Oleh : Fauzan Dardiri
Mewaspadai aksi tawuran antar kelompok anak usia sekolah menjadi tugas semua pihak. Penyebabnya, tak hanya mengancam cacat fisik, tawuran kerap memakan korban jiwa. Nyawa seperti jadi mainan.
Tawuran seperti gaya hidup dan gengsi, kalau enggak tawuran, enggak gaul bahkan enggak laki. Tradisi, konvoi rame-rame berkendara roda dua mengeluarkan tampang bringas, sambil mengancungkan senjata tajam.
Pemandangan ini mudah menemui lewat rekaman CCTV di fasilitas umum atau warga yang diunggah di media sosial. Termasuk, rekaman yang sengaja diunggah. Biasanya di tempat-tempat keramaian di Kota-kota besar termasuk di Kota Serang, Provinsi Banten.
Puncak dari tindakannya, kerap menelan korban, mulai dari luka ringan, berat atau cacat, bahkan yang semua disesali atas tindakannya, sampai menelan korban jiwa. Ini tentu, membuat semua pihak prihatin, kesal hingga dongkol.
Dalam beberapa kejadian, tampang-tampang pelaku di atas, berubah seketika, menangis mengeluarkan air mata, menunjukkan sikap kekanak-kanakannya saat digelandang petugas Kepolisian atau diamankan warga saat kejadian.
Tentunya, atas prilaku tersebut, yang paling bertanggungjawab akhirnya orang tua, keluarga terdekat, termasuk Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) harus rela bulak balik mengurus dan memediasi pasca kejadian.
Apabila memotret persoalan ini menggunakan pendekatan Sosiolog Prancis ternama, Emile Durkheim melalui teori Anomie menjelaskan, ketidakstabilan sosial akibat hilangnya norma dan nilai-nilai sosial. Norma sosial penting untuk mengatur perilaku individu dalam masyarakat.
Analisa ini dilakukan dengan melihat hubungan antar kejahatan, struktur sosial, dan ketidaksetaraan dalam sumber daya. Seperti, harapan sosial tidak jelas dan sistemnya mengalami kerusakan. Sehingga, muncul ketidakpuasan subjektif kolektif mengalami peningkatan.
Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan teori kekerasan kolektif, dimana kekerasan dilakukan oleh kelompok orang secara bersama-sama atau collective violence. Bentuknya, berupa penganiayaan, perusakan atau paksaan terhadap orang atau benda.
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan kolektif. Seperti, faktor budaya, ekonomi, lemahnya penegakan hukum, dan kultur masyarakat. Kedua pendekatan teori ini, tentunya akan memudahkan mencari metode atau cara menekan tindakan tawuran remaja anak usia sekolah.
Tawuran Tanggungjawab Siapa?
Berdasarkan uraian di atas, tentu semua pihak memiliki tanggungjawab dan sepakat untuk mengatakan tidak pada tawuran. Selain mengancam nyawa, juga membuat keresahan masyarakat.
Lantas, ini tugas siapa? Tentu bukan hanya orang tua, pihak Kepolisian. Tapi, semua pihak yang menginginkan generasi muda ke depan jauh lebih baik. Bisa dengan tindakan, menegur dan bahkan mendo’akan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya tawuran. Pertama, menanamkan sikap empati baik di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Dimana, memaknai perbedaan sebagai rahmat.
Lingkungan tempat tinggal berpengaruh dalam menanamkan sikap empati. Seperti, di lingkungan ada kegiatan yang melibatkan remaja melalui berbagai kegiatan, PHBI, PHBN dan kemasyarakat.
Kedua, menumbuhkan karakter yang kuat. Dimulai dengan memberikan pemahaman anak agar menjadi bijaksana dan cerdas, tak hanya di sekolah, bisa dimulai dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Ketiga, komunikasi. Komunikasi menjadi salah satu hal utama dalam rangka mencegah terjadinya tawuran. Jika, komunikasi dapat terjalin dengan baik, maka akan mudah mencegah tawuran terjadi.
Komunikasi bisa dilakukan diinternal keluarga, atau bisa melalui kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungan. Tiap remaja diajak terlibat aktif, tentunya dengan bimbingan para orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta RT dan RW.
Keempat memberikan hukuman yang tegas. Tidak hanya pihak Kepolisian yang memberikan, tapi dimulai dari orang tua, lingkungan, sekolah, sehingga remaja sadar bahwa prilakunya memang tak layak dibanggakan.
Kelima, pihak sekolah menciptakan suasana belajar yang nyaman, aman menyenangkan, dan menghadirkan suasana pembelajaran yang setara. Dimana, setiap pelajar berhak mendapatkan perhatian sama dari guru. Sehingga, akan berdampak pada perilaku siswa.
Keenam, pemerintah terlibat aktif memberikan pengawasan kepada pihak sekolah untuk memastikan proses pembelajaran dan suasana belajar yang mengarah pada pembinaan karakter berjalan baik. (*)
Penulis adalah Ketua DPD KNPI Kota Serang Periode 2025-2028