Beranda Opini Kemacetan di Pasar Malingping dalam Perspektif Sosiologi

Kemacetan di Pasar Malingping dalam Perspektif Sosiologi

Pasar Malingping

Oleh : Patma Sulistiana, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Malingping merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Lebak serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 65,463 jiwa (Berdasarkan BPS 2017). Sehingga hal ini menjadikan Malingping sebagai kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak ke dua di Kabupaten Lebak.

Masyarakat Malingping cenderung bersifat heterogen, dimana hal ini tercermin dari pekerjaan masyarakat yang beragam mulai dari petani, nelayan, pedagang, buruh pabrik, karyawan, guru, dokter, TNI, Polisi dan lain-lain, namun mayoritas masyarakat Malingping bekerja pada sektor pertanian. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk masyarakat Malingping semakin meningkat, hal tersebut berdampak pada meningkatnya mobilitas masyarakat Kecamatan Malingping.

Mobilitas masyarakat salah satunya berkaitan dengan sistem transportasi, dimana dalam hal ini salah satu permasalahan sistem transportasi yang ada di Malingping adalah kemacetan yang sering terjadi di Pasar Malingping. Pada dasarnya, kemacetan terjadi akibat dari jumlah arus lalu lintas di suatu ruas jalan tertentu yang melebihi kapasitas maksimum yang dimiliki oleh jalan tersebut (Jamaludin, 2017: 270).

Kemacetan di pasar Malingping disebabkan oleh beberapa hal, seperti PKL yang berjualan hingga sampai keruas jalan yang menyebabkan ruas jalan berkurang, kemudian tidak adanya lahan parkir yang memadai di pasar Malingping yang menyebabkan masyarakat memparkir kendarannya dipinggir jalan, serta terdapat aktivitas bongkar muat barang di jalan yang mengganggu arus lalu lintas kendaran sehingga menyebabkan kemacetan di Pasar Malingping.

Menurut penuturan salah satu juru parkir di pasar Malingping yang berinisial R “kira-kira macet di pasar Malingping terjadi mulai dari jam sepuluh pagi hingga jam sebelas, terus macet lagi nanti jam setengah empat sore, setelah asar” Sabtu, (14/11/2020).

Pada saat ini masyarakat juga cenderung menggunakan kendaran pribadi dari pada menggunakan kendaraan umum, hal tesebut salah satunya karena di Malingping kendaran umum seperti angkot sangatlah terbatas jumlahnya, dimana hal ini membuat masyarakat cenderung menggunakan kendaraan pribadi dari pada kendaraan umum, sehingga membuat volume kendaran semakin meningkat dan melebihi batas maksimum ruas jalan yang menyebabkan arus lalu lintas tersendat.

Selain itu masih ditemukan truk yang melewati jalan pasar Malingping, dimana hal ini juga menjadi salah satu hal yang menyebabkan terjadinya kemacetan. Dalam hal ini dilansir dari BeritaJuang.com Gerakan Masyarakat Pemerhati Transportasi (GMPT) Kabupaten Lebak telah melakukan beberapa upaya dalam mencegah mobil truk kontainer untuk tidak melewatai pasar Malingping, dan memindahkan jalur mobil truk kontainer ke Jalan Baru, Beyeh sebagai alternatif lain.

Upaya tersebut dilakukan dengan memasang berbagai rambu-rambu lalu lintas, hal ini juga sudah di koordinasikan dengan perwakilan pihak Dinas Perhubungan Kabupaten Lebak yang berada di Malingping.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kemacetan di pasar Malingping berasal dari perilaku sosial dan budaya masyarakat itu sendiri.

Hal tersebut terlihat dari banyaknya masyarakat yang tidak disiplin dalam berkendara, seperti menggunakan jalur dengan zigzag sehingga menghalangi kendara lain yang akan melintas, selain itu terdapat juga masyarakat yang menyebrang dengan sembarangan dan masyarakat yang berjalan di ruas jalan raya tanpa memperhatikan kondisi sekitar, hal ini tentu mengganggu pengendara atau masyarakat lain yang sedang menggunakan kendaran dan menciptakan kemacetan.

Nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat dalam hal ini seperti nilai kedisiplinan dan norma kesopanan cenderung diabaikan, dan menyebabkan masyarakat lebih mementingkan kepentingan individu masing-masing sehingga sifat individualisme pun muncul dalam hal ini. Hal tersebut juga berkaitan dengan anomie yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, dimana anomie merupakan berpudarnya pegangan pada kaidah-kaidah yang ada, sehingga menimbulkan keadaan tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah.

Selain itu kebiasaan masyarakat seperti parkir semabarangan menjadi sebuah kebiasaan dan menjadi budaya yang dianggap wajar oleh masyarakat, anggapan wajar disini terus dipelihara sehingga kebiasaan tersebut terus terulang dalam waktu yang lama, dan menyebabkan kemacetan terus terjadi di pasar Malingping.

Dampak dari adanya kemacetan di pasar Malingping diantaranya seperti waktu perjalanan menjadi lebih lama karena arus lalu lintas tersendat, sehingga mengganggu mobilitas masyarakat. Selain itu membuat pengguna transportasi menjadi lebih stres atau bahkan cenderung emosi, hal tersebut dapat dilihat dari seringnya masyarakat yang mengalami kemacetan membunyikan klakson kendaraannya secara terus menerus.

Interaksi sosial masyarakat pun menjadi berkurang, karena dengan adanya kemacetan membuat waktu yang seharusnya bisa dipakai berinterkasi baik itu dalam pekerjaan atau keluarga, menjadi berkurang.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya kemacetan diantaranya, pemerintah dapat meningkatkan sarana dan prasarana transportasi seperti jalan, kendaraan umum, terminal dan tempat parkir yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam hal ini memperhatikan aspek kenyaman, keamanan, ekonomi, teknik dan sosial.

Selain itu pemerintah juga harus lebih tegas dalam menangani pelanggaran-pelanggaran lalu lintas, seperti yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah juga harus memperhatikan permasalahan yang berkaitan dengan PKL seperti penertiban para PKL dengan menyediakan tempat berdagang yang lebih baik agar PKL tidak sampai ke ruas jalan.

Oleh karena itu, sistem transportasi harus dibina agar mampu menghasilkan jasa transportasi yang andal, berkemampuan tinggi dan diselenggarakan secara terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan efisien dalam menunjang sekaligus menggerakan dinamika pembangunan, serta mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa (Jamaludin, 2017: 261).

Jika dilihat dari sisi masyarakat itu sendiri, dibutuhkan kesadaran akan nilai-nilai dan norma-norma yang mencerminkan bangsa Indonesia salah satunya yaitu norma kesopanan dimana dalam hal ini dalam bertransportasi masyarakat juga harus memperhatikan tata krama dan menghormati sesama pengguna transportasi, seperti tidak menggunakan jalan dengan zigzag yang dapat mengganggu pengguna jalan yang lain, serta dapat memicu kemacetan.

Selain itu dibutuhkan kesadaran akan nilai kedisiplinan oleh masyarakat itu sendiri, seperti disiplin dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas, serta tidak parkir sembarangan yang dapat mengganggu arus lalu lintas. Nilai-nilai tersebut harus disosialisasikan, diinternalisasikan serta dilembagakan dalam masyarakat, hal tersebut salah satunya agar masyarakat dapat melakukan tindakan rasionalitas yang dapat mencegah terjadinya kemacetan. Maka dari itu untuk mencegah dan meminimalisir kemacetan dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat itu sediri.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini