Beranda Opini Membaca Teori Sastra Kiwari dan Masa Depan

Membaca Teori Sastra Kiwari dan Masa Depan

Foto istimewa

Oleh : Eka Ugi Sutikno

 

Karya sastra bukan ‘kerajinan asal jadi’ karena memang dibuat secara intens dengan pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dengan demikian, inilah yang membuat karya sastra selalu membicarakan sebuah peristiwa berkait dengan lingkungannya. Oleh karena itu, sangat dapat dimungkinkan bahwa adanya keterkaitan antara teks sastra dengan konteks sejarah hingga waktu kiwari.  Keterikatan teks sastra dan konteks ini pun dapat dikaji menjadi berbagai wacana yang akan dibicarakan. Salah satu teori yang dapat membicarakan wacana ini adalah teori-teori pemikiran yang menjadi jalan untuk memahami dunia, khususnya sastra, secara utuh dan mendalam.

Pada buku ‘Teori Sastra Masa Depan: Tokoh, Konsep, dan Aplikasi’ (2021), memiliki tujuan yang serupa, yakni untuk memahami teks secara mendalam. Meski di dalamnya bersifat tesis dan antithesis, akan tetapi saya masih menganggap teori sastra memang terus dibutuhkan karena teori sastra merupakan alat untuk memahami kehidupan masyarakat hingga ekosistem alam. Menarik ketika mendapatkan Dialektika Sastra karya Misnawati.

Di sana saya menemukan bahwa kebenaran universal atau objektif memerlukan penilaian dari manusia. Maksudnya adalah untuk mendapatkan kebenaran ia harus melakukan beberapa hal, yakni dengan melakukan pembacaan melalui teks hingga berdialog dengan subjek yang lain. Dengan begitu, ‘Plato: Sang Penggagas Posthumanisme Sastra’ karya Suwardi Endraswara seolah-olah melakukan dialektika yang nyata dengan tulisan sebelumnya karena ia juga mendiskusikan mengenai ‘pengalaman’, yakni pengalaman akan mencari kebenaran yang tidak konsisten dan selalu dapat dipatahkan oleh kebenaran-kebenaran masa depan. Sehingga konsep dari kedua tulisan ini memiliki pemikiran yang saling berkelindan antara idea dan mimesis.

Apabila karya sastra merupakan mimesis dari dunia riil dan teks menjadi perwakilan dari idea. Maka wacana sastra mampu melampaui batasnya karena ia dapat dibicarakan melalui berbagai hal. Dengan begitu, Ninawati Syahrul melalui ‘Interdisipliner Sastra’-nya ingin melakukan pengenalan kembali bahwa sastra memiliki kaitan antropologis dengan perilaku, sikap, dan gagasan manusia. Hal ini mengapa, ‘Salah Asuhan’ karya Abdoel Moeis digambarkan sebagai etnografi sastra yang sangat epik atas pertentangan budaya Minangnya.

Selanjutnya, Elen Inderasari, melalui ‘Filsafat Ilmu’-nya, mengulas beberapa puisi Joko Pinurbo melalui kacamata kritik sastra romantik, yakni M. H. Abrams. Di sini ia mengafirmasi apa yang dikemukakan oleh Abrams bahwa teori sastra memiliki beberapa hal, yakni objectivity theory, mimetik, ekspresif, dan pragmatik. Keempat butir di atas memiliki kaitan yang sangat bersinggungan untuk membaca puisi-puisi Pinurbo yang naratif dan sederhana sehingga dialog mengenai karya sastra dapat terjadi lebih intim dan dalam.

Begitu juga dengan Besse Darmawati. Ia ingin melakukan pemahaman makna melalui cerpen Anjing-anjing Kasmaran karya Badaruddin yang lebih dalam lagi. Tentu, kaitan yang digunakan adalah konsep strukturalisme genetiknya Lucien Goldman yang tidak puas dengan hanya mengaitkan karya sastra dengan unsur-unsur intrinksiknya saja. Tidak hanya itu, alasan selanjutnya adalah bahwa karya sastra memiliki landasan untuk ditarik pada konteks dunia riil yang terjadi.

Apri Medianingsih pun memiliki kelindan yang serupa perihal ini karena ia membicarakan mengenai ‘Sosiologi Sastra’ yang sama pentingnya dengan kajian intrinsik dan ekstrinsik. Akan tetapi, yang membedakan adalah dari konsep yang ia sodorkan, yakni melalui pemikiran Ian Watt yang menitikberatkan pada pengarang, masyarakat, dan sastra itu sendiri. Sehingga ketiganya ini seolah-olah merujuk ke sumbu yang sama, yakni mimesisnya Platon. Sehingga nilai-nilai peradaban dalam sastra, sebagai alat untuk memahami subjek yang lain maupun bernaungnya ideologi tertentu, tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, teks bagian dari sejarah yang mampu membicarakan konteks zamannya.

Dalam tekstologi, atau cara penelusuran konteks melalui wacana apa yang membangun teks itu hadir, pun seolah-olah kita akan diberikan sebuah terapan bagaimana membaca sejarah ala Michel Foucault. Hal ini mengapa Rahmah Purwahida menggali teks ‘Bumi Manusia’-nya Pamoedya Ananta Toer lebih dalam untuk melihat bagaimana sejarah dan politik yang dibangun pengarang itu tampak memiliki kekuatan idelogi. Sehingga ia memiliki ambivalensi sebagai sesuatu yang baik sekaligus berbahaya.

Kehadiran semacam ini dimungkinkan akan menimbulkan perspektif apakah itu riil atau tidak karena pembaca sering mendapatkan perasaannya dibangun oleh buku yang sudah ia baca. Hal ini mengapa teks mampu hadir sebagai sesuatu yang hipereralis, simulasi, hingga simulakra dari dunia nyata. Budi Agung Sudarmanto melalui ‘Postmodernisme Sastra’-nya memberikan sebuah aplikasi bagaimana sebuah teks dapat lahir sebagai sesuatu yang “nyata”. Sehingga ia menyarankan untuk melihat ‘Kerumunan Terakhir’ (2018) karya Chinintya Suma Ningtyas dan ‘Bertengkar Berbisik’ (2020) karya Aliyah Himmah sebagai hal yang simulakrum atas hiperealis dan simulasinya.

Berbeda halnya yang dibicarakan oleh Dwi Sulistyorini. Di tulisannya yang berjudul ‘Habitus Sastra’ ini ia, melalui mekanisme Pierre Bourdieu, membicarakan bagaimana subjek yang memiliki praktik, habitus, arena, modal, juga agen di dalam dirinya. Dengan demikian, kelima terma di atas bermuara ke dalam agen yang memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu hingga mendominasi secara simbolik terhadap yang lain.

Pembahasan selanjutnya adalah kesadaran identitas atas subjek yang terasing yang mengerucut kepada permasalahan “menjadi” (becoming) dan “ada” (being). Hal ini tentunya terdapat interpretasi terhadap cara pandang kolonalialisme barat yang memandang ‘indigenous’ (pribumi) atau tidaknya seseorang. Di ‘Cultural Studies Sastra’ karya Agnes Setyowati, secara tersirat membicarakan novel ‘The Black Album’-nya Hanif Kureishi melalui perspektif identitas yang sering dipandang sempit oleh orang lain dengan oposisi binernya. Padahal identitas merupakan suatu perjuangan diri subjek dari konteksnya. Sehingga, boleh jadi, untuk mendapatkan identitas menjadi pemertahanan fenomena seseorang kepada orang lain.

Sama halnya dengan Novita Dewi di dalam ‘Poskolonialisme Sastra’, wacana identitas kembali berlanjut kepada binernya seseorang, yakni barat dan non barat, beradab dan tidak beradabnya seseorang yang merujuk kepada teori orientalismenya Edward Said. Melalui pembicaraan ‘Sajak Pulau Bali’-nya W. S. Rendra, relasi ketimpangan atas subjek yang superior dan inferior menjadi fenomena yang sangat bias. Sehingga, subjek yang dilihat sebagai the other.

Sedangkan Nurul Ludfia Rochmah dengan ‘Intertekstual Sastra’-nya, melakukan pembacaan ulang terhadap teks Julia Kristeva agar mendapatkan hal yang sangat komprehensif atas intertekstualitas. Maksudnya adalah teks maupun konteks waktu tertentu memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap pemikiran seseorang. Sehingga kaitan antara teks masa lalu, teks masa depan, pengarang, teks kiwari, dan pembaca memiliki pertalian sebagai tesis dan antitesis atau, boleh jadi, melengkapi.

Melalui keduabelas penulis di atas, saya, sebagai pembaca, seolah dibawa kepada suatu dialog yang tidak berkesudahan karena satu sama lain saling mengisi ruang yang kosong. Sehingga dialektika atas pembacaan karya sastra di dalamnya memiliki logika yang mudah dipahami oleh khalayak ramai. Dengan demikian, beberapa tokoh yang diusung pun dapat memberikan dampak positif dalam perkembangan teori sastra masa depan.

Tulisan pernah dibacakan di acara Bedah Buku ‘Teori Sastra Masa Depan: Tokoh, Konsep, dan Aplikasi’ pada hari Sabtu 22 Mei 2021 pukul 09.00-11.30 WIB.

Ketua Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) dan pengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini