Author: Bilqis Ramadhanty

Drama: Pengertian dan Unsur Menurut Aristoteles

Apakah Anda pernah melihat drama atau teater? lalu apa kira-kira pengertian drama? dan apa saja unsur-unsurnya? pada artikel kali ini, penulis akan membahas lebih mendalam terkait drama dan unsurnya menurut Aristoteles. Menurut sejarahnya, kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama mengutamakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat pengarang yang bersifat drama. Drama merupakan cerita atau sebuah tiruan perilaku (mimesis) dan segala yang berhubungan dengan kehidupan manusia dengan segala konflik dan intrik yang dipentaskan. Selain memahami pengertian drama, kita perlu juga mempelajari dan memahami unsur-unsur pembangun drama. Unsur-unsur drama menurut Aristoteles yang terdiri dari: Plot (Mythos) adalah runtutan peristiwa yang mana satu dengan lainnya saling berhubungan dan berpengaruh. Sederhananya, dalam plot memiliki kausalitas atau sebab akibat. Plot harus berkesinambungan secara keseluruhan, memiliki awal mula cerita, pertengahan cerita, dan akhir cerita atau penutup. Characters (Ethos) adalah tokoh, lakon atau agen plot yang memerankan peran sesuai dengan naskah. Orang yang menjalankan cerita disebut aktor. Thought (Dianoia) adalah gagasan atau pikiran penulis yang direalisasikan ke dalam naskah untuk menunjukkan sesuatu sekaligus memberikan impresi kepada para penonton drama. Thought bisa dikenal juga sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada para penonton drama. Diction (Lexis) adalah unsur drama dikenal sebagai dialog atau ekspresi bahasa dalam naskah drama yang diciptakan oleh penulis naskah yang nantinya akan diucapkan oleh aktor drama. Melody (Melos) adalah unsur drama yang berisi bagian yang ingin disampaikan dalam bentuk musik atau lagu yang mengacu pada irama saat pelakon atau aktor saling berdialog satu sama lain untuk mengekspresi suatu keadaan seperti keadaan sedih, tegang, efek suara tertentu, dan lain sebagainya. Spectacle, Spectacle merupakan unsur drama yang berisi suatu elemen visual yang melekat dan dapat dilihat oleh para penonton drama. Spectacle ini bisa disebut juga mise en scene. Elemen visual yang dapat dilihat itu seperti tata rias, tata busana, tata cahaya, tata panggung, dan sebagainya. Kesimpulan menurut penulis, drama termasuk kedalam salah satu karya sastra. Drama dapat dikatakan sebagai karya sastra apabila ditinjau dari naskahnya, sedangkan drama sebagai karya pentas apabila ditinjau dari aspek penampilan visual (tata panggung, tata rias, tata kostum, tata cahaya, dan properti properti penunjang). Unsur drama menurut Aristoteles antara lain plot, character, thought, diction, dan melody. Diatas merupakan pengertian dan unsur drama menurut Aristoteles. Semoga dapat menambah pengetahuan kita bersama mengenai pengertian drama dan unsur drama menurut Aristoteles. Pada tulisan berikutnya, penulis akan membawakan konten mengenai struktur drama dan macam-macam genre drama, nantikan, ya!

Maraknya Maskulinitas Beracun di Tengah Masyarakat

Di tengah masyarakat yang memegang teguh nilai partiarki, ternyata maskulinitas beracun masih ada, bahkan marak terjadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriarki adalah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Konsep nilai partiarki tersebut sepertinya mengesamping dan merugikan perempuan. Namun, apakah benar hanya perempuan yang dirugikan? Dewasa ini, isu kesetaraan gender mengharuskan kita sadar akan hal yang menyangkut gender. Istilah-istilah seperti partiarki, feminisme, seksisme, misogini yang mulai terdengar di telinga masyarakat, utamanya generasi sekarang yang mungkin tidak mengetahui bahwa budaya patriarki sulit dihapuskan. Budaya patriarki yang semakin lama menjelma berubah menjadi konsep maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang mana konsep tersebut mengincar laki-laki untuk hidup dengan norma laki-laki yang terbentuk di masyarakat. Standar norma laki-laki yang merujuk pada kekuatan, superioritas, dominasi, dan agresi. Maskulinitas beracun adalah konsep secara terminologi yang tidak sehat justru berbahaya karena membatasi laki-laki untuk membatasi potensi maksimal sebagai manusia. Maskulinitas beracun di Indonesia semakin dianggap biasa saja karena sudah mengakar kuat pada budaya kita. Perempuan yang dianggap lebih lemah daripada laki-laki, dan laki-laki yang diharuskan lebih kuat dari perempuan sudah ditanamkan dalam pola pikir kita sejak kecil. Penanaman nilai yang mengakar kuat tersebut menghasilkan nggapan bahwa laki-laki harus kuat tidak boleh menangis. Budaya patriarki menganggap bahwa menangis adalah salah satu tanda seseorang tersebut lemah. Padahal, menangis adalah cara normal untuk mengekspresikan sebuah emosi. Maskulinitas beracun mengharuskan laki-laki untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat. Nilai maskulinitas beracun yang tertatam di masyarakat bahwa dari usia dini, mulai dari -aturan bahwa anak laki-laki harus main mainan anak laki-laki, tidak boleh main mainan anak perempuan, membatasi intensitas anak laki-laki bermain dengan anak perempuan, tidak mengajari anak laki-laki pekerjaan rumah sedari kecil, dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut yang akhirnya terbawa hingga anak laki-laki itu dewasa dan tertatam nilai bahwa laki-laki tidak wajar untuk mengerjakan pekerjaan domestik seperti bersih-bersih rumah. Standar lain yang melekat pada laki-laki adalah laki-laki harus sukses dalam finansial, serta tidak wajar apabila melakukan perawatan diri dengan make up atau skincare karena itu dianggap kegiatan perempuan, dan masih banyak lagi. Dampak dari standardisasi tersebut yakni banyak laki-laki yang tumbuh menjadi manusia dengan ego atau gengsi tinggi. “Laki-laki yang ada di idol grup itu mereka mempunyai ekspresi atau bagaimana mereka mengekspresikan dirinya. Menurut saya sudah lepas dari idea of masculinity dan apa itu feminisme, jadi mereka nyaman menggunakan make up, pakai skincare, menggunakan baju warna pink, dan lain-lain. Menurut aku sudah mendobrak itu,” ucap Anindya Restuviani, Direktur Program Lintas Feminis Jakarta pada acara Sintesa Diskusi Berat. Menurut artikel factnews.com yang berjudul maskulinitas beracun berupa tuntutan masyarakat bahwa seorang laki-laki harus kuat, tidak boleh emosional ketika laki-laki marah, seorang laki-laki bisa mengatur hubungan, jika laki-laki kurang dominan dalam hubungan, berarti laki-laki lemah, seorang laki-laki dikatakan gagal ketika laki-laki tidak menjadi seorang yang bisa menghidupkan keluarganya, dan perundungan yang terjadi pada laki-laki karena sifat atau bentuk atau gestur tubuh yang agak feminin. Dari beberapa alasan diatas, penulis berpikir bahwa benar adanya konsep maskulinitas beracun sangat membatasi laki-laki dengan nilai tertatam sehingga menciptakan ego terhadap laki-laki. Di dalam rumah tangga misalnya, sering kali suami enggan membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak, dan mengurus anak. – Padahal hal-hal tersebut adalah hal-hal dasar yang seharusnya terlepas dari unsur gender. Perundungan terhadap laki-laki karena konsep maskulinitas beracun pernah ditemui penulis di sosial media, Tiktok. Penulis melihat konten video dari @avanthelove, dalam videonya, Avan membalas komentar yang berisi tentang tanggapan negatif dirinya menggunakan skincare. Hal tersebutnya memicu pikiran penulis untuk menulis esai tentang maraknya maskulinitas beracun di masyarakat. Maskulinitas beracun memiliki dampak buruk yang cukup signifikan bagi laki-laki. Laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas sering kali mendapatkan tekanan dari laki-laki lain atau masyarakat sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Perlakuan ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami stress. Dilansir dari laman databoks, walaupun selama 20 tahun terakhir, tren tingkat bunuh diri di Indonesia menurun. Pada 2020, tingkat bunuh diri di tanah air sempat mencapai 3,5 per 100 ribu penduduk dan tercatat tingkat bunuh diri laki-laki di Indonesia pada 2019 lebih tinggi ketimbang perempuan yakni sebesar 3,7 per 100 ribu penduduk. Nur Hasyim menyampaikan beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan maskulinitas beracun. Pertama, membuka ruang perbincangan tentang maskulinitas, yakni ruang yang aman dan nyaman tanpa dihantui rasa takut untuk membicarakan tentang diri mereka. Kedua, merefleksikan konsekuensi negatif dari maskulinitas beracun bagi laki-perempuan, dan kelompok-kelompok lain. Ketiga, mempromosikan konsep laki-laki manusiawi yang keluar dari konsep maskulinitas dan feminitas yang merupakan produk patriarki. Keempat, menjadi sekutu gerakan feminisme dalam aksi transformasi sistem sosial yang kini masih patriarkis dan seksis. Jadi kesimpulan penulis mengenai maskulinitas beracun yang berdasarkan pada fakta-fakta di masyarakat bahwasanya penanaman nilai maskulinitas beracun di masyarakat mengenai stigma bahwa laki-laki harus maskulin, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan stigma bahwa laki-laki harus maskulin, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan dengan perempuan. Hal-hal tersebut sudah terbentuk karena penanaman nilai kemaskulinan yang sudah berkembang sejak bayi dilahirkan, perbedaan sikap dan perilaku seorang laki-laki sudah tertanam sejak kecil. Padahal sejak bayi, setiap anak laki-laki terlahir berbeda-beda. Misalkan saja ada yang terlahir memiliki sifat maskulin, tegas, berani, bisa memimpin dan sebagainya. Namun, ada juga laki-laki yang memiliki suara lembut, kurang tegas, kurang pandai berolahraga, lebih menyukai warna yang terang, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidaklah salah, karena dalam ilmu biologi, mungkin saja laki-laki yang seperti itu karena jumlah hormonnya yang kurang seimbang. Maka dari itu, mari hentikan tindakan maskullinitas beracun dengan mengharagai orang lain menghargai kita.

ESAI: Eratnya Budaya Toxic Masculinity di Masyarakat Indonesia

Apa itu toxic masculinity? mungkin sebagian besar masyarakat tidak mengetahui istilah ini. Toxic masculinity merupakan kalimat dari bahasa Inggris yang berarti konsep kemaskulinan beracun, lahir dari adanya sistem sosial dari masyarakat patriarki. Toxic masculinity ini mengacu pada perilaku sebagaimana laki-laki dikenal di masyarakat, apabila laki-laki tersebut memiliki sisi feminin lalu ditekan oleh orang-orang sekitarnya bahwa laki-laki tidak boleh menunjukkan sisi femininnya, maka orang-orang tersebut bisa dikatakan toxic terhadap nilai kejantanan laki-laki (toxic masculinity).   Menurut peneliti, toxic masculinity adalah jabaran sempit mengenai sikap dan perilaku gender laki-laki, di mana laki-laki harus bisa mengendalikan emosi pada tekanan, bersikap dominan, berpenampilan macho, memiliki jiwa kepemimpinan, tegas, dan berani. Menurut artikel factnews.com yang berjudul toxic masculinity sebagai berikut: 1. Seorang laki-laki harus kuat, tidak boleh emosional ketika laki-laki marah. 2. Seorang laki-laki harus bisa mengatur hubungan, jika laki-laki kurang dominan dalam hubungan, berarti laki-laki lemah. 3. Seorang laki-laki dikatakan gagal ketika laki-laki tidak menjadi seseorang yang bisa menghidupi keluarganya. 4. Perundungan yang terjadi pada laki-laki karena sifat atau bentuk atau gerak tubuh yang ‘’agak’’ feminin. Menurut factnews.com masyarakat yang membentuk hal-hal maskulin pada laki-laki, jika laki-laki tidak mengikuti hal-hal tersebut, maka akan dianggap laki-laki tersebut tidak maskulin, hal ini disebut toxic masculinity.   Jika kita telisik bersama, budaya masyarakat di Indonesia mengenai pandangan yang salah tentang maskulinitas masih banyak sekali. Beberapa pandangan Toxic Masculinity yang ada dimasyarakat antara lain: (a) Laki-laki harus menghindari apapun yang bersifat feminin atau yang berhubungan dengan wanita. Contohnya, keengganan untuk melakukan aktivitas rumah yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti memasak, berkebun, mengasuh anak, dan menyapu. Padahal dalam perkembangan dinamika dimasyarakat, pekerjaan memasak sudah tidak lagi didominasi oleh kaum hawa; bahkan untuk pekerjaan koki (chef), Chef laki-laki lebih banyak dibandingkan chef perempuan. Terbukti dengan banyak chef laki-laki yang terkenal seperti Chef Juna, Chef Arnold, Chef Matthew, Chef Willgoz, dan masih banyak lagi.   Laki-laki yang bisa memasak biasanya akan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam memperhatikan hal-hal yang detil, memiliki hidup yang berkualitas, dan bahkan mendukung adanya kesetaraan gender di masyarakat. Dibuktikan pada kasus Chef Arnold mengamuk usai anaknya di komentari jahat oleh netizen soal anaknya gendong boneka bayi (15/06/2022). Netizen nyinyir itu protes bahwa seorang anak laki-laki tidak seharusnya bermain boneka. “Waduh ini anak laki-laki kan. Masa anak laki-laki mainannya mainan untuk perempuan. Hati-hati nanti sudah besarnya?” tanya netizen nyinyir itu yang mengomentari sebuah video anak Chef Arnold, Arthur. Melihat komentar itu, Chef Arnold tak tinggal diam. Ia langsung pasang badan dan memberikan balasan menohok. “Memang kenapa kalau laki-laki main baby-baby’an? Atau sapu-sapuan? Terus kalau masak untuk perempuan juga? Kalau nanti Arthur besar bisa jaga baby dan rajin bersih-bersih.. I would be damn proud. Kasihan sekali jaman sekarang masih ada pemikirannya seperti itu,” tulis Chef Arnold (Instagram/@arnoldpo) Chef Arnold menekankan bahwa masa depan anak tidak ditentukan oleh mainannya di masa kecil. Chef Arnold pun mempertanyakan maksud dari komentar nyinyir si netizen. “Masa depan anak bukan ditakdirkan dengan mainan dia di masa dini. Melainkan Tuhan sudah ada rencana dan juga memberikan hikmat kepada kami orang tua untuk mendidik dan mensupport anak kita di masa depan,” ujar Chef Arnold (Instagram/@arnoldpo) Melihat kasus diatas membuktikan bahwa budaya toxic masculinity masih amat melekat pada masyarakat Indonesia, bahkan anak kecil pun menjadi korban dari nilai maskulinitas tersebut. Anggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh main mainan anak perempuan seperti main boneka-bonekaan, masak-masakkan, bekel, lompat karet, dan lain sebagainya seakan-akan menanam nilai maskulinitas dari masa kecil dan mengkhawatirkan kemaskulinitasan anak laki-laki di masa dewasanya nanti. Pada tayangan video berjudul ‘’COWOK GA BOLEH NANGIS? INI CERITA MEREKA TENTANG TOXIC MASCULINITY | Ternyata Begini S3’’ yang diproduksi oleh channel YouTube Cretivox (8/1/2022). Penulis mendapatkan data sebagai berikut: 1. Kurang lebih 9 dari keseluruhan partisipan/talent belum mengetahui, tidak mengetahui, dan lupa mengenai apa itu toxic masculinity. 2. Sebagian besar talent dari keseluruhan talent pernah atau sering mengalami toxic masculinity. 3. Beberapa dari mereka merasa mengalami toxic masculinity karena didikan dari orang tuanya. 4. Bentuk toxic masculinity yang dialami talent bermacam-macam, seperti laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki tidak boleh mengeluh, laki-laki tidak boleh memakai baju warna pink, laki-laki tidak boleh memakai anting, laki-laki tidak boleh berambut gondrong (seperti perempuan), laki-laki tidak boleh menari, laki-laki tidak boleh banyak berteman dengan perempuan, dan masih banyak lagi. Dari video Creativox tersebut banyak sekali komentar mengenai toxic masculinity oleh mereka laki-laki yang mengalaminya. ‘’Aku dulu pernah jadi korban toxic ini sih, mulai dari aku tidak bisa olahraga, tidak bisa main sepak bola, cengeng, lemah, suara lembut yang memang dari sananya sudah lembut, dll. Aku berharap banyak orang-orang Indonesia itu bisa dapat edukasi tentang hal ini. Pokoknya thanks banget for cretivox yang selalu bikin edukasi yang baik. ’’(YouTube/Indomie Boy) ‘’Salah satu toxic masculinity di keluarga aku yang super kolot dan menghasilkan kebiasaan yang malah lebih buruk adalah ‘LAKI-LAKI KOK MENYAPU/MENGEPEL/MENCUCI PIRING/DAN PEKERJAAN RUMAH LAINNYA’ serius yang seperti ini harus dihentikan. Kakakku yang seharusnya rajin bebersih malah dikatai banci karena begitu. Pada akhirnya laki-laki di keluargaku tidak ada yang tahu semua pekerjaan rumah bahkan hal basic seperti menyapu. Malah merugikan sekali bukan.’’ (YouTube/Chaeyoungs Hairpin) Jadi kesimpulan dan opini penulis mengenai toxic masculinity yang juga berdasarkan pada fakta-fakta di masyarakat bahwasanya konstruksi makna toxic masculinity di masyarakat mengenai stigma bahwa laki-laki maskulin harus macho, tegas, berani, tidak mengenakan sesuatu yang berkaitan dengan perempuan sudah terbentuk karena internalisasi nilai kemaskulinan yang sudah berkembang sejak bayi laki-laki dilahirkan, pengkotak-kotakkan sikap dan perilaku seorang laki-laki sudah tertanam sejak kecil. Padahal sejak bayi, setiap anak laki-laki terlahir berbeda-beda. Misalkan saja ada yang terlahir memiliki sifat macho, tegas, berani, bisa memimpin dan sebagainya. Namun, ada juga laki-laki yang memiliki suara lembut, kurang tegas, kurang pandai berolahraga, lebih menyukai warna yang terang, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidaklah salah, karena dalam ilmu biologisnya mungkin saja laki-laki yang seperti itu karena jumlah hormonnya yang kurang seimbang. Maka dari itu, mari hentikan tindakan toxic masculinity dengan menghargai orang lain sebelum orang lain menghargai kita.