pengelolaan adminitrasi keuangan daerah semakin baik dengan semakin banyaknya daerah yang memperoleh predikat WTP yaitu meningkat dari 69,7% di tahun 2016 menjadi 89,5% di tahun 2019.

Meskipun telah menunjukkan beberapa hasil kinerja yang positif, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan. Daerah-daerah di Indonesia saat ini masih banyak yang bergantung pada transfer dari pemerintah pusat dan hal ini terlihat dari masih besarnya rasio TKDD (67,45%) terhadap penerimaan daerah. Besarnya TKDD ini juga dalam pemanfaatannya, khususnya DAU, lebih dari 60%-nya digunakan untuk belanja pegawai. Pada sisi struktur belanja daerah, belanja untuk infrastruktur (11,5%) masih lebih rendah dibanding belanja pegawai (33,27%). Program dan kegiatan yang dirancang dalam belanja daerah juga sangat banyak. Sampai dengan saat ini terdapat 29.623 program dan 263.135 kegiatan pada belanja daerah. Belanja daerah yang sangat banyak ini terkesan belum fokus guna mencapai sasaran pembangunan di daerah. Pembiayaan yang dilakukan oleh daerah juga masih sangat terbatas. Total pembiayaan daerah yang dilakukan melalui pinjaman daerah angkanya baru mencapai 0,049% dari PDB. Angka ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pinjaman daerah yang dilakukan negara-negara berkembang yang lain (5%). Tantangan yang lain adalah dijumpainya fiskal pemerintah pusat dan daerah yang belum sinergis.

UU HKPD dibuat guna meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah, meningkatkan kualitas belanja daerah dan harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah yang merupakan tantangan klasik selama dua dekade desentralisasi fiskal pasca reformasi. UU HKPD menjadi pedoman aturan dan upaya untuk menciptakan desain pola hubungan keuangan pusat-daerah yang memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal, di mana strategi pencapaiannya dilakukan melalui penguatan sistem perpajakan daerah, redesain transfer ke daerah, peningkatan kualitas penganggaran belanja daerah, penguatan pembiayaan kreatif dan sinergi fiskal nasional.

Penguatan sistem perpajakan daerah, khususnya di tingkat kabupaten/ kota, dalam UU HKPD melalui skema opsen PKB dan BBNKB, diperkirakan akan memperoleh peningkatan PDRD sampai dengan 48,9%. Skema opsen ini diharapkan mempercepat penerimaan bagi daerah kabupaten/kota dan menambah kemandirian fiskalnya. Bagi pemerintah provinsi, melalui opsen Pajak MBLB (mineral bukan logam dan bantuan), akan ada tambahan penerimaan untuk mendanai kewenangan terkait penerbitan dan pengawasan izin MBLB. Redesain transfer ke daerah dalam UU HKPD adalah dijadikannya basis kinerja sebagai pengalokasian TKDD serta memperhatikan eksternalitas (lingkungan) dan earmarking guna keselarasan output-outcome pemerintah pusat dan daerah.

Belanja pemerintah daerah dalam UU HKPD difokuskan untuk memberikan layanan dasar publik dan mencapai standar pelayanan minimal. Sejalan dengan strategi peningkatan kualitas penganggaran belanja daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program daerah dilakukan melalui alokasi belanja berdasarkan target kinerja yang fokus pada urusan pemerintah wajib layanan dasar serta sesuai skala prioritas, bukan terbatas pada pemerataan. Simplifikasi dan sinkronisasi program daerah dilakukan agar tidak terlalu banyak program dan kegiatan dalam belanja daerah. Guna pengendalian belanja, belanja pegawai ditetapkan batasan maksimal 30% dari APBD dengan masa transisi penyesuaian selama 5 tahun. Belanja infrastruktur ditetapkan batasan minimal 40% dari APBD dengan masa transisi penyesuaian selama 5 tahun. Penggunaan SiLPA non-earmarked didasarkan kinerja layanan publik untuk optimalisasi, dimana bagi daerah sudah berkinerja tinggi dapat diinvestasikan sedangkan bagi daerah yang kinerjanya masih rendah diarahkan untuk belanja infrastruktur layanan publik.

Penguatan pembiayaan kreatif dalam UU HKPD mengalami perluasan skema dan bentuk pembiayaan, termasuk adanya sinergi pendanaan dan dana abadi daerah. Daerah dapat melakukan pembiayaan daerah dalam skema pinjaman, obligasi dan sukuk, baik berbentuk konvensional atau syariah. Barang milik daerah dapat dijadikan underlying asset penerbitan sukuk daerah. Pembiayaan daerah yang memenuhi persyaratan teknis, dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan setelah mendapat pertimbangan Menkeu, Mendagri dan Bappenas.

Sinergi pendanaan merupakan pembiayaan kreatif dan berkelanjutan dengan berbasis kerjasama, baik berasal dari APBD atau NonAPBD. Melalui sinergi pendanaan, daerah dapat mengakselerasi penyediaan infrastruktur dan program prioritas lainnya. Melalui HKPD, daerah juga dapat melakukan pembentukan dana abadi daerah, khususnya bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi dan pemenuhan kualitas layanan publiknya sudah relatif baik. Tujuan pembentukan dana abadi daerah  adalah untuk memperoleh kemanfaatan umum yang lebih luas dan lintas generasi. Sinergi fiskal nasional dilakukan dengan menyelaraskan kebijakan fiskal pusat-daerah. Pemerintah daerah mensinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal daerahnya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka Ekonomi Makro, Pokok Pokok Kebijakan Fiskal, arahan presiden dan peraturan perundang-undangan. Penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang APBD, pengendalian dalam kondisi darurat dan sinergi bagan akun standar merupakan harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah guna sinergi fiskal nasional.

UU HKPD ini paling tidak baru efektif implementasinya dalam tahun kedua sejak berlaku, khususnya bagi pemerintah daerah. UU ini perlu ditindaklanjuti dengan aturan turunan di bawahnya, termasuk dalam pembuatan Peraturan Daerah serta masa transisi penyesuaian. Dampak dari UU HKPD secara keseluruhan, akan terlihat setidaknya dalam lima tahun ke depan, sehingga pembangunan daerah yang baik dalam babak baru desentralisasi fiskal dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.(***)

Bagikan Artikel Ini