Beranda Opini Seni untuk Seni, Seni dan Moral

Seni untuk Seni, Seni dan Moral

Ilustrasi - foto istimewa kompas.com

Oleh: Sulaiman Djaya, penyair

Pernah saya ditanya ihwal bagaimana pandangan pribadi saya terkait ideologi artistik seni untuk seni. Bagi saya pribadi, baik paham dan pandangan seni untuk seni atau pun paradigma realisme sosialis sama-sama terdengar moralis. Sebenarnya kalau kita sedikit rileks dan lentur, anggap saja seni untuk seni itu dalam kerangka kreatif yang lebih fokus pada eksplorasi atau penjelajahan kreatif bentuk, sementara realisme sosialis pada isi dan isu.

Perdebatan mereka pun sesungguhnya perdebatan klasik, dari sejak Plato yang menganggap seni bernilai rendah karena tidak lebih imitasi dari realitas, yang kemudian pandangan Plato tersebut dibantah Aristoteles yang menegaskan bahwa imitasi dalam seni tidak semata-mata mentah dan vulgar, namun ada kreatifitas dan imajinasi yang menjadikan seni tidak hanya imitasi belaka.

Barangkali pula saat ini perdebatan tersebut sudah tidak relevan. Mengingat gerakan intelektual dan estetik postmodernis mempersoalkan kutub-kutub lama tersebut, meski tendensi politik tetap saja masih ada. Bagi kaum postmodernis itu, baik pandangan seni untuk seni atau pun gerakan dan pandangan realisme sosialis sama-sama produk metanarasi modernisme.

Di jaman ini, baik seni atau sastra sesungguhnya bergelut dan bertukar-tangkap masalah dan isu serta pergulatan bentuknya dengan perkembangan tekhnologi informasi atau katakanlah dengan perkembangan produk-produk digital. Masalah-masalah baru yang dulu tidak sempat dijumpai kutub-kutub lama tersebut, menjadi sangat nyata di jaman ini.

Dalam dunia seni rupa atau seni visual, sebagai contoh, tidak sedikit para seniman yang merayakan kerja kreatif mereka dengan memanfaatkan perangkat atau aplikasi digital. Tidak lagi hanya tergantung pada alat atau instrument konvensional tradisional lama. Di jejaring sosial dunia maya semisal tiktok dan instagram kita jumpai karya-karya seni kontemporer yang lebih merupakan racikan dari ide kreatif seniman beradaptasi dengan realitas digital.

Muncul pula contoh-contoh seni rupa new media interaktif semisal seni rupa digital, robotika, animasi komputer dan lainnya yang dipilih para seniman mutakhir sebagai upaya eksplorasi perkembangan teknologi bagi dunia kreatif seni. Karya-karya seni rupa divisualkan menggunakan perangkat teknologi justru untuk melahirkan bentuk dan efek baru artistik, juga unsur keindahan yang sebelumnya tidak dihadirkan dan belum dieksplorasi. Inilah yang mungkin dapat kita sebut contoh eksplorasi dan penjelajahan seni untuk seni.

Dalam dunia sastra, muncul pula teori-teori kritik sastra yang mulai menitikberatkan kepada peran pembaca termasuk pembaca biasa untuk didengar pendapat dan pandangan mereka terkait karya-karya sastra yang mereka baca. Bahwa makna dan arti karya sastra tidak terlepas dari semesta kesusastraan itu sendiri yang mencakup karya sastra, pembaca, kritikus dan yang lainnya.

Kita pun tidak boleh melupakan sisi lain dari kritik kalangan yang berpandangan dan berpaham seni untuk seni, yaitu penolakan mereka untuk menjadikan seni dan sastra juga seniman dan sastrawan sebagai ‘pelayan’ kuasa dan kekuasaan. Setidaknya itulah yang menjadi klaim mereka yang menolak para seniman dan penulis yang ketika itu dekat dengan kuasa rezim lama Bung Karno yang berpandangan sosialis dan menyatakan bahwa seni dan sastra harus menyampaikan pesan-pesan revolusi yang sejalan dengan visi kuasa dan kekuasaan saat itu.

Meski pun demikian, barangkali kita pun harus moderat bahwa mungkin saja yang diinginkan para seniman dan para penulis yang berpaham dan berpandangan realisme sosialis itu agar seni dan sastra tidak tercerabut dari realitas kelahirannya, yaitu tempat di mana para pembaca dan penikmatnya berada. Tapi sebenarnya, setiap karya seni dan juga sastra sesungguhnya memang lahir dari rahim kultural dan sosialnya. Meski bentuk penyampaian dan pengkomunikasian karena bentuk pilihan pengungkapan dan perepresentasiannya yang beragam, tidak semuanya jadi sama.

Lalu, sebagai tambahan, terkait masalah moral ataupun moralisme dalam seni dan sastra, itu sudah berlangsung lama pula. Dalam kritik sastra, sebagai contoh, moralisme dapat ditelusuri dari tradisi Yunani dan Romawi klasik, yang seringkali menilai karya sastra dan seni dari konten (isi) etis dan moralnya yang diharapkan sanggup untuk mengajar dan mendidik para pembaca dan penikmatnya.

Selanjutnya, gerakan bangkitnya kembali moralisme dapat dicontohkan terjadi di abad ke-18, bersamaan dengan lahirnya spirit dan nilai-nilai pencerahan Barat yang memperjuangkan gagasan dan padangan baru seperti kebebasan, individualisme, dan demokrasi, yang kemudian lahir pula di abad-abad berikutnya gerakan sosialisme dan komunisme yang juga menyuarakan pandangan berbeda mereka melalui seni dan sastra.

Di abad ke-18 itu, salah-satu tokoh penggeraknya adalah filsuf dan sejarahwan dari Skotlandia, David Hume, yang berpandangan bahwa sastra memiliki peran sangat penting untuk membentuk karakter moral warga Negara dan masyarakat luas. Sentimen dan karakter moral yang dimaksud David Hume itu contohnya antara lain: simpati dan kasih-sayang pada sesama, kejujuran, dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebajikan bersama.

Tokoh-tokoh lain yang sejalan dengan David Hume itu antara lain: Samuel Johnson yang selalu menekankan pentingnya nilai didaktis-pedagogis atau didaktisisme dalam sastra, dan Matthew Arnold yang gigih memperjuangkan gagasan sastra sebagai instrument dan sarana kritik moral dan budaya. Mereka semua seakan-akan kembali menyuarakan pandangan Plato untuk dunia modern. Dan tentu, pandangan mereka itu pun mendapatkan perlawanan di era selanjutnya, termasuk saat ini.

Mereka yang tidak setuju seni dan sastra dijadikan sebagai kendaraan angkut beban dan motif moral dan didaktif itu karena menurut mereka seni dan sastra justru akan kehilangan maksud dan nilai artistik dan estetiknya sebagai pembawa dan pelahir inspirasi-inspirasi baru yang acapkali harus keluar dari jebakan moralisme lama yang kerapkali juga dogmatik. Apalagi jika seni dan sastra telah dialihkan hanya menjadi instrument propaganda kuasa politik tertentu saja. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini