Author: Adinda Destiana Aisyah

Eksistensi Karya Sastra di Tengah Perbedaan “Selera” Masyarakat

Karya sastra merupakan hasil dari kreativitas para seniman yang menuangkan ide, pikiran, dan gambaran-gambaran mengenai kehidupan lewat sebuah tulisan maupun lisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah lahir Sastra di dunia dengan beragam cabang ilmunya, karya sastra juga menjadi salah satu hal menarik yang perlu dibahas di dalam ruang lingkup sastra itu sendiri. Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak lahir para penulis yang berkecimpung di dalam dunia sastra untuk menghasilkan karya-karya yang menarik. Bisa dikatakan sebagai hiburan di tengah aktivitas yang padat, para remaja di usia 15-17 tahun cenderung memilih karya sastra novel atau cerpen sebagai bahan bacaan yang menarik. Awal mula kelahiran karya sastra hanya dapat dinikmati dengan media cetak, koran, majalah, dan lain-lain. Para seniman yang kala itu membuat sebuah karya pun tidak banyak, hanya beberapa yang mampu menghasilkan karya-karya menarik. Namun, seiring berkembangnya teknologi, karya sastra kini bisa dinikmati lewat gadget atau ponsel yang sering dinamakan sebagai sastra siber. Dimana semua masyarakat bebas menikmati hasil karya sastra berupa novel, cerpen atau puisi, lewat Internet. Tercatat bahwa salah satu Aplikasi populer yang menawarkan kebebasan bagi siapapun untuk membaca karya sastra, telah didownload oleh 100 juta orang lebih. Kemudahan yang didapatkan oleh masyarakat karena perkembangan teknologi yang canggih, tidak serta-merta menaikkan minat baca masyarakat. Hal ini dikarenakan selera masyarakat yang berbeda-beda, serta eksistensi karya sastra dirasa belum cukup untuk memuaskan keinginan membaca di tengah masyarakat. Di luar dari usia remaja yang tercatat gemar membaca karya sastra pun tidak dapat memberi kesimpulan bahwa karya berbentuk novel, cerpen dan puisi tersebut benar-benar diminati masyarakat. Hasil survey yang dilakukan oleh LSI pada tahun 2017 menyatakan bahwa hanya ada 6 persen pembaca sastra, dan di antaranya hanya ada 3 persen yang benar-benar ingat tentang karya sastra yang dibaca beserta penulisnya. Bukankah data ini cukup konkret untuk menyimpulkan bahwa peminat karya sastra masih sangat minim, bahkan di tengah kemajuan teknologi yang memadai. Minimnya minat baca terhadap karya sastra juga dikuatkan oleh salah satu pendapat penulis muda dengan nama pena, Pie. Pada kesempatan wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juli 2021, penulis novel berjudul “A Little More Diary” ini mengungkapkan bahwa, “Pengaruh karya sastra pada selera baca masyarakat masih sangat minim, selain karena kebanyakan masyarakat tidak tertarik dengan literasi saat ini, mereka juga menganggap buku sejenis novel – dimana notabenenya novel adalah salah satu karya sastra yang paling populer – sebagai satu karya sastra yang tidak begitu bernilai, sedangkan buku populer-pembelajaran terasa sangat kaku. Yang memiliki lebih banyak komentar positif hanya buku motivasi atau pengembangan diri, dan itu pun berlaku hanya untuk sebagian.” Pendapatnya diungkapka berdasarkan fakta yang terlihat dari organisasi literasi di NTB, yaitu FLP yang mana anggotanya masih di bawah 50 orang. Melihat fenomena yang ada justru semakin mengiris, faktanya perjalanan sastra dengan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Di dalam karya sastra, sering kali menjabarkan perihal kehidupan masyarakat beserta seluk-beluk dan kebiasaannya. Selain hubungan dalam pokok pikiran dalam karya sastra itu sendiri, setiap karya juga tidak bisa terlepas dari peran masyarakat sebagai penikmatnya. Faktanya, tidak semua karya sastra dapat memuaskan “selera” masyarakat. Beberapa seniman memilih untuk mengikuti selera masyarakat atau tren pasar dalam pembuatan karya sastra mereka, tetapi tidak sedikit pula para seniman melangkah menjauhi selera masyarakat dan fokus pada ide serta gagasan milik mereka dalam pembuatan karya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Pie, bahwasanya ia tetap memusatkan pada ide pokok dan keinginan yang dimiliki, mungkin bisa jauh dari tren pasar atau mendekati jika memang seleranya sama. “ Selera adalah masalah personal yang tidak bisa dikendalikan oleh orang lain, termasuk itu penulis. Penulis romansa tidak bisa mengubah selera seorang penyuka cerita horror, kecuali ada keajaiban tertentu atau si penulis mengikuti selera pembaca tersebut dengan menyelipkan kisah horror dalam cerita roman yang dia buat.” Katanya dalam sesi wawancara secara daring itu. Dengan demikian beberapa penulis juga tidak akan ambil pusing mengenai perbedaan “selera” di tengah masyarakat modern ini. Kemerosotan atau faktor tidak berkembangnya karya sastra di Indonesia mungkin saja berkenaan dengan selera masyarakat yang perlu diubah dan disadarkan mengenai sastra itu sendiri. Ekspektasi pembaca sering kali menjadi alasan masalah “selera” di tengah masyarakat. Ada begitu banyak genre karya sastra yang dapat memuaskan masyarakat, sepertinya bukan hal yang buruk untuk menjajal satu persatu setiap genre karya sastra. Karena di setiap karya sastra selalu terselip nilai-nilai kehidupan, sosial, budaya, yang diberikan para seniman. Alangkah baiknya masyarakat fokus untuk mengambil setiap nilai positif dalam setiap karya sastra, daripada dilema hanya karena “selera” yang tidak sejalan.

Handlis, Inovasi di Tengah Pandemi

“Melahirkan lapangan kerja di tengah sulitnya mencari pekerjaan, serta melatih kreativitas anak bangsa dalam memanfaatkan limbah di sekitar lingkungan.” Pernyataan tersebut dilontarkan langsung oleh Lilis Melasanti, pemilik usaha cetak foto di atas kayu saat ditanya mengenai tujuan terbentuknya usaha tersebut. Selama ini cetak foto hanya dilakukan di atas kertas atau kain, tetapi Handlis—sebutan untuk produk—melahirkan inovasi baru dengan mencetak foto di atas kayu bekas. Handlis merupakan nama untuk usaha cetak foto di atas kayu yang terletak di daerah Ciawi-Bogor. Usaha tersebut lahir sejak tahun 2014 dan dijalankan langsung oleh seorang wirausahawan bernama Lilis Melasanti bersama keluarga besarnya, di kediaman mereka sendiri. Proses editing, cetak, produksi, hingga proses akhir, dilakukan tanpa bantuan orang lain, dan dikerjakan dengan teliti untuk memperoleh hasil yang maksimal. Produk-produk yang ada pun beraneka ragam, mulai dari gantungan kunci, bingkai foto dengan bentuk buku, jam, bentuk box, dekoran kaligrafi, papan nama atau plakat, meja lipat. Semua produk tersebut berbahan dasar kayu pinus dengan kualitas terbaik, tetapi ramah lingkungan. Handlis akan mencetak foto sesuai pesanan di atas kayu pinus tersebut, dan menerima segala macam bentuk permintaan. Bukan hanya foto, tetapi tulisan-tulisan atau tanda tangan pun bisa dicetak di atas kayu tersebut, dengan kualitas tinggi dan tidak mudah luntur. Proses produksi Handlis sangat ramah lingkungan dengan memperhatikan bahan-bahan yang digunakan sampai limbah yang dihasilkan dari produksi. “Kita menggunakan bahan kayu yang sangat ramah lingkungan, yaitu kayu pinus. Kayu ini tidak mudah lapuk, dan kualitasnya pun tinggi. Limbah dari hasil produksi pun kita kelola dengan baik sampai akhir, sehingga tidak merugikan lingkungan sekitar,” kata Lilis saat diwawancarai pada Kamis, 09 Desember 2020. Inovasi pemanfaatan kayu sebagai pembuatan sebuah benda memang bukan hal baru, hal ini juga disadari oleh Lilis. Oleh karena itu, Handlis menawarkan kelebihan-kelebihan menarik yang membedakan produk berbahan kayu miliknya dengan merek lain. Keistimewaan Handlis terletak pada editan, kualitas gambar, karena proses cetak foto dilakukan dengan proses editing yang memiliki ciri khas tersendiri agar terlihat seperti lukisan. Selain itu, Handlis juga menyediakan beragam motif yang bisa dipilih langsung oleh pembeli, bahkan menerima permintaan motif apapun tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan agar semua orang bebas berkreasi tanpa batas dan ikut berkarya dalam menghasilkan sebuah produk berbahan kayu yang indah, sehingga tidak monoton hanya pada motif sederhana dan klasik. Ketika proses pembuatan, kayu-kayu tersebut menjalani proses pelapisan pernis agar lebih tahan lama dan gambar pun tidak akan hilang. Proses pelapisan pernis ini juga berpengaruh pada ketahanan kayu agar tidak mudah berjamur. Produk yang tersedia di Handlis dapat dimanfaatkan sebagai kado ulang tahun, souvenir pernikahan, hadiah pernikahan, plakat acara untuk narasumber, atau pajangan di rumah. Nilai estetika menjadi nilai tambah dari produk-produk Handlis, selain editan yang rapi dan pahatan kayu yang indah. Selain itu, harga yang ditawarkan pun terbilang murah sehingga cocok untuk setiap kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, kalangan atas maupun bawah. “Produk-produk Handlis sangat murah jika dibandingkan dengan merek lainnya, karena disesuaikan dengan kantong pelajar,” ujar Lilis. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp10.000,00-20.000,00 untuk produk ganci. Sedangkan produk jam, bingkai, plakat, dekoran kaligrafi, papan nama, mulai dari harga Rp35.000,00-100.000,00. Eksistensi Handlis hingga saat ini sudah dikenal luas di tengah masyarakat area Jabodetabek, Palembang, Riau, Aceh bahkan hingga luar negeri yaitu China dan Korea Selatan. Hal ini membuktikan bahwa kualitas yang ditawarkan Handlis sangat baik, dan diharapkan agar lebih dikenal di kota-kota besar Indonesia sebagai karya anak bangsa yang bermanfaat. Peminat produk Handlis didominasi oleh mahasiswa, pelajar, tetapi mulai meluas ke berbagai kalangan. Jika diperkirakan, peminat produk-produk Handlis sudah mencapai ribuan orang, dengan reseller yang mencapai puluhan. Jadi tidak heran jika penyebaran produk-produk berbahan kayu milik Handlis terbilang cepat karena bantuan reseller yang tersebar di berbagai daerah dan bantuan media sosial. Handlis diharapkan menjadi motivasi bagi anak bangsa dalam mengepakkan sayap di dunia bisnis, selain itu juga dapat melahirkan lebih banyak kreasi dan inovasi unik dalam melahirkan karya-karya yang bermanfaat. “Saya berharap agar Handlis bisa lebih dikenal banyak orang, terutama di Indonesia. Semoga bisa memiliki rumah produksi sendiri dan besar, agar bisa membuka lapangan kerja bagi siapa pun yang membutuhkan. Dan semoga Handlis bisa menjadi motivasi untuk melahirkan inovasi lainnya dalam pemanfaatan bahan-bahan berharga di sekitar kita,” kata Lilis saat ditanya harapan jangka panjang untuk usahanya tersebut. Membeli produk anak bangsa juga sebagai bentuk mencintai produk dalam negeri, dan membantu dalam pertumbuhan usaha milik anak bangsa agar menjadi kebanggaan bersama.

Komunitas Pelestari Budaya Pencak Silat untuk Masyarakat Buta Budaya

Masalah yang timbul di masyarakat salah satunya berkaitan dengan maraknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, terbilang sangat memengaruhi masa depan bangsa. Ketidaktahuan akan budaya bangsa sendiri, kerap kali menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Mengapa demikian? Karena saat ini ancaman masalah buta budaya telah menyerang masyarakat Indonesia, karena terlalu fokus kepada budaya asing yang masuk silih berganti ke dalam negeri. Fenomena mencekam ini sangat berpengaruh kepada eksistensi salah satu budaya di Indonesia, salah satunya seni bela diri Pencak Silat. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pencak silat merupakan warisan budaya Indonesia yang lahir sejak tahun 1948. Kini pencak silat di Indonesia memiliki sebuah organisasi resmi bernama IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) yang sudah tersebar di beberapa titik di daerah Indonesia. Kedudukan pencak silat di tengah persaingan bela diri dari negara lain yang masuk ke negeri masih pasang surut atau dalam tingkatan seadanya. Jika dibandingkan dengan jenis olahraga lain, pencak silat tentu belum bisa dibandingkan dengan olahraga-olahraga ternama sejenis bulu tangkis atau basket. Sedangkan, jika disandingkan dalam lingkup kesenian, banyak yang menganggap bahwa seni di dalam pencak silat masih kurang menarik minat, tidak seperti seni tari atau seni lainnya. Melirik upaya pelestarian kebudayaan yang kerap terlaksan di berbagai daerah, hal ini tampaknya juga terjadi di Universitas Djuanda Ciawi-Bogor yang lahir sejak tahun 2017. Bentuk pelestarian kebudayaan terhadap pencak silat itu ditandai dengan lahirnya komunitas pelesatari budaya pencak silat dengan nama besar KBPC—Keluarga Besar Pajajaran Cimande. Komunitas KBPC sendiri telah berdiri pada tanggal 23 Februari 1962, dan kini kota Bogor menjadi pusat dari KPBC di bawah naungan organisasi resmi IPSI. Bapak Tubagus Jamhari merupakan sosok berjasa yang berada di balik pendirian komunitas ini. Pencak silat bukan lagi budaya yang baru lahir, salah satu dari sekian banyak ragam budaya Indonesia ini telah berkembang cukup lama, sehingga perlu lebih banyak pelestari budaya yang aktif untuk melestarikan budaya lokal. Para anggota KBPC dalam setiap latihannya, selalu menanamkan prinsip untuk melestarikan budaya pencak silat. ‘Ketika budaya dilestarikan dengan baik, maka negara ini akan tetap bersatu. Jika budaya tidak bisa dilestarikan, maka kondisi negara akan dipertanyakan.’ Prinsip tersebut dianggap sebagai kunci dalam mempertahankan minat dan kecintaan terhadap budaya dalam negeri, terutama budaya pencak silat. Pengenalan budaya kepada masyarakat perlu menjadi makanan sehari-hari. Keberadaan Keluarga Besar Pajajaran Cimande di tengah masyarakat semata-mata bukan hanya sebagai komunitas biasa, yang berdiri tanpa kiprah apapun di dalamnya. KBPC selalu berusaha memperkenalkan kepada masyarakat tentang pencak silat lewat kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Para pengurus komunitas selalu menekankan bahwa, saat mempelajari gerakan-gerakan di dalam pencak silat, kita perlu menanamkan nilai budaya di dalamnya pada kehidupan sehari-hari. Kegiatan nyata di dalam komunitas berupa latihan pencak silat dengan gerakan-gerakan untuk pertahanan diri. Kegiatan inti yang rutin dilakukan adalah pengenalan budaya pada anak jalanan, sehingga mereka dapat diberi masukan berupa ilmu yang bermanfaat dalam membentuk mental yang cinta akan kedamaian. Anak jalanan yang tidak dapat bersekolah, secara tidak langsung menambah jumlah masyarakat buta budaya. Hal ini menjadi salah satu aspek lain yang perlu diperhatikan. Walaupun mereka tidak mendapatkan pelajaran-pelajaran di sekolah, tetapi mereka bisa mengenal budaya lewat para pelestari budaya. Anak jalanan yang identik dengan keributan atau hal-hal buruk lainnya, menjadi titik fokus pihak komunitas untuk membenahinya lewat nilai-nilai yang terkandung di dalam pencak silat. Gerakan di dalam pencak silat hanya digunakan dalam hal kebaikan, serta dapat melatih mental dalam meredam emosi. Kegiatan lain yang tidak kalah penting dan bermanfaat adalah bakti sosial. Kegiatan ini dianggap sebagai pelatihan diri sendiri dalam mempertahankan budaya gotong royong dan saling membantu. Hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, akan terus terbawa kepada kehidupan sehari-hari. Sehingga budaya-budaya inti di Indonesia pun akan tetap terjaga. Gerakan-gerakan di dalam pencak silat memiliki tujuan untuk pertahanan diri, dan sangat bermanfaat saat ada kejahatan dimana pun. Selain itu, pihak komunitas juga sering menggunakan metode pertunjukkan dalam mengenalkan budayanya. Para anggota komunitas sering kali menunjukkan gerakan-gerakan dasar yang digunakan untuk melindungi diri saat ada kejahatan. “Kita kenalkan gerakan-gerakan penting, agar mereka tahu bahwa pencak silat dibutuhkan untuk perlindungan diri. Kita mengenalkan pencak silat bukan untuk bertarung, melainkan untuk berlindung. Bukan pula untuk memukul, melainkan untuk merangkul.” Selain mengenalkan perihal budaya kepada para anggotanya, orang-orang luar biasa di balik komunitas tersebut juga mengajarkan nilai-nilai agama di dalam pencak silat. Hal ini dikatakan langsung oleh pengurus komunitas KBPC yang menjabat di divisi MSDM—Ibnu Fadillah. “Selain berisikan budaya-budaya di dalamnya, pencak silat sebenarnya dijadikan ajang dakwah agar mengingat ke Shalat. Dengan tujuan agar agama dan budaya tidak terpisahkan.” Pencak silat bukan hanya sekadar warisan budaya dalam urusan bela diri semata, melainkan di dalamnya mengajarkan tentang etika, keindahan, dan olahraga. Contoh nyata bahwa di dalam gerakan pencak silat menunjukkan keindahan ialah, pada salah satu gerakan yang dinamakan tepak satu dan pararaden yang mirip dengan tarian. Usaha-usaha besar selalu dilakukan pihak komunitas untuk mencapai tujuannya; menyebarluaskan tentang budaya pencak silat di masyarakat. Kendala demi kendala menjadi tantangan utama bagi para pengurus komunitas tersebut untuk tetap konsisten berjuang mencari pelestari budaya. Pihak komunitas melaporkan bahwa masalah gengsi adalah masalah yang sering mereka jumpai. Selain itu, stereotip sebagian masyarakat bahwa pencak silat adalah seni bela diri yang kuno, adalah kendala psikologis lain yang sering muncul saat melakukan kegiatan perkenalan pencak silat tersebut. Kemauan dan minat adalah hal yang sulit dikembangkan di dalam hal ini. Ditambah masuknya beragam jenis bela diri lain yang lebih menarik minat mereka. Pada zaman yang semakin maju, hubungan dengan negara luar semakin berkembang lewat berbagai cara. Akulturasi pun menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia, terutama pada urusan seni bela diri. Seperti halnya bela diri taekwondo yang berasal dari Korea, dan bela diri karate yang berasal dari Jepang. Walaupun jika dibandingkan, titik fokus gerakan di antara ketiga bela diri tersebut berbeda, dan setiap olahraga bela diri memiliki nilai estetika tersendiri di dalam setiap gerakan. Namun, banyaknya peminat taekwondo dan karate juga dapat memengaruhi merosotnya peminat pencak silat, sehingga tanpa disadari hal ini memengaruhi pengetahuan pemuda-pemudi pada budayanya sendiri. KBPC menyadari permasalahan buta budaya yang terjadi di Indonesia bukan lagi masalah remeh. Dengan demikian, pihak komunitas melakukan berbagai cara agar seni pencak silat tidak terkubur oleh seni bela diri lainnya. Ibnu Fadillah juga beranggapan bahwa, para remaja di Indonesia sering kali tidak dikenalkan dengan budaya asli negara. “Walaupun banyak budaya asing yang masuk sebenarnya harus dijadikan inovasi dan contoh perkembangan yang baik, tetapi budaya asli tetap tidak boleh dilupakan,” katanya saat diwawancarai pada 28 November 2021. Masalah gengsi hingga anggapan-anggapan bahwa seni pencak silat adalah kuno adalah racun utama yang harus diobati. Para pengurus komunitas menanggapi hal ini sebagai masalah internal. Sebab, jika tidak ditangani dengan baik, maka masalah buta budaya di tengah masyarakat akan semakin besar. Oleh karena itu, aksi-aksi pencegahan terjadinya cacat moral di tengah masyarakat dilakukan dengan seksama dan bersama-sama. Pengenalan budaya dianggap sebagai tindakan utama untuk membuka pikiran masyarakat. Menanggapi kendala-kendala dalam usaha melestarikan budaya pencak silat, pihak komunitas mempunyai cara tersendiri. Membuka Ruang Berbicara Membicarakan titik permasalahan dengan pikiran yang terbuka. Hal ini dilakukan karena, ketika seseorang menutup pikirannya tentang budaya maka akan sulit menerima segala informasi tentang budaya apapun. Oleh karena itu, dengan ruang berbicara yang disediakan, informasi-informasi yang akurat akan diberikan secara mendalam. Pertemuan secara langsung, tatap muka, dengan mengenal satu sama lain, menjalin pendekatan yang intens, agar nanti bisa terbentuk hubungan kekeluargaan yang baik. Pendekatan secara emosional juga dilakukan sebagai pelengkap dalam memengaruhi psikologis masyarakat tentang budaya. Mengenalkan Ilmu Pencak Silat Mengenalkan ilmu bela diri pencak silat lewat bahasa yang halus dan mudah dimengerti, dengan tidak memasukkan unsur paksaan apapun. Hal ini dilakukan agar mereka paham bahwa nilai-nilai yang khas dengan kearifan lokal Indonesia ada di dalam pencak silat. Seperti nilai spiritual, agar cinta kepada Tuhan yang Maha Esa. Nilai-nilai seni budaya, nilai sportifitas, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang identik dengan budaya lokal. Beberapa kendala yang ditemukan dan upaya-upaya penanganan terus dilakukan, terutama pada masalah buta budaya telah memberikan dampak yang besar. Data spesifik yang dibuat setiap bulannya oleh pengurus komunitas Divisi Humas, 70% dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak komunitas memperoleh keberhasilan yang memuaskan. Terlebih dengan upaya pendekatan emosional pada remaja yang tidak bersekolah—anak jalanan—membawa dampak yang besar. Selain ilmu tentang budaya, gerakan-gerakan penting untuk melindungi diri dari kejahatan di jalanan pun berhasil dikantongi oleh mereka. Hal ini dibuktikan oleh data keanggotaan terbaru yang berhasil diungkapkan oleh Ibnu Fadillah, bahwa saat ini KBPC lingkup Universitas Djuanda memiliki 5% anggota inti dari jumlah mahasiswa yang ada dan sekitar 10 asuhan anak jalanan. KBPC merupakan komunitas sederhana dengan tujuan melestarikan budaya yang besar. Selain untuk bela diri, tidak bosan pihak komunitas menyelipkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan budaya di dalamnya. Ketika seseorang sudah jatuh cinta kepada budaya bangsanya, maka hubungan dengan bangsa sendiri akan semakin dekat. Semakin mengenal maka akan semakin erat hubungannya, begitupun dengan budaya dan bangsa. Tetap mencintai budaya sendiri dan tetap menghargai budaya luar.