Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan
Pemberontakan Cilegon 1888 yang terkenal dengan Geger Cilegon 1888 atau Pemberontakan Ki Wasid, telah melahirkan pejuang-pejuang anti penjajah yang revolusioner. Pemberontakan yang terjadi pada paruh kedua abad XIX itu, dipimpin dan dimotori para kiai, ulama Banten terkemuka pada zamannya yakni H.Wasid -Ki Wasid-, H.Tubagus Ismail dan H.Marjuki serta lainnya.
Gerakan pemberontakan yang melibatkan elite agama dalam struktur masyarakat Banten ini menjadi perhatian Sartono Kartodirdjo. Ia mengadakan penelitian khusus peristiwa tersebut guna kepentingan studinya dalam meraih gelar Doktor di Universitas Amsterdam, Belanda. Hasil Penelitian yang dijadikan disertasi dengan judul The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi sebuah buku dengan judul ”Pemberontakan Petani Banten 1888”. Buku ini, menjadi rujukan utama ahli sejarah di Indonesia dalam mempelajari gerakan sosial khususnya yang terjadi di Banten abad XIX.
Tulisan ini merupakan resensi atas buku ”Pemberontakan Petani Banten 1888” karya Sartono Kartodirdjo atau bisa juga disebut ringkasan isi buku di atas dengan menitik beratkan pada sisi kroniknya yang berupa catatan peristiwa bedasarkan urutan waktu kejadian, termasuk tokoh-tokoh yang terlibat dengan maksud untuk memberikan gambaran secara ringkas kepada masyarakat tentang peristiwa “Geger Cilegon” yang hingga saat ini masih kurang diketahui oleh generasi muda. Namun dengan keterbatasan kolom, tulisan akan diterbitkan secara bersambung.
Dalam buku itu dipaparkan secara ilmiah berdasarkan pendekatan historis yang menggambarkan situasi sosial politik ekonomi Banten sejak permulaan abad XIX setelah Kesultanan Banten dianeksasi Belanda dan resmi dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan penjajah.
Terkait pemberontakan Cilegon 1888, dalam buku ini digambarkan secara lengkap mengenai latar belakang atau sebab-sebab yang mempengaruhi serta tumbuhnya fanatisme keagamaan dan sikap anti penjajah di kalangan masyarakat Banten sehingga terjadi pemberontakan, siapa-siapa tokoh yang berpengaruh, kapan dan dimana terjadinya peristiwa tersebut termasuk apa yang dilakukan oleh Belanda setelah terjadinya peristiwa tersebut.
Untuk mengurai seluruh peristiwa termasuk semua tokoh-tokoh pemberontakan Cilegon 1888, nampaknya perlu membaca secara lengkap buku Pemberontakan Petani Banten 1888 agar bisa mengetahui berdasarkan data dan fakta yang betul-betul valid, tidak berdasarkan cerita atau katanya yang bisa terpotong-potong informasinya.
Semangat memberontak terhadap penjajah, dipompa oleh H.Abdul Karim atau Syekh H.Abdul Karim yang saat itu menggantikan Syekh Hatib Sambas sebagai Mursyid (pimpinan) Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah se-dunia. Syekh H.Abdul Karim bermukim di Mekkah satu periode dengan Ki Nawawi Al-Bantani. Syekh H.Abdul Karim hanya sesekali pulang ke Banten.
Saat pulang inilah ia menyampaikan dakwahnya dan memberikan semangat anti penjajah. Ia selalu mengatakan memerangi orang kafir adalah termasuk jihad fisabilillah. Terakhir ia datang ke Banten tahun 1872 sebelum kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1876 dengan meninggalkan pesan tidak akan kembali lagi selama Banten masih dikuasai orang asing.
Jadi bisa dikatakan bahwa Syekh H.Abdul Karim adalah tokoh pemantik perang sabil melawan penjajah. Syekh H.Abdul Karim juga dianggap sebagai Wali Allah dengan sebutan Kiai Agung, punya kharisma luar biasa di kalangan umat Islam, khususnya bagi pengikut tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah. Karena pengaruhnya inilah kemudian para muridnya, seperti H.Tubagus Ismail, Ki Wasid dan H.Marjuki menggagas suatu gerakan pemberontakan untuk mengusir orang asing yang dianggap kafir dan telah berbuat zalim serta menyengsarakan rakyat.
Gagasan untuk memberontak –berjuang mengusir penjajah Belanda– ini kemudian didukung oleh murid-murid Syekh H.Abdul Karim lainnya seperti H. Sangadeli (mungkin H.Sadeli) Kaloran, H.Asnawi Bendung Lempuyang, H.Abubakar Pontang dan tentu saja murid-murid dari para kiai tersebut. Di antara sekian banyak tokoh yang terlibat dalam rencana pemberontakan, ada tiga tokoh yang paling menonjol sebagai pimpinan pemberontakan yakni Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan H.Ishak.
H.Ishak merupakan sahabat Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail. Sikap anti penjajahnya sangat kuat, tidak mengenal rasa takut serta berani mati bertempur meskipun hanya seorang diri melawan penjajah. Bisa jadi hubungannya sangat dekat dalam konteks perjuangan, bisa dikatakan H.Ishak merupakan kaki tangan kedua kiai di atas. Hal ini bisa dilihat dari aktivitasnya yang selalu bersama, dimana ada Ki Wasid atau H.Tubagus Ismail, di situ ada H.Ishak, jika ada pertemuan untuk membicarakan rencana pemberontakan, H.Ishak selalu hadir.
Pada pertemuan yang dilaksanakan bulan April 1888 di rumah Ki Wasid, dibicarakan mengenai rencana aksi. Diputuskan rencana pemberontakan akan dilaksanakan sekitar bulan September 1888, bahkan diputuskan juga, Ki Wasid, H.Tubagus Ismail, dan H.Ishak yang akan memimpin penyerbuan Cilegon.
Untuk menindaklanjuti rencana itu, bulan Mei 1888, diadakan pertemuan di Kaloran Serang dipimpin H.Marjuki, murid dan utusan khusus Syekh Abdul Karim, Tanara. Dalam pertemuan ini terjadi silang pendapat soal waktu, H.Marjuki menghendaki agar pemberontakan sebaiknya jangan dilaksanakan sebelum bulan September, sementara Ki Wasid menghendaki dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1888.
Selanjutnya tanggal 15 Juni 1888 diadakan pertemuan di rumah Ki Wasid Beji. Pada pertemuan itu disepakati perubahan tanggal pelaksanaan, yang semula direncanakan bulan Agustus, dimajukan lagi menjadi tanggal 12 Juli 1888. Atas keputusan itu, H.Marjuki tidak setuju, alasannya masih terlalu pagi, akhirnya H.Marjuki kembali ke Mekkah termasuk keluarganya.
Seminggu setelah pertemuan di Beji (rumah Ki Wasid), tepatnya tanggal 22 Juni, berbarengan dengan selamatan (haul) pendiri tarekat Qadiriyah Syekh Abdul Qodir Jaelani, diadakan pertemuan besar di rumah Ki Wasid. Sebanyak 9 ekor kambing dipotong untuk jamuan makan. Para kiai hadir baik yang dari Cilegon maupun dari Serang dan sekitarnya.
Dalam pertemuan yang membahas masalah waktu penyerangan terhadap pejabat kolonial, ada yang minta ditunda karena menurut mereka terlalu dini. Permintaan penundaan itu muncul dari pengikut H.Marjuki yang memang tidak setuju dengan tanggal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Atas adanya permintaan ini, H.Ishak meyakinkan dan mengatakan bahwa penundaan hanya akan merugikan perjuangan suci dan akan membahayakan anggota.
Akhirnya pertemuan memutuskan tanggal pemberontakan akan dilaksanakan tanggal 9 Juli 1888, sebab jika dilaksanakan tanggal 12 Juli dianggap terlalu lama dan khawatir tercium oleh pihak musuh. Selanjutnya tanggal 1 Juli 1888, diadakan pertemuan kembali di Beji, saat itulah Ki Wasid diangkat menjadi panglima perang.
Pasca pertemuan itu, para pejuang terus konsolidasi mematangkan rencana. Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail mendatangi rumah H.Ishak di Seneja pada tanggal 7 Juli 1888 malam. Namun H.Ishak tidak ada di rumah, sedang menghadiri undangan H.Akhiya di Jombang Wetan yang sedang melaksanakan selamatan khitanan anaknya.
Di rumah H.Akhiya ini, selain H.Ishak turut hadir pula para pejuang lain seperti H.Sangid Jaha, H.Safiudin Leuwi Beurem, H.Halim Cibeber, H.Madani Ciore, H.Mahmud Terate Udik, H. Moch.Arsad (Serang) dan H.Tb.Kusen Penghulu Cilegon. Seperti biasanya, acara selamatan seperti ini dijadikan sebagai ajang konsolidasi, para kiai yang hadir itu membicarakan masalah rencana pemberontakan sebagaimana telah dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Bersamaan dengan itu, kira-kira jam 11 malam, datang utusan -kurir- Nyi Kamsidah, istri H.Ishak yang memberitahukan bahwa Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail ada di rumah H.Ishak ingin bertemu dengan semua kiai yang ada rumah H.Akhiya. Tengah malam rombongan para kiai menemui Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail di rumah H.Ishak. Selain Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail, sudah hadir pula di rumah H.Ishak para kiai seperti H.Abubakar, H.Muhidin, H.Asnawi, H.Sarman dan H.Ahmad. Malam itu dibicarakan tentang pemantapan rencana dan strategi pemberontakan yang akan dilaksanakan dua hari lagi.
Keputusan yang diambil dalam pertemuan itu, akan disampaikan kepada para kiai yang tidak hadir seperti H.Mohamad Asik Bendung dan para kiai dari Terumbu. Setelah pertemuan usai, para kiai kembali lagi ke rumah H. Akhiya. Beberapa pejuang kemudian diutus ke wilayah yang sudah ditentukan seperti Serang, Tirtayasa, Terumbu, Tanara untuk menyampaikan pemberontakan siap dimulai hari Senin tanggal 9 Juni 1888, Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail memerintahkan kepada para pejuang yang ada di wilayah Cilegon dan sekitarnya untuk bergerak ke Cilegon pada pagi harinya.
Sesuai dengan perintah Ki Wasid, maka pada pagi hari tanggal 8 Juli, terjadi arak-arakan massa yang berangkat dari rumah H.Akhiya dan berakhir di depan rumah H.Tubagus Kusen. Peserta arak-arakan ini terdiri dari para kiai dan murid-muridnya dengan mengenakan pakaian putih dan ikat kepala disertai dengan iringan takbir dan kasidah menggunakan rebana. Pihak kolonial mengira bahwa arak-arakan tersebut adalah massa yang sedang mengarak anaknya H.Akhiya yang akan dikhitan karena sudah menjadi kebiasaan rakyat.
Sementara itu, Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail pergi ke Wanasaba menemui beberapa kiai dan para muridnya di antaranya ada kiai dari Kaloran Serang yakni H.Sangadeli. Setelah itu Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail meneruskan konsolidasi ke Gulacir dan Cibeber menemui beberapa kiai di antaranya kiai H.Abdul Halim, H.Burak dan H.Abdulgani untuk membicarakan rencana final waktu dan teknis pemberontakan. Malam harinya, Ki Wasid dan H.Ismail membawa pasukan bersenjata golok dan tombak bergerak dari Cibeber menuju Seneja, tempat H.Ishak yang dijadikan markas perencanaan pemberontakan. (*)