Author: sayifullah sayifullah

Babak Baru Otonomi Daerah di Indonesia

Oleh : Sayifullah Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pemerintah bersama dengan DPR telah merampungkan Rancangan Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (RUU HKPD) dan menetapkannya menjadi Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) pada tahun 2022 ini. UU HKPD menjadi pertanda babak baru otonomi daerah atau desentralisasi fiskal di Indonesia (Era 2.0), pasca UU 25/1999. UU HKPD semangatnya adalah untuk memperbaiki kualitas dan memperkuat desentralisasi fiskal pemerintah daerah khususnya dari sisi pendapatannya, disamping juga memperbaiki pada sisi belanjanya. Rampungnya UU HKPD yang telah disahkan ini tidak lepas dari hasil evaluasi dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Selama ini daerah-daerah di Indonesia, berdasarkan hasil evaluasi desentralisasi fiskal, masih minim dalam optimalisasi pendapatan asli daerahnya, sedangkan di sisi belanjanya belum maksimal kualitasnya bagi pembangunan. Daerah-daerah di Indonesia selama ini masih sangat bergantung dari transfer keuangan pemerintah pusat. Total pendapatan APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp 1.115,4 triliun, dikontribusikan masing-masing dari Dana Perimbangan (transfer dari pusat ke daerah) sebesar Rp 752,4 triliun (67,45%), Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 264,1 triliun (23,67%) dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 99,1 triliun (8,9%). Pada belanja APBD agregat tahun 2020 secara nasional sebesar Rp 1.121,9 triliun, digunakan untuk belanja pegawai sebesar Rp 373,3 triliun (33,27%), belanja barang dan jasa sebesar Rp 274,9 triliun (24,50%), belanja modal sebesar Rp 157,6 triliun (14,04%) dan belanja lain-lain sebesar Rp 316,1 triliun (28,17%). Berdasar pada data APBD agregat tampak jelas bahwa selama dua dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, daerah-daerah masih minim dalam memperoleh pendapatan asli daerahnya. Sementara itu pada sisi belanjanya, belanja pegawai masih mendominasi pengeluaran pemerintah daerah dibanding belanja modal dan belanja lain yang mengarah pada program-program pembangunan dan layanan publik bagi masyarakat. Bila melihat sisi lain hasil pelaksanaan desentralisasi fiskal selama dua puluh tahun, diluar masih minimnya rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah dan minimnya kualitas belanja daerah, terdapat beberapa hasil kinerja positif dari desentralisasi fiskal di Indonesia. Kinerja positif ikut berkontribusi terhadap pencapaian kinerja nasional, khususnya pada capaian layanan publik dasar dan kesejahteraan. Di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni SMP dan SMA di tahun 2020 adalah sebesar 80,12% dan 61,25%, telah meningkat dari 66,90% dan 44,84% di tahun 2001. Di bidang kesehatan, persalinan yang melibatkan tenaga kesehatan naik dari 64,20% di tahun 2001 menjadi 95,16% di tahun 2020. Berkaitan dengan infrastruktur dasar, masyarakat yang memanfaatkan air minum layak dan sanitasi telah mencapai 90,21% dan 79,53% di tahun 2020, telah meningkat dari 48,68% dan 34,30% di tahun 2001. Pada bidang kesejahteraan, yaitu persentase penduduk miskin dan angka IPM, pada tahun 2020 menunjukkan angka sebesar 10,19% dan 71,94, telah lebih baik dibandingkan angka tahun 2001 yaitu sebesar 18,41% dan 60,9. Selama pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, beberapa catatan positif juga bisa kita lihat melalui beberapa hal terkait pengelolaan keuangan daerah. Kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah menunjukkan tren yang semakin berkurang sebagaimana terlihat dari angka theil index sebesar 0,223 di tahun 2019 dari 0,332 di tahun 2016. Rasio pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) terhadap PDRB telah meningkat dari 1,35 di tahun 2016 menjadi 1,42 di tahun 2019. Pengelolaan adminitrasi keuangan daerah semakin baik dengan semakin banyaknya daerah yang memperoleh predikat WTP yaitu meningkat dari 69,7% di tahun 2016 menjadi 89,5% di tahun 2019. Meskipun telah menunjukkan beberapa hasil kinerja yang positif, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa tantangan. Daerah-daerah di Indonesia saat ini masih banyak yang bergantung pada transfer dari pemerintah pusat dan hal ini terlihat dari masih besarnya rasio TKDD (67,45%) terhadap penerimaan daerah. Besarnya TKDD ini juga dalam pemanfaatannya, khususnya DAU, lebih dari 60%-nya digunakan untuk belanja pegawai. Pada sisi struktur belanja daerah, belanja untuk infrastruktur (11,5%) masih lebih rendah dibanding belanja pegawai (33,27%). Program dan kegiatan yang dirancang dalam belanja daerah juga sangat banyak. Sampai dengan saat ini terdapat 29.623 program dan 263.135 kegiatan pada belanja daerah. Belanja daerah yang sangat banyak ini terkesan belum fokus guna mencapai sasaran pembangunan di daerah. Pembiayaan yang dilakukan oleh daerah juga masih sangat terbatas. Total pembiayaan daerah yang dilakukan melalui pinjaman daerah angkanya baru mencapai 0,049% dari PDB. Angka ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata pinjaman daerah yang dilakukan negara-negara berkembang yang lain (5%). Tantangan yang lain adalah dijumpainya fiskal pemerintah pusat dan daerah yang belum sinergis. UU HKPD dibuat guna meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah, meningkatkan kualitas belanja daerah dan harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah yang merupakan tantangan klasik selama dua dekade desentralisasi fiskal pasca reformasi. UU HKPD menjadi pedoman aturan dan upaya untuk menciptakan desain pola hubungan keuangan pusat-daerah yang memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal, di mana strategi pencapaiannya dilakukan melalui penguatan sistem perpajakan daerah, redesain transfer ke daerah, peningkatan kualitas penganggaran belanja daerah, penguatan pembiayaan kreatif dan sinergi fiskal nasional. Penguatan sistem perpajakan daerah, khususnya di tingkat kabupaten/ kota, dalam UU HKPD melalui skema opsen PKB dan BBNKB, diperkirakan akan memperoleh peningkatan PDRD sampai dengan 48,9%. Skema opsen ini diharapkan mempercepat penerimaan bagi daerah kabupaten/kota dan menambah kemandirian fiskalnya. Bagi pemerintah provinsi, melalui opsen Pajak MBLB (mineral bukan logam dan bantuan), akan ada tambahan penerimaan untuk mendanai kewenangan terkait penerbitan dan pengawasan izin MBLB. Redesain transfer ke daerah dalam UU HKPD adalah dijadikannya basis kinerja sebagai pengalokasian TKDD serta memperhatikan eksternalitas (lingkungan) dan earmarking guna keselarasan output-outcome pemerintah pusat dan daerah. Belanja pemerintah daerah dalam UU HKPD difokuskan untuk memberikan layanan dasar publik dan mencapai standar pelayanan minimal. Sejalan dengan strategi peningkatan kualitas penganggaran belanja daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program daerah dilakukan melalui alokasi belanja berdasarkan target kinerja yang fokus pada urusan pemerintah wajib layanan dasar serta sesuai skala prioritas, bukan terbatas pada pemerataan. Simplifikasi dan sinkronisasi program daerah dilakukan agar tidak terlalu banyak program dan kegiatan dalam belanja daerah. Guna pengendalian belanja, belanja pegawai ditetapkan batasan maksimal 30% dari APBD dengan masa transisi penyesuaian selama 5 tahun. Belanja infrastruktur ditetapkan batasan minimal 40% dari APBD dengan masa transisi penyesuaian selama 5 tahun. Penggunaan SiLPA non-earmarked didasarkan kinerja layanan publik untuk optimalisasi, dimana bagi daerah sudah berkinerja tinggi dapat diinvestasikan sedangkan bagi daerah yang kinerjanya masih rendah diarahkan untuk belanja infrastruktur layanan publik. Penguatan pembiayaan kreatif dalam UU HKPD mengalami perluasan skema dan bentuk pembiayaan, termasuk adanya sinergi pendanaan dan dana abadi daerah. Daerah dapat melakukan pembiayaan daerah dalam skema pinjaman, obligasi dan sukuk, baik berbentuk konvensional atau syariah. Barang milik daerah dapat dijadikan underlying asset penerbitan sukuk daerah. Pembiayaan daerah yang memenuhi persyaratan teknis, dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan setelah mendapat pertimbangan Menkeu, Mendagri dan Bappenas. Sinergi pendanaan merupakan pembiayaan kreatif dan berkelanjutan dengan berbasis kerjasama, baik berasal dari APBD atau NonAPBD. Melalui sinergi pendanaan, daerah dapat mengakselerasi penyediaan infrastruktur dan program prioritas lainnya. Melalui HKPD, daerah juga dapat melakukan pembentukan dana abadi daerah, khususnya bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi dan pemenuhan kualitas layanan publiknya sudah relatif baik. Tujuan pembentukan dana abadi daerah  adalah untuk memperoleh kemanfaatan umum yang lebih luas dan lintas generasi. Sinergi fiskal nasional dilakukan dengan menyelaraskan kebijakan fiskal pusat-daerah. Pemerintah daerah mensinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal daerahnya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka Ekonomi Makro, Pokok Pokok Kebijakan Fiskal, arahan presiden dan peraturan perundang-undangan. Penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang APBD, pengendalian dalam kondisi darurat dan sinergi bagan akun standar merupakan harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah guna sinergi fiskal nasional. UU HKPD ini paling tidak baru efektif implementasinya dalam tahun kedua sejak berlaku, khususnya bagi pemerintah daerah. UU ini perlu ditindaklanjuti dengan aturan turunan di bawahnya, termasuk dalam pembuatan Peraturan Daerah serta masa transisi penyesuaian. Dampak dari UU HKPD secara keseluruhan, akan terlihat setidaknya dalam lima tahun ke depan, sehingga pembangunan daerah yang baik dalam babak baru desentralisasi fiskal dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.(***)

Pembangunan Pertanian, Keberlanjutan Ketahanan Pangan

Oleh : Sayifullah* *Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Masyarakat dunia saat ini sedang dihadapkan pada ancaman dan tantangan akan krisis energi dan krisis pangan. Pada lima bulan terakhir di tahun 2022, terlihat bahwa harga minyak mentah dunia cukup fluktuatif dengan trend yang meningkat hingga mencapai harga di atas US$ 100 per barel. Pada Februari 2022 harga minyak mentah dunia masih berada di bawah US$ 100 per barel, tetapi selama Maret sampai dengan Mei 2022 harga minyak mentah dunia sudah berada di atas US$ 100. Pada 14 Mei 2022 harga minyak mentah dunia sudah naik ke US$ 111,22 per barel. Sama halnya dengan harga minyak mentah, harga pangan di pasar internasional juga mengalami kenaikan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah merilis bahwa indeks harga pangan pada tahun 2021 adalah sebesar 124,2 poin yang merupakan angka tertinggi sejak tahun 2011 dan tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Produk yang memiliki pengaruh besar dalam peningkatan harga pangan ini di antaranya adalah minyak nabati, serealia, dan olahan susu. Peningkatan harga pangan di pasar internasional ikut berpengaruh terhadap harga pangan di pasar domestik. Situasi ini diperkirakan masih akan berlangsung dalam satu dekade ke depan. Di pasar dalam negeri, harga produksi sektor pertanian dan beberapa turunannya juga mengalami kenaikan. Sebelumnya dalam tiga bulan terakhir ini telah terjadi kenaikan pada harga beras, kedelai, dan minyak goreng. Hal ini menjadi permasalahan bagi Indonesia mengingat kita masih terus berupaya dalam pemulihan serta peningkatan perekonomian dan menanggulangi angka kemiskinan yang disebabkan pandemi Covid-19. Pertanian secara historis mulai dikenal sejak manusia berhenti menjadi nomaden dan mengupayakan kebutuhan hidupnya secara menetap. Pada masa itu bentuk pengusahaan pertanian masih teramat sederhana dan hanya berorientasi pada kegiatan subsisten. Kegiatan dan pengelolaan pertanian merupakan aktifitas yang bersifat turun-temurun dan tidak begitu inovatif dan produktif. Sebagai bentuk kegiatan yang telah berlangsung lama, pertanian berperan penting bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Ketersediaan bahan pokok yang dihasilkan oleh sektor pertanian menjadi ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat bagi pemenuhan basic need (kebutuhan dasar) yaitu pangan. Hal ini diartikan bahwa sebelum kebutuhan yang lainnya terpenuhi, manusia harus terlebih dahulu mencapai tingkat kesejahteraannya dengan ketersediaan bahan makanan yang cukup. Pentingnya pertanian bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang telah berlangsung lama perlu mendapat perhatian khusus. Pertanian bagi Indonesia telah ikut menyumbangkan partisipasinya dalam pembangunan, bahkan pada saat resesi dan krisis ekonomi berlangsung (disebabkan pandemi Covid-19) dan banyak sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif, sektor pertanian tetap mengalami pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 1,77% pada tahun 2020 dengan nilai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto sebesar 13,70 % (Statistik Indonesia, BPS). Peranan sektor pertanian bagi pembangunan ekonomi juga begitu luas, yaitu meliputi : penyerapan tenaga kerja yang besar, penghasil makanan pokok penduduk, penentu stabilitas harga, pendorong ekspor dan pemasok bahan baku manufaktur. Selain itu, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Di tengah-tengah peranan sektor pertanian yang begitu luas, sektor ini masih dihadapkan pada beberapa kendala. Kendala tersebut berhubungan dengan beberapa hal yaitu : kualitas sumber daya manusia sektor pertanian yang masih rendah, ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif masih kurang dan kurangnya dukungan institusi terkait. Seiring dengan berjalannya proses industrialisasi, sektor pertanian dihadapkan pada ketersediaan lahan yang semakin berkurang sebagai akibat adanya alih fungsi lahan. Sektor pertanian juga dipandang tidak dapat dijadikan sektor andalan bagi mata pencaharian kebanyakan masyarakat, sebab minimnya pendapatan yang diperoleh dari sektor ini. Berbeda bila bekerja di sektor pengolahan (pabrik), sektor perdagangan atau sektor jasa lainnya. Di masa depan pun sektor pertanian juga dikhawatirkan akan terganggu akibat adanya perubahan iklim global. Sekarang ini kita dihadapkan pada masalah peningkatan harga pangan di pasaran internasional yang juga ikut berpengaruh terhadap harga pangan domestik. Situasi tersebut perlu menjadi concern bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat dan berkelanjutan di sektor pertanian dan pangan, terutama menyangkut produksi dan tata niaganya. Pertanian menjadi kurang diperhatikan saat Indonesia mulai melakukan transformasi ekonomi menjadi negara industri baru. Keberhasilan pembangunan pada sektor pertanian secara perlahan-lahan bergeser menjadi pembangunan yang bersifat dependensi (bergantung pada impor) dan jauh dari kemandirian. Pembangunan sektor pertanian yang berdasar pada dependesi telah melemahkan struktur pertanian domestik. Sektor pertanian untuk masa datang harus memperhatikan perubahan beberapa hal yaitu : subsidi dan proteksi terhadap usaha pertanian, globalisasi dan liberalisasi perdagangan, investasi dan pasar modal, perubahan pola permintaan produk pertanian, humanisasi pasar dan perlindungan, komersialisasi HAKI dan merek dagang secara global serta era disrupsi teknologi 4.0. Pembangunan pertanian ke depan haruslah merupakan bentuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan, yaitu pembangunan pertanian yang outcome-nya tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga juga mendukung kehidupan generasi yang akan datang. Keberlanjutan ini sangat tergantung pada pertanian yang mampu beradaptasi terhadap setiap perubahan dan mempunyai kemampuan yang inovatif dalam menghadapi setiap permasalahan. Untuk menciptakan sektor pertanian yang tangguh serta mewujudkan dan menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah haruslah mempunyai kebijakan jangka panjang yang mengarah pada ketersediaan, aksesibilitas, harga dan berkelanjutan. Ketersediaan mempunyai arti bahwa output sektor pertanian mampu memenuhi kebutuhan jumlah penduduk yang ada. Ketersediaan ini memungkinkan pula bagi masyarakat luas, baik lapisan atas, menengah dan bawah, untuk menjangkau ketersediaan pangan sebagai output dari sektor pertanian dengan harga yang memberikan insentif peningkatan kapasitas produksi dari sisi petaninya. Harga menjadi penting karena selama ini peningkatan harga dari produk pertanian tidak diikuti secara nyata dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para petani, terutama bagi petani gurem. Keberkelanjutan sektor pertanian adalah kemampuan untuk mencukupi ketersediaan pangan dalam jangka panjang dengan menjaga kualitas lingkungan hidup. Guna pencapaian tujuan tersebut diperlukan implementasi kebijakan yang kuat. Kebijakan tersebut terkait dengan penciptaan dan pengembangan pasar produk pertanian yang lebih luas, adanya teknologi yang berkembang melalui penelitian dan pengembangan bagi efisiensi di bidang pertanian (adaptasi dengan era disrupsi teknologi 4.0), tersedianya faktor-faktor produksi dan alat-alat produksi lokal, adanya insentif produksi bagi petani dan tersedianya transportasi. Pemerintah diharapkan juga untuk menciptakan iklim yang kondusif dengan penerapan kebijakan ekonomi makro yang mendukung pengembangan sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor strategis dan berperan luas secara sosial ekonomi. Berdasar hal tersebut, dukungan dan proteksi dari pemerintah masih sangat diperlukan bagi sektor ini untuk menciptakan ekonomi dalam negeri yang merdeka dari ketergantungan. Sebab negara yang merdeka adalah negara yang berdaulat di bidang pertanian dan pangan.(*)

Dua Dekade Banten : Melihat Beberapa Indikator Pembangunan Terpilih

 Oleh : Sayifullah, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Provinsi Banten telah memasuki usia 2 dekade sejak pertama kali diresmikan sebagai provinsi baru pada tahun 2000. Beberapa daerah yang ada di Banten juga memiliki usia administratif tidak jauh berbeda dengan usia provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa ini. Beberapa daerah tersebut di antaranya adalah Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan dan Kota Serang. Lahirnya Provinsi Banten beserta daerah pemekaran lainnya di tingkat kabupaten atau kota, merupakan upaya pembangunan untuk memberikan hasil yang lebih optimal dan dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat Banten. Hasil pembangunan di Provinsi Banten tentunya dapat kita amati melalui beberapa indikator terpilih, baik pada aspek dimensi ukuran ekonomi ataupun aspek dimensi ukuran sosial. Sejalan dengan bergesernya cara pandang pembangunan, penting bagi kita untuk bisa melihat keberhasilan pembangunan tidak hanya semata pada dimensi ukuran ekonomi saja, tetapi juga melalui dimensi ukuran sosial dalam hal ini adalah pada aspek dimensi ukuran manusia (SDM) sebagai subyek dan obyek pembangunan. Beberapa indikator terpilih yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan dari aspek ukuran manusia atau SDM ini diantaranya adalah : Indek Pembangunan Manusia, Harapan Hidup, Lama Sekolah, Melek Huruf, Jumlah Tenaga Kesehatan, Kemiskinan, Tingkat Pengangguran. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Banten menunjukkan angka rata-rata di atas 70 selama periode 2015-2020. Angka IPM Banten adalah sebesar 72,45 di tahun 2020 dan meningkat dari IPM tahun 2015 yaitu 70,27. Angka IPM Banten yang meningkat selama periode 2015-2020 dapat dimaknai bahwa secara umum kualitas manusia di Banten termasuk kategori tinggi selama periode tersebut. Lalu bagaimana keadaannya bila dilihat dalam lintas daerah kabupaten/kota? Bila dilihat terhadap lintas daerah kabupaten/kota yang ada di Banten, IPM di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang, angka IPM-nya masih berada pada angka di bawah 70. Rata-rata umur harapan hidup masyarakat Banten dalam lima tahun terakhir adalah 69 tahun lebih. Dua dari delapan kabupaten dan kota di Banten, umur harapan hidupnya sudah di atas 70 tahun yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Pada kabupaten/ kota yang lain yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, Kota Cilegon dan Kota Serang, umur harapan hidupnya masih di bawah 69 tahun. Melihat umur harapan hidup di Banten, masyarakat Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah relatif lebih panjang usia harapan hidupnya. Keadaan ini menggambarkan secara relatif keadaan kesehatan serta kualitas hidup yang baik di dua kota tersebut. Ukuran pembangunan pada sektor pendidikan dapat dilihat dengan mengamati Angka Partisipasi Murni (APM). Angka partisipasi murni adalah angka yang menunjukkan keterlibatan penduduk usia sekolah dalam memasuki “bangku sekolah” mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai dengan menengah. Melihat angka APM ini menjadi penting mengingat pencanangan pemerintah yang telah mewajibkan wajib belajar sampai dengan 12 tahun yaitu sampai dengan sekolah tingkat menengah. APM pada pendidikan dasar di tingkat SD/MI di Banten telah mencapai di atas 95, sedangkan di tingkat SMP/MTs masih di bawah 90 yaitu antara 79-82 dan APM untuk tingkat SMA/MA di Banten masih di bawah 60. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang akan dimasuki semakin rendah APM-nya. Keadaan ini perlu menjadi perhatian, khususnya bagi pemerintah daerah, sebagai dasar dalam upaya untuk peningkatan kualitas pendidikan di Banten melalui lebih banyaknya masyarakat Banten masuk sekolah sampai dengan pendidikan menengah. Pada sisi lain kita dapat melihat pembangunan sektor pendidikan melalui ukuran Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Rata-rata lama sekolah masyarakat Banten umumnya belum sampai menamatkan hingga jenjang SMP/MTs. Rata-rata lama sekolah masyarakat Banten adalah berkisar 8 tahun lebih. Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Kota Cilegon adalah daerah dengan rata-rata lama sekolah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya di Banten meskipun belum sampai menamatkan hingga jenjang SMP/MTs. Ketiga kota ini angka rata-rata lama sekolahnya sudah di atas rata-rata provinsi yaitu dengan angka RLS adalah 11,81 untuk Kota Tangerang Selatan, 10,69 untuk Kota Tangerang dan 9,87 untuk Kota Cilegon. Keberhasilan pendidikan, khususnya di tingkat dasar adalah terbebasnya masyarakat yang telah mengikuti jenjang pendidikan ini dari persoalan buta huruf. Lebih dari 97 persen masyarakat Banten telah terbebas dari buta huruf. Fakta lainnya menunjukkan bahwa angka melek huruf ini terus bertambah selama periode 2015-2020. Tiga daerah dengan angka melek huruf tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Upaya guna mewujudkan masyarakat yang terbebas dari buta huruf perlu untuk terus ditingkatkan terutama sekali pada daerah dengan angka melek huruf yang berada di bawah angka melek huruf di tingkat provinsi, misalnya yaitu di Kabupaten Lebak yang angka melek hurufnya baru mencapai 94,63 di tahun 2020. Ketersediaan layanan kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan, berperan penting guna menjamin terciptanya masyarakat yang sehat dan produktif. Pada aspek ketersediaan sumberdaya manusia di bidang kesehatan, keberadaan tenaga kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat di Banten masih relatif terbatas. Keterbatasan ini dapat terlihat baik pada sisi jumlah maupun sebarannya. Tenaga kesehatan yang cukup dari sisi kuantitas dan kualitasnya, misalnya dokter, umumnya lebih banyak di daerah perkotaan seperti Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Serang. Pada ketiga daerah ini jumlah ketersediaan dokternya sudah diatas 300, bahkan untuk Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, jumlahnya sudah di atas 800. Keadaan ini berbanding terbalik dengan daerah lainnya yang ada di Banten. Persentase rata-rata penduduk miskin di Banten berkisar pada angka lebih dari 5 persen di lima tahun terakhir. Penduduk miskin ini umumnya berada pada daerah perdesaan yang ada di kabupaten. Kabupaten Lebak (9,24), Kabupaten Pandeglang (9,92) dan Kabupaten Tangerang (6,23) adalah daerah dengan persentase kemiskinan yang lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Selain ketiga daerah tersebut, Kota Serang dan Kota Tangerang juga perlu mendapat perhatian khusus. Pada dua kota ini persentase kemiskinan masih relative tinggi bila dibandingkan dengan persentase kemiskinan di tingkat provinsi. Di Kota Serang penduduk miskinnya adalah 6,06 persen dan di Kota Tangeranga adalah 5,22 persen Pengangguran terbuka di Provinsi Banten umumnya relatif tinggi yaitu 10,64 persen, bahkan lebih tinggi dari tingkat pengangguran terbuka nasional. Daerah-daerah di Provinsi Banten yang tingkat pengangguran terbukanya relatif tinggi adalah di Kabupaten Tangerang (13,06 persen), Kabupaten Serang (12,22 persen), dan Kota Cilegon (12,69 persen). Selain ketiga daerah ini, kabupaten dan kota yang lain juga sebenarnya masih cukup tinggi, sebab angka pengangguran terbukanya masih di atas ukuran pengangguran terbuka yang moderat yaitu 5-6 persen. Pengangguran yang tinggi Banten merupakan Pekerjaan Rumah (PR) yang besar bagi pemerintah daerah. Perlu sinergitas antara pemerintah dan swasta dalam upaya mengatasi persoalan ini sebab ketersediaan lapangan pekerjaan tidak bisa hanya dari sisi pemerintah saja tetapi juga berkaitan dengan perkembangan dunia usahanya. Banten pada usianya yang telah memasuki dua dekade telah banyak berubah dari sisi fisik atau infrastruktur. Hal ini sangat baik bagi masyarakat, khususnya dalam membuka akses dan konektivitas ekonomi bagi daerah-daerah yang ada di Banten, sehingga terjadi peningkatan pendapatan atau ekonomi masyarakat. Tetapi pada aspek lain, perlu juga bagi Pemerintah Daerah untuk memperhatikan keberhasilan pembangunannya melalui pengamatan pada ukuran yang lain, yaitu sisi manusia (SDM). Hakikat pembangunan sebagaimana diungkap oleh cara pandang baru adalah bagaimana pembangunan dapat meningkatkan kualitas manusianya, memanusiakan manusianya. Wallahu a’lam bishawab. (*)

Budikdamber : Upaya Menjaga Ketahanan Pangan di Masa Pandemik Covid-19

Oleh : Sayifullah, Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Munculnya Virus Covid-19 yang kemudian menjadi pandemik global mengakibatkan segala aktivitas yang biasa dilakukan secara normal menjadi serba terbatas dan memerlukan kreatifitas baru. Setiap individu diharuskan untuk tetap menjaga jarak antar individu dan mengurangi segala aktivitas di luar rumah yang kurang penting untuk memutus rantai penyebaran virus. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi masyarakat harus tetap tersedia khususnya dalam unit terkecil yaitu rumah tangga. Menghadapi situasi tersebut diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat guna pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya dalam menjaga ketersediaan pangan untuk kebutuhan protein dan sayur. Salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan protein dan sayur dalam masa Adaptasi Kebiasaan Baru adalah dengan menerapkan sistem Budidaya Ikan Dalam Ember (Budikdamber). Sistem Budikdamber merupakan sebuah modifikasi pembudidayaan ikan secara sederhana dengan menggabungkan sistem pertanian hidroponik dengan budidaya perikanan air tawar. Sistem ini lebih dikenal dengan nama aquaponik yang dapat digambarkan sebagai penggabungan antara sistem budidaya akuakultur (Budidaya ikan) dengan hidroponik (budidaya sayuran tanpa media tanah), (BPTP, 2016). Budikdamber adalah alternatif untuk menanam sayuran sekaligus membudidayakan ikan dalam satu wadah. Metode ini memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan sistem konvensional, yang salah satunya adalah penggunaan air sebagai pengganti media tanah dalam praktiknya, sehingga lebih praktis untuk diterapkan. Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan Budikdamber diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia sekaligus menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Desa Sukamanah Kabupaten Serang dalam rangka KKM Tematik 2021  Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Kegiatan Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan ini juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam unit rumah tangga dan dapat dijadikan pilihan untuk menambah penghasilan. Pada kegiatan pelatihan ini, metode yang digunakan adalah metode penyuluhan atau sosialisasi secara online meeting melalui Google Meeting. Pelatihan ini dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tahapan yaitu : 1) Tahap Persiapan; 2) Tahap Pelatihan; dan 3) Tahap Evaluasi. Pada tahap persiapan, dilakukan survei terhadap warga Desa Sukamanah mengenai pengetahuan masyarakat terhadap Budikdamber. Survei ini berupa kuesioner dalam bentuk google form yang berisi beberapa pertanyaan seputar Budikdamber. Tujuan diberikannya google form adalah untuk memperoleh informasi awal tentang pengetahuan warga Desa Sukamanah berkaitan dengan Budikdamber. Tahap Pelatihan dilakukan melalui penyuluhan atau sosialisasi secara online melalui Google Meet di mana masyarakat Desa Sukamanah diberikan pelatihan tentang teknik melakukan Budikdamber mulai dari pembuatan alat Budikdamber, perawatan, hingga panen. Alat dan bahan yang harus disiapkan untuk melakukan Budikdamber meliputi ember dengan kapasitas 80 liter, benih ikan lele, pakan ikan lele, benih kangkung, gelas plastik, media tanam, tang, kawat, dan solder. Berikut adalah tahap perakitan Budikdamber : Lubangi gelas plastik 10-15 buah dengan solder; Potong kangkung, sisakan bagian bawah; Masukkan kangkung ke dalam gelas, kemudian isi gelas dengan media tanam; Potong kawat ±12 cm dan buat model kait yang bisa dijadikan pegangan gelas di ember; Isi air 60 liter kedalam ember, diamkan kurang lebih 1-2 hari; Masukkan benih ikan kedalam ember, diamkan 1-2 hari; Rangkai gelas kangkung di pinggir ember. Berikut adalah pelaksanaan perawatan Budikdamber : Letakkan budikdamber ditempat yang terkena matahari masksimal; Cek kondisi daun kangkung setiap hari; Beri pakan ikan lele 2-3 kali sehari secara rutin; Lakukan penggantian air saat nafsu makan ikan menurun, air berbau busuk, dan ikan menggantung (kepala di atas, ekor di bawah); Sebaiknya lakukan penggantian air atau sipon (penyedotan kotoran di dasar ember dengan selang) setiap 10-14 hari sekali; Penyedotan dapat 50-80 persen dari keseluruhan air atau dapat seluruhnya apabila diperlukan. Kemudian ganti dengan air bersih; Kangkung yang membesar membutuhkan air yang lebih banyak sehingga air perlu ditambahkan setinggi leher ember; Berikut adalah tahap pelaksanaan Panen Budikdamber : Panen kangkung pertama adalah 14-21 hari sejak tanam; Sisakan bagian bawah tunas kangkung untuk pertumbuhan kembali; Panen ke-2 dan selanjutnya berjarak 10-14 hari sekali; Panen ikan lele dapat dilakukan dalam 2 bulan, jika benih bagus dan pakan baik; Panen ikan dapat dilakukan dengan cara diserok atau dikuras. Setelah selesai diberikan pelatihan secara online, dilakukan tahap evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari kegiatan ini. Tingkat keberhasilan kegiatan diukur melalui kuesioner yang diisi oleh peserta melalui google form yang disebarkan melalui grup whatsapp warga Desa Sukamanah. Berdasar hasil survey awal dan evaluasi, terhadap 15 pertanyaan yang diajukan, dapat dilihat bahwa sebelum diberi pelatihan rata-rata jumlah jawaban yang dijawab benar adalah 7,5 dan setelah diberikan pelatihan rata-rata jumlah jawaban yang dijawab benar adalah 10,4. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan ini telah berhasil memberdayakan masyarakat dalam memperoleh pengetahuan dan praktik Budikdamber. Selain itu juga bahwa berdasarkan perbandingan hasil kuesioner yang diberikan sebelum dan sesudah diberi pelatihan mengenai Budikdamber, dapat disimpulkan bahwa warga Desa Sukamanah dapat memahami cara melakukan Budikdamber serta mampu berpraktik secara mandiri. (***)