Beranda » Serangkaian Hama

Serangkaian Hama

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Suasana pasar di terik matahari ini bikin kewalahan, 2 keranjang yang  masih kosong kubawa sambil mengikuti ibu yang sedang mencari bahan makanan untuk keluarga. Sambil menjinjing tas, mataku celingukan melihat kondisi pasar yang sangat ramai ini. 

Sampai aku tertuju pada pada seorang pedagang beras, dia menambahkan bahan ke dalam liter berasnya, aku melongo melihat aksi pedagang yang berbuat curang. Saat aku ingin mendekatinya, satpam pasar lebih dulu menghampirinya, awalnya aku senang mengira sang satpam menangkap pedagang yang curang, namun pedagang tersebut mulai mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, 5 lembar berwarna merah, dan satpam pun pergi.

 “Lin, yuk kesana” tunjuk ibu ke tempat penjualan daging, aku menganggukkan kepala sementara mata masih tertuju pada pedagang curang tadi. Sebal itu yang ada dalam pikiranku, pun aku mengikuti langkah ibu  sampai pada deretan daging yang digantung, ibu tengah asyik memilih daging, sementara aku masih melamun mengingat akan hal tadi.

Tiba-tiba orang berlarian mengejar seseorang yang diteriaki maling…maling,  aku yang ikutan panik spontan berlari mengikuti masa untuk mengejar maling. Karena langkahku tidak segontai orang-orang, akhirnya aku berada di paling belakang. Mereka sudah tidak berlarian lagi, sepertinya sudah menangkap si maling dan siap di bawa ke kantor polisi. Namun apa yang terjadi, aksi kekerasan terjadi, maling yang tertangkap menjadi sasaran empuk bahan babi buta orang-orang untuk diinjak dan dipukul sampai tak berdaya, 2 orang polisi datang menghampiri dan membawa maling tersebut. Aku heran, disini maling emang bersalah, tapi bagaimana dengan aksi orang-orang yang dengan semangatnya memukuli satu orang sampai lemas tak berdaya. Itu sama saja dengan melakukan tindak pidana kekerasan, mereka tidak memiliki jiwa kemanusiaan. Harusnya maling tadi langsung dibawa ke kantor polisi, bukan disiksa habis-habisan seperti itu. 

“Alin, Lin…. ngapain kamu disitu, ayok kita pulang!”. Teriak ibu diseberang sana. Akupun menghampirinya, kemudian kita pulang dengan menaiki angkot, kebetulan angkot sepi, hanya ada aku dan ibu. “Lin, kamu kenapasih dari tadi bengong Mulu”. Tanya ibu keheranan.

 “Engg…tadi Alin lihat pedagang yang curang bu, terus bukannya ditangkap satpam, malah satpamnya Nerima suap. Terus nih ya Bu, tadi Alin juga lihat pencopet yang dipukulin habis-habisan sama orang-orang, ya emang si pencopet itu salah, dan harus di bawa ke kantor polisi, tapi ini nggak Bu, orang-orang malah dengan teganya mukulin pencopet sampe babak belur, sampai gak berdaya Bu”. Ceritaku panjang lebar pada ibu. 

Ibu juga kaget mendengar apa yang aku ceritakan, terus ibu bilang “Astaghfirullah, memang ya gak ada yang bener, gimana negara mau maju, kalo isinya orang-orang seperti itu, ideologi kita sudah bagus, Pancasila, tapi tidak diterapkan oleh masyarakatnya”. 

Aku pun ikut bersuara ” iya Bu, Pancasila dibuat untuk menjadi ideologi, pedoman kita untuk menjadi masyarakat yang berbudi pekerti, tapi banyak banget pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan”.

“Itu baru sebagian kecil, banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang lebih kejam, ya contohnya sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah hukum sekarang sudah dinilai adil dan benar?, Pencuri kayu bakar dipenjara tahun, sedangkan pejabat yang makan uang rakyat hanya Beberapa bulan saja, memang aneh ya” ucap ibu sambil tertawa keheranan. 

Akupun mulai menanggapi ” iya Bu, banyak banget tangan-tangan kotor yang bersinggah dibalik gelar dan jabatan besarnya, padahal dia pintar, tapi tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bansos aja dimakan”. Aku geram dengan aksi pejabat-pejabat tinggi yang dengan teganya mencuri uang rakyat, padahal banyak rakyat yang kelaparan. Mereka terlalu serakah dan membuat gue bertanya-tanya, apa tujuan mereka menjadi pejabat, apa ingin merealisasikan ideologi kita, cita-cita bangsa?, Lalu mengapa mereka se serakah itu, pikirku yang geram dengan tingkah mereka. Aku mulai meredam emosi ku dengan meminum air putih yang ibu berikan. Akhirnya aku dan ibu sampai di rumah

Setelah aku membersihkan diri, aku langsung menghampiri ibu yang sedang asyik memasak di dapur, karena kejadian di pasar masih fresh di otak, pembahasan tentang ideologi di angkot tadi juga masih menarik untuk ku bahas sekarang ini bareng ibu.

“Oh iya Bu, sekarang ini kan maraknya era globalisasi ya, apa itu bisa menjadi ancaman pada sistem ideologi kita?”. Tanyaku pada ibu. 

“Sebenarnya yang bisa menentukan apakah itu mengancam atau tidaknya, adalah masyarakat Indonesia sendiri, kalau masyarakat bisa memilah dan memilih mana yang baik dan yang tidak, dan terus menerapkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, itu tidak akan jadi ancaman. Namun realitanya sangat sulit bukan?”. Jawab ibu diakhiri dengan bertanya padaku.

“Bener Bu, sulit banget, apalagi dalam kondisi yang sekarang sedang covid, banyak banget orang yang main sosmed, tidak apa sih main sosmed, asal kota bisa memfilter apa yang seharusnya kita konsumsi dan bukan, apalagi sekarang ini banyak banget kejahatan internet, seperti bullying dan hoax yang merajalela, tentu itu bisa menjadi ancaman untuk bangsa Indonesia”.

Kemudian ibu memberikan sahutan kembali “nah itu dia tugas generasi muda sekarang, harus bisa menjaga dan menerapkan ideologi kita, cita-cita bangsa yaitu Pancasila. Kita bisa bersifat terbuka terhadap dunia luar, namun kita harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik”. Ucap ibu dengan legowonya.

“Belajar juga yang bener, diterapkan ilmunya, jangan cuma paham tapi gak dipake”. Pesan ibu dengan tertawa kecil.

“Siap bos”. Ucapku sambil menghormat. Hari ini banyak banget kejadian yang yang kurang mengenakan, aku juga banyak banget mendapat pengetahuan dan pembelajaran, bahwa kita harus bisa menjadi masyarakat Indonesia yang berbudi pekerti luhur, yang bisa menerapkan nilai-nilai Pancasila, kita harus bisa membersihkan sampah-sampah yang mulai mengotori negri ini, bukan cuma lewat protes tetapi juga kita harus bisa mencontohkan dam memberikan sesuatu yang baik untuk mencapai cita-cita ideologi bangsa Indonesia.Suasana pasar di terik matahari ini bikin kewalahan, 2 keranjang yang masih kosong kubawa sambil mengikuti ibu yang sedang mencari bahan makanan untuk keluarga. Sambil menjinjing tas, mataku celingukan melihat kondisi pasar yang sangat ramai ini.
Sampai aku tertuju pada pada seorang pedagang beras, dia menambahkan bahan ke dalam liter berasnya, aku melongo melihat aksi pedagang yang berbuat curang. Saat aku ingin mendekatinya, satpam pasar lebih dulu menghampirinya, awalnya aku senang mengira sang satpam menangkap pedagang yang curang, namun pedagang tersebut mulai mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, 5 lembar berwarna merah, dan satpam pun pergi.
“Lin, yuk kesana” tunjuk ibu ke tempat penjualan daging, aku menganggukkan kepala sementara mata masih tertuju pada pedagang curang tadi. Sebal itu yang ada dalam pikiranku, pun aku mengikuti langkah ibu sampai pada deretan daging yang digantung, ibu tengah asyik memilih daging, sementara aku masih melamun mengingat akan hal tadi.
Tiba-tiba orang berlarian mengejar seseorang yang diteriaki maling…maling, aku yang ikutan panik spontan berlari mengikuti masa untuk mengejar maling. Karena langkahku tidak segontai orang-orang, akhirnya aku berada di paling belakang. Mereka sudah tidak berlarian lagi, sepertinya sudah menangkap si maling dan siap di bawa ke kantor polisi. Namun apa yang terjadi, aksi kekerasan terjadi, maling yang tertangkap menjadi sasaran empuk bahan babi buta orang-orang untuk diinjak dan dipukul sampai tak berdaya, 2 orang polisi datang menghampiri dan membawa maling tersebut. Aku heran, disini maling emang bersalah, tapi bagaimana dengan aksi orang-orang yang dengan semangatnya memukuli satu orang sampai lemas tak berdaya. Itu sama saja dengan melakukan tindak pidana kekerasan, mereka tidak memiliki jiwa kemanusiaan. Harusnya maling tadi langsung dibawa ke kantor polisi, bukan disiksa habis-habisan seperti itu.
“Alin, Lin…. ngapain kamu disitu, ayok kita pulang!”. Teriak ibu diseberang sana. Akupun menghampirinya, kemudian kita pulang dengan menaiki angkot, kebetulan angkot sepi, hanya ada aku dan ibu. “Lin, kamu kenapasih dari tadi bengong Mulu”. Tanya ibu keheranan.
“Engg…tadi Alin lihat pedagang yang curang bu, terus bukannya ditangkap satpam, malah satpamnya Nerima suap. Terus nih ya Bu, tadi Alin juga lihat pencopet yang dipukulin habis-habisan sama orang-orang, ya emang si pencopet itu salah, dan harus di bawa ke kantor polisi, tapi ini nggak Bu, orang-orang malah dengan teganya mukulin pencopet sampe babak belur, sampai gak berdaya Bu”. Ceritaku panjang lebar pada ibu.
Ibu juga kaget mendengar apa yang aku ceritakan, terus ibu bilang “Astaghfirullah, memang ya gak ada yang bener, gimana negara mau maju, kalo isinya orang-orang seperti itu, ideologi kita sudah bagus, Pancasila, tapi tidak diterapkan oleh masyarakatnya”.
Aku pun ikut bersuara ” iya Bu, Pancasila dibuat untuk menjadi ideologi, pedoman kita untuk menjadi masyarakat yang berbudi pekerti, tapi banyak banget pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan”.
“Itu baru sebagian kecil, banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang lebih kejam, ya contohnya sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah hukum sekarang sudah dinilai adil dan benar?, Pencuri kayu bakar dipenjara tahun, sedangkan pejabat yang makan uang rakyat hanya Beberapa bulan saja, memang aneh ya” ucap ibu sambil tertawa keheranan.
Akupun mulai menanggapi ” iya Bu, banyak banget tangan-tangan kotor yang bersinggah dibalik gelar dan jabatan besarnya, padahal dia pintar, tapi tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bansos aja dimakan”. Aku geram dengan aksi pejabat-pejabat tinggi yang dengan teganya mencuri uang rakyat, padahal banyak rakyat yang kelaparan. Mereka terlalu serakah dan membuat gue bertanya-tanya, apa tujuan mereka menjadi pejabat, apa ingin merealisasikan ideologi kita, cita-cita bangsa?, Lalu mengapa mereka se serakah itu, pikirku yang geram dengan tingkah mereka. Aku mulai meredam emosi ku dengan meminum air putih yang ibu berikan. Akhirnya aku dan ibu sampai di rumah
Setelah aku membersihkan diri, aku langsung menghampiri ibu yang sedang asyik memasak di dapur, karena kejadian di pasar masih fresh di otak, pembahasan tentang ideologi di angkot tadi juga masih menarik untuk ku bahas sekarang ini bareng ibu.
“Oh iya Bu, sekarang ini kan maraknya era globalisasi ya, apa itu bisa menjadi ancaman pada sistem ideologi kita?”. Tanyaku pada ibu.
“Sebenarnya yang bisa menentukan apakah itu mengancam atau tidaknya, adalah masyarakat Indonesia sendiri, kalau masyarakat bisa memilah dan memilih mana yang baik dan yang tidak, dan terus menerapkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, itu tidak akan jadi ancaman. Namun realitanya sangat sulit bukan?”. Jawab ibu diakhiri dengan bertanya padaku.
“Bener Bu, sulit banget, apalagi dalam kondisi yang sekarang sedang covid, banyak banget orang yang main sosmed, tidak apa sih main sosmed, asal kota bisa memfilter apa yang seharusnya kita konsumsi dan bukan, apalagi sekarang ini banyak banget kejahatan internet, seperti bullying dan hoax yang merajalela, tentu itu bisa menjadi ancaman untuk bangsa Indonesia”.
Kemudian ibu memberikan sahutan kembali “nah itu dia tugas generasi muda sekarang, harus bisa menjaga dan menerapkan ideologi kita, cita-cita bangsa yaitu Pancasila. Kita bisa bersifat terbuka terhadap dunia luar, namun kita harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik”. Ucap ibu dengan legowonya.
“Belajar juga yang bener, diterapkan ilmunya, jangan cuma paham tapi gak dipake”. Pesan ibu dengan tertawa kecil.
“Siap bos”. Ucapku sambil menghormat. Hari ini banyak banget kejadian yang yang kurang mengenakan, aku juga banyak banget mendapat pengetahuan dan pembelajaran, bahwa kita harus bisa menjadi masyarakat Indonesia yang berbudi pekerti luhur, yang bisa menerapkan nilai-nilai Pancasila, kita harus bisa membersihkan sampah-sampah yang mulai mengotori negri ini, bukan cuma lewat protes tetapi juga kita harus bisa mencontohkan dam memberikan sesuatu yang baik untuk mencapai cita-cita ideologi bangsa Indonesia.

Bagikan Artikel Ini