Beranda Opini Kritik atas Kritik 100 Hari Kerja Walikota Cilegon

Kritik atas Kritik 100 Hari Kerja Walikota Cilegon

Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan, Moch. Nasir Rosyid SH. (doc.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan

Menghitung hari, sudah jadi budaya masyarakat. Yang paling banyak dilakukan masyarakat Indonesia dalam menghitung hari, salah satunya terkait waktu setelah kematian. Di Banten ada nelung dine (3 hari), mitung dine (7 hari), matang puluh (40 hari), nyatus dine (100 hari). Semua itu biasa dilakukan dalam kaitannya dengan acara selamatan, kirim doa terhadap orang yang sudah meninggal berdasarkan hitungan hari sejak ia wafat. Demikian juga di kalangan masyarakat Jawa atau bahkan di sebagian masyarakat Indonesia melakukan hal yang sama.

Yang paling menyedihkan adalah ketika menghitung hari jatuh ke tangan penyanyi. Menghitung hari dijadikan sebagai curhatan hati, hitungan bukan lagi hari, tapi detik per detik. Krisdayanti dalam judul lagunya “Menghitung Hari”, meluapkan perasaan dan kegalauannya seorang diri, menunggu hadirnya seseorang yang dirindukan tapi tak kunjung datang jua.

Bukan hanya itu, menghitung hari juga menyeruak ke dalam politik kekuasan/birokrasi. Entah awalnya dari mana, muncul istilah 100 hari kerja bagi Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota yang terpilih dalam menjalankan roda awal pemerintahan. Seperti halnya di Kota Cilegon, tanggal 20 Februari 2025 lalu Robinsar-Fajar Hadi Prabowo dilantik sebagai Walikota-Wakil Walikota Cilegon periode 2025-2030. Itu artinya jika berdasarkan hitungan hari, awal Juni 2025 Robinsar-Fajar resmi menjadi Kepala Daerah yang ke-100 hari. Bisa juga dikatakan 100 hari lengsernya Helldy Agustian dari tampuk pimpinan di Kota Cilegon.

Dalam kurun waktu 100 hari itulah, terdapat kebiasaan, orang menyebutnya 100 hari kerja. Sebaliknya, dalam konteks lengsernya kepemimpinan, ibarat orang yang meninggal dunia biasanya disebut “nyatus dine”, suasananya masih berduka, bunga yang ditabur di atas pusara juga belum kering, paling banter baru layu. Dalam suasana nyatus dine itu, muncul kritik dari Anggota DPRD Kota Cilegon Fraksi Gerindra yakni dari Fauzi Desviandy terkait 100 hari kerja Walikota Cilegon. Ada yang bilang “wong bunga di pusara saja belum kering, sudah melontarkan kritik”. Ya dalam tataran demokrasi, kritik silakan, kritik tak ada larangan, tapi bagaimana kritik itu kemudian ditanggapi dengan kritik, juga menjadi hal yang lumrah.

Baca Juga :  Maritim Banten dalam Catatan Dunia

Di salah satu media lokal, Fauzi Desviandy yang juga putra dari mantan Walikota Helldy Agustian yang kalah dalam perhelatan Pilkada 2024 kemarin mengatakan bahwa sisa 100 hari kerja harusnya ada satu atau dua program yang dilaksanakan dari 17 program prioritas yang sudah dijanjikan. Sebab, ada janji yang harus ditunaikan kepada masyarakat soal janji politik yang sudah diucapkan misalnya kenaikan honor RT dan RW, serta beasiswa perguruan tinggi ternama harus dilakukan, sehingga rakyat bisa merasakan.

Menanggapi kritik itu, seharusnya sebagai Anggota DPRD memahami bahwa kerja-kerja pembangunan kepala daerah yang baru, belum bisa melaksanakan visi misinya secara konstitusional tersebab visi misinya belum masuk dalam dokumen resmi pembangunan. Agar visi misi kepala daerah yang baru bisa terlaksana dengan baik harus tercatat dalam dokumen resmi yakni dengan membuat guidance (petunjuk) yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang nanti dibahas bersama antara legislatif dan eksekutif setelah ada Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang).

Kalaupun saat ini pemerintahan Robinsar-Fajar melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, secara yuridis pedomannya adalah APBD 2025 yang sudah diketuk palu sebelum Robinsar-Fajar resmi menjadi kepala daerah. Jadi apapun yang dilaksanakan oleh Walikota saat ini baru pada tahap penyesuaian atau sinkronisasi program yang berkaitan dengan 17 program prioritas yang dijanjikan dengan mengacu pada APBD 2025.

Contoh untuk itu misalkan, Janji kenaikan honor RT dan RW serta beasiswa perguruan tinggi ternama. Secara yuridis konstitusional belum bisa dilaksanakan lantaran belum masuk dalam dokumen resmi pembangunan yang bernama RPJMD tadi, jika nanti sudah ada dalam RPJMD, tidak serta merta langsung dieksekusi, semuanya harus dianggarkan terlebih dahulu dalam APBD yang nanti ditindak lanjuti melalui Peraturan Walikota (Perwal).

Baca Juga :  Kuasa Politik atas Sumber Daya Alam di Indonesia

Kegiatan yang selama ini dilakukan oleh Walikota dalam bidang infrastruktur misalnya, tidak lain untuk menyelesaikan warisan pemerintahan sebelumnya tentang buruknya penanganan masalah infrastruktur sekaligus melaksanakan program prioritas APBD 2025 yakni peningkatan kualitas infrastruktur dan visual kota yang disinkronisasi dengan misi Robinsar-Fajar yaitu Mengembangkan infrastruktur kota dan menjaga kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, tidak benar jika gebrakan Robinsar-Fajar saat ini mengabaikan janji politiknya, hanya saja kegiatan itu disesuaikan dengan kemampuan anggaran akibat warisan defisit yang ditinggalkan Walikota lama.

Dalam tulisan di BantenNews.co.id berjudul “Cilegon di Persimpangan, Antara Efisiensi dan Beban Defisit Anggaran”, saya menulis bahwa dalam situasi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang dan melakukan framing terhadap kepemimpinan Robinsar-Fajar yang isinya akan menjelek-jelekkan ketidak mampuan pemerintah dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan. Demikian pula dalam tulisan di Harian Kabar Banten dengan judul “HUT Ke-26 Cilegon: Harapan yang Terhimpit Defisit”, saya menulis bahwa dalam situsi defisit anggaran dan adanya warisan lama yang tercecer seperti buruknya pelayanan publik, buruknya infrastruktur, berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang belum bisa melepaskan diri dari ekses pilkada untuk mengkritik atau bahkan melemahkan kepemimpinan baru (Kabar Banten 22 April 2025).

Atas dasar itu, saya khawatir bahwa apa yang dikemukakan oleh Fauzi Desviandy termasuk dalam kategori apa yang saya tulis di atas tanpa mengingat soal kondisi riil Cilegon saat ini yakni adanya defisit anggaran dan amburadulnya infastruktur warisan dari pemerintahan masa lalu.

Kritik terhadap kepemimpinan dalam 100 hari pertama memang sah-sah saja dalam sistem demokrasi. Namun yang sering dilupakan adalah, proses pemerintahan tidak berjalan secepat menekan tombol. Pembangunan, penyesuaian kebijakan, dan realisasi program bukan pekerjaan instan. Sama halnya seperti menanam pohon, ada masa tanam, masa perawatan, baru kemudian panen. Meminta hasil dalam 100 hari pertama sama saja meminta buah dari benih yang baru ditanam kemarin.

Baca Juga :  Professor Itu Kami Panggil "Ka Edi"

Lebih ironis lagi jika kritik tersebut datang dari pihak yang sebelumnya pernah bersinggungan dengan orang yang berkuasa dan justru mewariskan berbagai persoalan. Ini menunjukkan bahwa kritik tersebut tidak berangkat dari semangat membangun, melainkan dari kepentingan politik yang belum usai alias belum move on dari keterpurukan. Kritik semacam ini bukanlah kontrol sosial yang sehat, melainkan bentuk lain dari resistensi terhadap penguasa yang baru.

Dalam dinamika demokrasi yang matang, kritik harus dibarengi dengan empati dan pemahaman kontekstual. Jika tidak, maka kritik hanya akan jadi alat propaganda, bukan alat perbaikan. Untuk itu, mari kita dukung proses transisi ini dengan objektivitas dan itikad baik. Biarkan Robinsar-Fajar menata fondasi dulu, sebelum kita menuntut gedung-gedung pencapaian yang megah. Jangan juga menghitung hari seperti yang dinyanyikan Krisdayanti yang seolah-olah menanti tiada akhir. (*)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News