Oleh: Ridwan
Indonesia sebagai negara hukum, pertanyaan mengenai relevansi kebijakan hukum terhadap keadilan terus mengemuka. Sebagai negara yang menganut prinsip Pancasila dan UUD 1945, Indonesia seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam setiap kebijakan hukumnya. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan adanya kesenjangan terkait Remisi pengurangan hukuman terpidana yang diberikan dan implementasi keadilan bagi si korban atas kejahatan terpidana tersebut.
Hukum dan Keadilan
Salah satu contoh nyata dari kesenjangan ini adalah penerapan remisi bagi terpidana kasus pembunuhan kopi sianida terpidana yang divonis 20 tahun penjara, namun baru menjalani 8 tahun penjara mendapat remisi 58 bulan. Meskipun pemberian remisi sudah diatur oleh untuk UU, namun hal ini sering dikritik karena penerapannya yang dianggap tidak adil dan cenderung tidak memberikan efek jera. Kasus-kasus lainnya seperti koruptor kuga seakan mendapat diskoun remisi yang besar berdasarkan sistem penilaian pembinaan narapidana. Hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan hukum dapat menjadi alat represi daripada instrumen keadilan.
Reformasi Hukum yang Setengah Hati
Upaya reformasi hukum pasca-Reformasi 1998 memang telah membawa angin segar dalam sistem hukum Indonesia. Namun, banyak kebijakan hukum yang masih mencerminkan paradigma lama yang cenderung berpihak pada elite dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Misalnya, revisi Undang-Undang KPK yang dianggap oleh banyak pihak melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut, menunjukkan bagaimana kebijakan hukum dapat bergeser dari tujuan awalnya untuk menegakkan keadilan.
Keadilan Substantif vs. Keadilan Prosedural
Permasalahan lain yang sering muncul adalah ketidakseimbangan antara keadilan substantif dan keadilan prosedural. Meskipun prosedur hukum telah dijalankan sesuai aturan, hasil akhirnya seringkali tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Kasus-kasus korupsi dengan vonis ringan atau pembebasan terdakwa atas dasar teknis hukum menunjukkan bahwa kepatuhan pada prosedur tidak selalu menghasilkan keadilan yang sesungguhnya.
Akses terhadap Keadilan
Kebijakan hukum di Indonesia juga masih belum sepenuhnya menjamin akses yang setara terhadap keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Biaya perkara yang tinggi, proses yang berbelit-belit, dan kurangnya bantuan hukum yang memadai bagi masyarakat miskin merupakan bukti nyata bahwa keadilan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Jalan ke Depan
Untuk meningkatkan relevansi kebijakan hukum terhadap keadilan di Indonesia, beberapa langkah perlu diambil:
1. Reformasi legislasi yang berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar formalitas hukum.
2. Peningkatan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan hukum.
3. Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum dan pengawasan terhadap kinerja mereka.
4. Penyederhanaan prosedur hukum dan peningkatan akses terhadap bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu.
5. Pendidikan hukum yang menekankan pada nilai-nilai keadilan dan etika, bukan sekadar penguasaan teknis hukum.
6. Transparansi pemberian remisi bagi nara pidana terutama bagi koruptor
Kesimpulannya, meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam upaya menegakkan keadilan melalui kebijakan hukum, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hanya dengan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, kita dapat mewujudkan sistem hukum yang benar-benar relevan dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi cita-cita bangsa. (*)
Penulis adalah mahasiswa Unpam Kota Serang, Banten.