Beranda » Utang Bak Gunung, Garuda Indonesia Pailit?

Utang Bak Gunung, Garuda Indonesia Pailit?

Wulandari Cahyani Putri, Mahasiswi Magister Akuntansi Universitas Pamulang

PT Garuda Indonesia Tbk sebagai maskapai penerbangan nasional Tanah Air plat merah berkode saham GIAA,  tercatat sudah tujuh dekade mengudara. Nama baik maskapai ini menggema di benak publik dengan berbagai penghargaan sebagai flag carrier kebanggaan Indonesia.

Namun belakangan, nama baik Garuda Indonesia meredup dan menyimpan sederet kasus pelik yang menjadi kontroversi. Mulai dari kasus penyelundupan onderdil motor Harley Davidson dan sepeda Brompton, menu makanan ditulis tangan oleh awak kabin, kritik kualitas menu makanan, kasus suap pengadaan mesin dan pesawat oleh mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd Soetikno Soedarjo, laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia yang tidak sesuai dengan PSAK, sampai dengan kasus terberat saat ini adalah kondisi keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang carut marut dan mengindikasikan permasalahan pada kelangsungan bisnis perusahaan (going concern issue).

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020, GIAA membukukan pendapatan sebesar US$1,49 miliar. Angka tersebut merosot tajam dibanding sebelum terdampak pandemi atau pada 2019 yang mencetak pendapatan US$4,57 miliar. Arus kas berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp 41 triliun. BEI menempatkan saham GIAA di papan watclist serta suspend perdagangan efek GIAA sejak sesi I perdagangan tanggal 18 Juni 2021 sampai saat ini sebagai dampak penundaan pembayaran kupon sukuk global bond sebesar US$ 500 juta yang telah jatuh tempo pada 17 Juni 2021 setelah menggunakan hak grace period.

Disamping itu, kondisi keuangan semakin diperparah dengan utang perseroaan yang semakin menggunung hingga Rp 70 triliun dari total utang Rp 140 triliun dan beban bunga utang setiap bulan mencapai Rp 1 triliun. GIAA merestrukturisasi bisnis dengan memangkas jumlah armada pesawat yang dioperasikan serta merampingkan awak kabin dan pilot yang bertugas sebagai bentuk penyelamatan.

Namun, kondisi keuangan justru semakin sulit diselamatkan. Biang kerok kerugian Garuda Indonesia adalah fokus rute penerbangan yang menggarap rute penerbangan luar negeri, serta indikasi korupsi pengadaan pesawat melalui negosiasi skema sewa dengan para lessor yang terlalu mahal. Imbasnya, resiko pailit menjadi bayang-bayang yang terselip dari salah satu opsi penyelamatan Garuda Indonesia atas utang yang menggunung.

Bagi pemerintah, saat ini prioritas utama adalah pemulihan diberbagai sektor ekonomi akibat pandemi. Sehingga, mustahil memberikan bantuan dana berupa penyertaan modal negara. Disisi lain, Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas Garuda Indonesia terus melakukan langkah akseleratif pemulihan kinerja melalui program restrukturisasi menyeluruh terhadap utangnya menggunakan legal bankruptcy.

Pihak Garuda Indonesia sendiri mengaku optimis atas sinyal positif dari industri penerbangan nasional pada sektor pariwisata yang sudah bisa beroperasi pasca situasi pandemi COVID-19 yang mulai terkendali. Jika pada akhirnya Indonesia tidak memiliki maskapai akibat serangkaian kondisi yang dialami, menutup Garuda Indonesia adalah opsi yang harus dipertimbangkan dengan matang karena tentu berefek kepada aspek psikologis industri di Indonesia dan semestinya peristiwa ini menjadi momentum untuk berbenah dalam segala aspek mulai dari isu duopoli dalam industri penerbangan domestik, infrastruktur, navigasi, birokrasi termasuk aspek investasi yang mampu menjawab tantangan sebagai bisnis yang ‘high risk investment’ dan dianggap tidak menarik oleh investor asing.

Wulandari Cahyani Putri

Mahasiswi Magister Akuntansi Universitas Pamulang

Bagikan Artikel Ini