Beranda Opini Pramugari, Penyair dan Sahabat

Pramugari, Penyair dan Sahabat

Ilustrasi - foto istimewa merdeka.com

Oleh: Arip Senjaya

Dengan merunut kembali organisme, maka kita akan bertemu hierarki. Sel membentuk jaringan dan jaringan membentuk organ. Bagaimana bisa biologi tidak bergesekan dengan sistem lain macam sistem sosial, bahkan sistem sosial-fiksi macam dalam wayang? Warga macam Si Udin menjadi pelopor ke-RT-an, ke-RW-an, ke-Lurah-an, terus hingga ke-Negara-an, dan Rahwana adalah pencuri cinta.

Dan saya tidak tahu sekolahnya Pak Emirsyah Satar, yang jelas ia pernah menjadi Dirut Garuda Indonesia, mungkin berlatar sains. Yang jelas Garuda organ di dalam negara, dan saya Si Udin: punya hak untuk gelisah. Pada esai “Sihir Pak Tedi” saya pernah ceritakan tegangnya jiwa saya saat naik pesawat ke Solo sebab Sang Dirut baru saja mengaku kepada KPK tentang rekening mertuanya.

Berita-berita yang mengurai korupsi di organ ini rasanya berbondong-bondong ikut serta dalam perjalanan saya sehingga tas travel terasa berat ketika saya mengangkatnya ke dalam bagasi. Ketika Teteh Pramugari membantu saya mendorong tas itu, saya teringat penyair Sosiawan Leak. Tugas pramugari saya kira membantu organ kecil dalam pesawat, demikian juga tugas penyair membantu organ pikir dalam tempurung negara.

Tiba-tiba saja saya teringat lagu dolanan di masa kanak yang menyebut-nyebut nama Pak Satar dalam kondisi buleneng: Blos ka kolong Bapak Satar buleneng. Konon arti buleneng sendiri adalah penuh berkah! Beruntung! Ah, Tidak mungkin! Sangat tidak mungkin! Yang terjadi dengan Pak Satar-Emirsyah adalah akan blos (masuk) ka (ke) dalam penjara. Kolong sendiri dalam bahasa Sunda berarti wilayang kosong di bawah meja, bangku, kursi, atau kolong rumah panggung.

Menurut saya buleneng itu berarti blunder karena pengaruh kata sejenis yang berasosiasi terhadapnya, seperti bulenek yang biasa diacukan pada tubuh yang tambun berisi yang hampir dekat dengan kata ‘buncit’ dalam bahasa Indonesia. Pemahaman pada blunder mungkin karena terpengaruh kegemaran saya bermain catur. Kadang-kadang saya mengartikan kata buleneng setingkat dengan mabuk kepayang dan berkunang-kunang.

Teori blunder ini bisa kita dekati dengan teori hierarki dalam organisme tadi meski biolog Joseph Woodger tidak membahas blunder; soalnya saya menangkap keblunderan dalam sistem sosial yang korup. Pak Satar bermain mata dengan Pak Soetikno pemilik perusahaan broker pengadaan mesin Connaught, lancar, sistemik-terorganisir (berasal dari organisme pula); tapi ia kemudian mengambil hierarki lain yang tidak terorganisir: ibu mertua bisa diajak main mata (pinjam rekening), tapi istrinya sendiri (Bu Sandrina) malah tidak. Di lain pihak, Bu Sallyawati Raharja, bawahan Pak Soetikno, lancar (meski boleh jadi tidak mendukung tapi ia terlibat).

Bu Sandrina malah memilih membenarkan fakta yang ditemukan KPK, itu artinya Bu Sandrina ber-hierarki terhadap KPK (seperti Udin dan organisasi ke-RT-an) dan juga SFO (Udin dan ke-RW-an) lembaga antikorupsi Inggris. Sebab-sebab keblunderan yang menggagalkan hierarki-korup dari suap Rolls-Royce ke Garuda Indonesia ternyata adalah manusia yang membela manusia. KPK-Bu Sandrina-SFO adalah sistem lain yang berjalan di luar hierarki Rolls-Royce- Connaught-Garuda.

Dipikir-pikir tugas “hierarki lain” itu seperti tugasnya “suara lain” (lihat buku The Other Voice) Octavio Paz. Sastra itu suara lain dari zamannya atau zaman lainnya yang telah membentuk organisasi budaya tertentu. Maka KPK-Bu Sandrina-SFO adalah sejenis karya sastra di tengah-tengah sains yang mencemari Bumi dengan tumpukan kondom dan merusak jiwa sosial dengan kondominium hasil korupsi, di Singapura. Kalau saya jadi Pak Satar mungkin saya segera datangi pengadilan agama dan bilang istri saya itu selingkuh sama KPK dan SFO dan saya minta cerai!

Ya, sastra juga selingkuh dari zamannya ke zaman baru yang didamba, dan selingkuh untuk kebaikan ternyata berbuah rahmat: Pak Satar jadi buleneng bunder dan mabuk kepayang dan untuk beberapa saat waktu itu saya selaku representasi Si Udin dan penumpang pesawat plat merah bersorak di angkasa negeri, seakan merasa jadi salah satu puisi Sosiawan Leak yang saya bayangkan jadi kenyataan:

singgahlah ke negeriku
negeri yang damai dan tenteram
negeri yang tak ada dalam pikiranmu
negeri yang tak kenal penipuan,
pelecehan seksual apalagi kekerasan

Pergilah kau pikiran dungu yang begini berat! Kata saya dalam hati “Terima kasih Teteh Pramugari!” kata saya kepada pramugari itu seakan kepada penyair Sosiawan.

Bait itu ada dalam puisi “Negeri Uang” (mungkin dapat juga dilihat dalam buku Wathathitha, yang terbit satu tahun setelah blundernya Pak Satar). Puisi sinis-ironis itu sangat memilukan memang. Katanya, negeri kita ini tak pernah ada kerusuan agama, membolehkan semua profesi termasuk pelacur, termasuk yang berkelamin ganda untuk bebas berkantor, tak ada kejahatan, tak ada rampok, negeri yang menyelesaikan segala masalahnya. Tapi bagaimana semua itu bisa selesai? Sosiawan menjawab dengan mudah, seakan termasuk kasus Pak Satar itu. “Tenang saja, dia akan bebas karena dia punya uang!”

Astaga, tiba-tiba saya gelisah di atas pesawat, keringat mengucur, sedangkan pejabat kampus yang duduk di samping saya santai-santai saja —menatap keluar kaca seperti anak-anak yang akan tampil di panggung baca puisi; sebab saya tak yakin Pak Satar akan menjeblos ke dalam penjara. Tidak yakin! Hartanya banyak, dan negara (dalam hal ini pemerintah) sebagai organisme hierarkis selalu bisa punya suara lain jika uang mengerling.

Ya, Allah, turunkan saya di negeri Sosiawan yang tidak nyata saja kalau begitu! Demikian akhirnya saya berdoa waktu itu. Tapi empat baris terakhir puisi Sosiawan malah melenggang bagai pramugari menawarkan menu yang tidak lagi gratis.

negeri di mana semua masalah selesai
sebab gampang menemukan akarnya
gampang merampungkannya
; uang!

Kalau begitu negeri Sosiawan yang tidak nyata juga adalah negeri ini, negeri para koruptor ini. Ya, Allah giliran saya yang blunder! Bait pertama menjanjikan, sinis tapi bisa tercipta jika para koruptor itu mau bertobat, tapi bait terakhir puisi itu bicara tentang hal yang gampang terjadi tapi tak gampang dibikin tak terjadi. Blunder! Blunder!

Bagaimana caranya uang tidak menyelesaikan masalah di negeri ini? Apakah mereka yang bekerja di ranah basah harus membaca puisi juga? Apakah mereka tak pernah punya guru seperti Pak Tedi? Terbayanglah wajah Bu Sandrina di sebuah majalah, sedang tersenyum, rambutnya sebahu, seperti pramugari pula, tampak bahagia karena menolong KPK. Terbayang pula puisi-puisi Max Dunn, penyair yang pernah bekerja di dunia penerbangan sehingga I danced before I had two feet itu seperti tentang jiwa yang mengapung tak punya kaki, menari dalam gelisah.

Ketika sampai di Bandara Adi Sumarmo, saya ingin sekali bertemu Sosiawan, tokh dia orang Solo. Tapi sayang sekali saya tidak punya nomor kontaknya karena tidak pernah kenalan juga meski pada beberapa kesempatan saya melihat dia berkelebat.

Tiba di hotel saya terus naik ke kamar dan menyanyikan baris Dunn yang lain beberapa kali: I laughed before I had two eyes yang mengingatkan saya pada tawa Rahwana yang mungkin saja sudah terdengar sebelum ia dilahirkan Sang Dalang. Saat itulah seorang sahabat menelpon saya. Dia sudah ada di lobby. Saya pun segera turun lagi. Sahabat saya itu tak lain adalah Marjaka (lihat Marjaka dalam “Disebabkan oleh Condro”). Bertemu manusia, terlebih itu sahabat dekat, rasanya saya sudah bertemu Tuhan. Bayangkan, sahabat saja sudah menenangkan jiwa, apalagi jika sahabat saya itu kiyai atau cucu Nabi.

Ketika saya mengajak Marjaka ke kamar, kami satu lift dengan pejabat kampus yang tadi berangkat dengan saya. Saya pun memperkenalkan sahabat saya itu kepada sang pejabat. Pejabat yang satu ini memang tak pernah mau berjalan bareng dengan saya, baik sejak di Bandara Sokarno-Hatta maupun setibanya di Adi Sumarmo sampai-sampai saya melupakannya juga ketika tiba di hotel. Mereka bicara satu dengan lainnya secara kaku di dalam lift yang bergoyang-goyang. Karena perawakan Marjaka tinggi besar dan kaku, dia pemain wayang wong dan penggiat fitness, sementara pejabat itu kecil seperti Sengkuni, percakapan mereka terlihat bagai di atas panggung wayang.

Di kamar saya bilang, “Beruntung kau itu pulang ke Solo, tanah kelahiran Rahwana-Sosiawan Leak.”

“Kau juga beruntung, punya atasan pejabat seperti orang di lift itu!”

Entah mengapa kami tertawa-tawa hingga berderai air mata mengingat betapa formalnya perkenalan mereka dan mata Marjaka mengawasi sang pejabat seperti mata KPK mengawasi Pak Satar. Dan setelah masing-masing lelah tertawa, saya membahas Joseph Woodger dan mengira bahwa organisme manusia seperti organisme dalam wayang kulit.

Dia setuju seperti biasanya, tapi beberapa saat kemudian dia membantah seperti biasanya terutama ketika saya sampai pada tema hierarki. Dia bilang hierarki itu hanya ada dalam kehidupan manusia, karena manusia satu mengkorup manusia lain, sedangkan di alam ini tidak ada hierarki kekuasaan, satu dan lain saling membutuhkan dalam cinta. Saat itu, saya bertepuk tangan dan berteriak “Wathathitha!” seperti Rahwana tapi dengan maksud menerjemahkan teriak “Eureka!” Archimedes demi bangganya punya sahabat secondro.

Penyair, pramugari, sahabat, seperti unsur-baru bentukan berbagai komponen yang sifat-sifat kebaikannya tidak terkandung dalam unsur-unsur itu secara mandiri. Mereka bermakna untuk hidup karena bertugas sebagai “emergent properties” bagi unsur-unsur hidup yang gawat. Apakah filosof yang menggunakan konsep “properti mendesak” ini juga kenal Si Udin sebagai unsur kecil yang galau dan ingin diberi rasa tenang oleh level kompleks macam pemerintah? Ah!

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini