Beranda » Tulang Rusuk yang Berganti Peran

Tulang Rusuk yang Berganti Peran

Berbicara perihal tulang rusuk tentu identik dengan yang namanya perempuan, di dalam kehidupan perempuan memiliki relasi yang besar, entah itu dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan lingkup sederhana seperti keluarga. Meski demikian, tetap saja ada ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Masih banyak yang menganggap perempuan sebelah mata, tak perlu banyak berkontribusi dalam hal-hal yang dianggap bukan ranahnya. Rumah, dapur, anak-anak, sekolah hanya itu-itu saja yang seharusnya menjadi lingkup yang difokuskan bagi seorang perempuan. Ratna Megawangi (1999) menjelaskan bahwa banyak para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan sifat dasar (nature) atau genetis.

Setelah membahas terkait ketimpangan gender, isu tentang peran kepemimpinan dalam rumah tangga menjadi perbincangan yang acap kali hilir mudik di telinga masyarakat. Umumnya, dalam rumah tangga laki-laki berperan menjadi pemimpin dan yang pastinya menjadi tulang punggung atau pencari nafkah. Mengapa demikian, karena pengaruh laki-laki lebih memiliki kekuatan fisik tentunya, kemauan yang keras, kelebihan akal, dan keteguhan hati. Namun bukan berarti hal-hal tersebut tidak ada dalam diri perempuan, hanya saja memang tetap ada perbedaannya. Perempuan itu salah satu makhluk Tuhan yang kuat. Bagaimana tidak, banyak hal yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan seperti mengandung, melahirkan dan menyusui, meski memang hal-hal tersebut merupakan kodrat dan fitrah seorang perempuan. Meskipun demikian, kekuatan perempuan tidak saja hanya berkaitan dengan kodratnya, tetapi juga dalam ranah ekonomi.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2020 terdapat 11,44 juta perempuan menjadi kepala rumah tangga. Jumlah ini meningkat jauh dari data yang diambil pada tahun 2016, yang pada saat itu tercatat hanya berjumlah 715.000 orang kemudian meningkat 22 persen menjadi 869.000 orang. Berbicara tentang kepala rumah tangga, maka seharusnya berbicara perihal laki-laki. Yang memang pada hakikatnya merupakan seorang tulang punggung atau pencari nafkah untuk keluarga. Namun, di zaman modern seperti sekarang ini, telah terjadi pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki bisa dilakukan perempuan, begitu pun sebaliknya.

Perubahan pola pikir menjadi salah satu pemicu mengapa pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan dapat terjadi, pola pikir seperti apa? Ya tentu, pola pikir yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan saat ini dapat memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Contoh sederhananya bisa disaksikan melalui televisi yaitu pada sinetron Dunia Terbalik, dalam tayangan tersebut menceritakan tentang seorang istri atau perempuan pergi merantau ke negara orang untuk mencari uang, sementara suami di rumah bertugas menjaga anak. Dan hal itulah yang dimaksud dengan pergeseran peran. Karena pada hakikatnya seorang suamilah yang seharusnya mencari nafkah bukan seorang istri.

Ada juga beberapa faktor yang menjadi pemicu lainnya seorang perempuan berganti peran menjadi tulang punggung. Diantaranya, seorang perempuan orang tua tunggal (ibu), seorang istri yang memiliki suami cacat atau tidak memiliki kekuatan untuk mencari nafkah, anak perempuan pertama, dan seorang istri yang menjadi tulang punggung meski suaminya tidak memiliki kendala apa pun untuk mencari nafkah. Hal ini, tentu memberatkan salah satu pihak. Meski diantaranya memang karena takdir yang memaksa mereka melakukan demikian.

Menjadi seorang perempuan pencari nafkah memang bukan sesuatu yang salah, tidak sedikit dari perempuan di luar sana yang memang ikhlas dan rela melakukan hal demikian. Karena zaman sudah modern spekulasi tentang perempuan hanya boleh di dapur mulai terhapus meski belum sepenuhnya, karena tetap saja ada sebagian masyarakat yang menetapkan seorang perempuan cukup hanya sebagai ibu rumah tangga. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, salah satu alasan perempuan menjadi seorang pencari nafkah adalah anak perempuan pertama. Seperti contohnya adalah saya sendiri, untuk saat ini dapat dikatakan saya memang belum benar-benar menjadi tulang punggung karena orang tua saya masih bekerja. Namun tetap, perasaan memiliki tanggung jawab kepada keluarga itu selalu saya pikirkan. Terlebih, orang tua saya sudah tidak lagi muda dan saya mempunyai seorang adik yang masih sekolah. Perasaan beban, risau, kalut dan sedih sudah jadi makanan sehari-hari. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh anak perempuan pertama di luar sana, yang memang keadaannya tidak memungkinkan untuk berdiam diri saja.

Di lingkungan rumah saya sendiri ada sepasang suami istri, pada awal pernikahan keduanya masih sama-sama bekerja. Namun entah apa alasannya, beberapa waktu setelah kenikah suaminya tak lagi bekerja, hingga yang masih tetap bekerja hanya istrinya. Pada saat mereka baru mempunyai satu anak, keadaan ekonomi masih tercukupi. Namun seiring berjalannya waktu, saat sang istri kembali mengandung sang suami masih juga tak kunjung kembali bekerja. Di kehamilan kedua ini, sang istri tetap bekerja, karena ia juga tidak bisa begitu saja berhenti. Alasannya, karena sang suami masih belum memiliki pekerjaan. Hal tersebut tentu saja menjadi bahan perbincangan tetangga bahkan keluarga. Sang suami dinilai tak bertanggung jawab untuk membiayai keluarganya, hingga sang istri yang tengah hamil pun harus tetap mencari uang untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Beberapa waktu kemudian keadaan tetap sama, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk berganti peran. Sang suami yang menjaga anaknya dan sang istri yang bekerja.

Menilik berdasarkan contoh kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa alasan menjadi seorang pencari nafkah memang bisa berasal dari mana saja. Bahkan sering terjadi karena paksaan hidup. Di Indonesia sendiri peran perempuan dalam lingkup ekonomi sudah lumayan signifikan, di beberapa perusahaan banyak ditemui karyawati dan bahkan tak sedikit pula perempuan memimpin perusahaan tersebut. Itu menggambarkan bahwa kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan sudah lebih baik, meski belum merata sepenuhnya. Dengan demikian perempuan memang dapat dikatakan sebagai makhluk yang perkasa, seperti contohnya perempuan di daerah Bali. Di sana mereka menempatkan perempuan sebagai tumpuan dalam ranah rumah tangga, kehidupan sosial dan keagamaan.

Terkait pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan tidak lantas menjadikan perempuan sosok yang sombong dan menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam rumah tangga. Hanya saja, hal semacam ini terjadi karena pengaruh perkembangan zaman yang semakin modern, dikenal dengan istilah emansipasi. Kesimpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan, maka boleh saja perempuan itu dikatakan sebagai makhluk yang serba bisa dan memiliki peran yang banyak dalam kehidupan. Seperti fenomena yang banyak terjadi sekarang ini, yaitu pergeseran peran tulang rusuk menjadi tulang punggung.

Bagikan Artikel Ini