Beranda » Seni Pertunjukan di Kalangan Kiyai dan Santri dalam Perspektif Syariat Islam

Seni Pertunjukan di Kalangan Kiyai dan Santri dalam Perspektif Syariat Islam

Studi kasus terhadap beberapa pondok pesantren modern di Indonesia, melalui media masa dan media sosial.
PERFORMING ARTS AMONG KYAI AND SANTRI IN THE VIEW OF ISLAMIC LAW

Ridha Wahyu Diani
Program studi Sastra Indonesia, fakultas Sastra, Universitas Pamulang
Kampus Unpam Viktor. Tangerang Selatan, Banten 15310
Ridhawd19@gmail.com

Abstrak
Perspektif para kiyai dan santri mengenai seni pertunjukan tak terlepas dari pro dan kontra, ketentuan dalam seni pertunjukan memang banyak yang bertentangan dengan syariat agama, bila tidak mewajarkan dan mengambil jalan tengah tidak akan dapat beriringan dan meyatu sampai kapanpun. Namun dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan memiliki banyak hal positif di kalangan pondok pesantren terhadap para santri, selain sebagai wadah kreativitas santri, seni pertunjukan juga dapat dijadikan sebagai media dakwah yang lebih mudah tersampaikan. Dengan catatan tetap memegang teguh syariat agama islam.

Abstract
The perspectives of kiyai dan santri regarding performing arts cannot be separated from the pros and cons, there are many provisions in performing arts that are contrary to religious law, if it is not fair and takes the middle way, it will not be able to go hand in hand and unite forever. But it can be concluded that performing arts have many positive things among Islamic boarding school for the students. Apart from being a place for students creativity, performing arts can also be used as a medium of da’wah that is easier to convey. With a note still holding fast to the shari’a of the Islamic religion.

PENDAHULUAN
Seni pertunjukan atau performance art merupakan segala ungkapan kesenian yang memiliki dasar pergelaran langsung di hadapan penonton, yang bukan hanya melibatkan aksi individu melainkan kelompok di tempat dan waktu tertentu. Selain itu ada pula unsur-unsur yang terdapat pada seni pertunjukan, diantaranya ruang dan waktu, tubuh si seniman, serta hubungan seniman dengan penonton. Dalam pertunjukan kesenian, biasanya bukan hanya berkenaan dengan sebatas unsur-unsur estetika saja, melainkan juga terdapat fungsi- fungsi tertentu, seperti keterkaitan dengan fungsi ritual, pendidikan, hiburan, ataupun menjadi sebuah sarana dalam melakukan kritik sosial.
Dalam sejarah perkembangannya, seni pertunjukan sudah ada sebelum kedatangan agama islam di nusantara, masyarakat di pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit merupakan masyarakat yang beradab, telah memiliki bermacam jenis kesenian dan kerap kali mempertunjukannya pada acara-acara tertentu, baik berupa ritual keagamaan, upacara kenegaraan, maupun sebagai hiburan, baik bagi raja dan para punggawa maupun bagi masyarakat umum. Diantaranya merupakan tarian, dan pertunjukan wayang, serta gamelan.
Setelah kedatangan agama islam yang disebarkan melalui wali songo, serta para pedagang islam yang berasal dari Arab dan Gujarat, kesenian daerah mulai mendapatkan pengaruh dari agama islam yang dijadikan sebagai media dakwah para wali songo dalam mengajarkan agama islam. Seperti halnya Sunan Bonang yang menggunakan kesenian bonang dalam gamelan sebagai media dakwah penyebaran agama islam, serta Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang sebagai media dakwahnya.
Masuknya agama islam ke Indonesia, atau pulau Jawa khususnya memaksakan bertemunya agama islam dengan adat setempat yang sangat mendalam dan dicintai oleh masyarakat. Adat ini kental akan ciri seni yang estetik, simbolik, dan hiburan yang dipandu oleh sistem nilai tertentu. Di sisi lain, syiar agama islam pada masa itu masih harus diperkenalkan dengan intensif pada masyarakat jawa. Dengan begitu syiar islam pada saat itu membutuhkan sarana yang efektif tanpa harus merombak sepenuhnya adat dalam kehidupan masyarakat jawa. Contohnya adalah wayang yang dimasuki dan digunakan untuk syiar agama islam tersebut.
Kesenian dalam islam sendiri merupakan suatu ungkapan sikap pengabdian kepada Allah, dengan kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya : (1) seni yang mengungkapkan pandangan hidup umat muslim, (2) seni yang diciptakan desainer muslim, (3) seni yang sesuai dengan bayangan seorang muslim, dan (3) segala bentuk seni yang mengarah pada nilai keislaman. Jenis seni islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kesenian pada umumnya, yaitu meliputi seni rupa, seni musik, seni pertunjukkan, seni sastra, dan seni film/sinema.
Pada hakikatnya agama islam sendiri tidak banyak masuk ke dunia kesenian untuk akhirnya menumbuhkan kaidah-kaidah seni yang khas islam. Satu-satunya yang diatur adalah seni membaca Al-qur’an (qiroah) yang merupakan satu-satunya yang dapat dikatakan tanpa ragu sebagai seni islam. Lantas bagaimana pandangan kiyai dan santri mengenai seni pertunjukan di Indonesia yang tidak dapat dibendung kemajuannya hingga saat ini melalui perspektif islam? Mengingat di Indonesia merupakan negara yang memiliki pondok pesantren yang terbilang banyak dan mengalami kemajuan yang terbilang pesat, yang pengajarannya berlandaskan syariat islam.
Dengan begitu penulis ingin mengkaji lebih dalam kasus yang kerap kali terjadi diantara kesenian di Indonesia dengan pandangan syariat islam, dengan melakukan studi kasus terhadap beberapa pondok pesantren modern di Indonesia, melalui media masa dan media sosial.
METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan metode observasi dan deskripsi kualitatif, dengan mencari kasus dan pernyataan mengenai seni pertunjukan di Indonesia melalui perspektif kiyai dan santri di beberapa pondok pesantren di Indonesia, melalui media masa dan media sosial, serta beberapa sumber referensi berupa jurnal dan artikel ilmiah yang telah ada sebelumnya. Dengan memfokuskan penelitian pada jenis-jenis kesenian yang masuk dan dijadikan kegiatan para santri di pondok pesantren.
PEMBAHASAN
Membicarakan mengenai kesenian dengan pesantren akan membangun paradigm umum bahwa kesenian memiliki pintu sempit. Hal ini berdasarkan atas banyaknya komentar dan keputusan ulama-ulama klasik yang sebagian besar mengharamkan hal itu. Dalam beberapa kitab fikih, komentar tersebut dapat kita temukan. Dengan begitu pesantren atau para kiyai dan santri memiliki produk kesenian yang relatif sempit.
Tentu hal tersebut merupakan pengaruh atau hasil dari sejarah di masa silam, mengapa pesantren memiliki nilai yang mungkin, apabila dibandingkan dengan pandangan publik memiliki nilai yang relatif sempit. Dalam hal ini karena pesantren mengajarkan syariat islam yang kaffah. Mengenai pesantren, kiyai dan santri. Sama saja kita membahas mengenai syariat islam, pesantren sebagai tempat pendidikan khas Indonesia adalah hasil integrasi kultural antara agama dan budaya setempat. Maka di Indonesia, melihat pesantren sama halnya dengan melihat islam secara budaya.
Sebagian ulama dan penafsir memberikan pandangan masing-masing terhadap kesenian, mereka ada yang mendukung ada juga yang menolak, bahkasn terdapat aliran yang menggunakan vonis hukum agama untuk melarang dan memberikan pandangan bahwa kesenian tidak memiliki panggung kebebasan dalam keagamaan. Mereka memberikan pandangan bahwa kesenian dapat memicu timbulnya kelakuan kesyirikan terhadap Tuhan. Asumsi ini didasarkan atas adanya suatu fakta bahwa pada saat kesenian mencapai puncak perkembangannya pada masa dulu, orang Arab pagan menganggap kesenian, khususnya kesenian berupa patung, sebagai berhala atau Tuhan yang patut disembah. Pada masa itu, segala bentuk kreativitas manusia cenderung mengarah pada praktik upacara penyembahan berhala. Bahkan, masyarakat kala itu menganggap hasil kreativitas manusia seperti patung sebagai sesuatu yang patut disucikan. Ia dianggap sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh tersentuh hal-hal kotor.
Lantas bagaimana kesenian dalam pandangan islam? Menurut para kiyai, santri dan penerapannya di pondok pesantren. Kesenian merupakan sesuatu yang menuntut adanya keindahan-keindahan. Dan keindahan yang sifatnya memberikan penghiburan merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia secara universal. Seperti keindahan alam, keindahan suara, keindahan rupa, keindahan kata, dan lain sebagainya. Bahkan dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa seorang mukmin bila mengerjakan sesuatu, diharuskan mengerjakan dengan sebaik dan seindah mungkin. Dalam hadits yang lain juga dijelaskan bahwa Allah itu adalah indah dan akan selalu mencintai keindahan-keindahan.
Seni pertunjukan dalam artian lain adalah seni peran atau teater, sering dianggap oleh sebagian ulama adalah hal yang haram. Sebagian ulama mengharamkan seni teater, dengan landasan “kebohongan/membohongi” sejumlah nama ulama terkenal yang mengharamkan seni teater antara lain syeikh Abdul Aziz bin Baz, Nashiruddin Al Albani, Abdullah Al Ghumari, Ahmad Al Ghumari, Bakar Abu Zaid, Shalih Al Fauzan, dan masih banyak lagi. Sedangkan beberapa ulam yang lain seperti Syeikh Muhammada Rasyid Ridha, Ibnu Jibrin, Ibnu Humaid, Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan Yusuf Qaradhaw membolehkan seni pertunjukan ini dengan persyaratan yang musti dipenuhi. Persyaratan tersebut antara lain, tidak ada sentuhan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, tidak ada lelaki yang menyerupai perempuan dan bahkan sebaliknya. Pada kesimpulannya secara umum banyak yang mengatakan bahwa islam dan seni pertunjukan seperti air dan minyak.
Namun dewasa ini, beberapa kiyai, santri dan pondok pesantren di Indonesia telah menyambut seni pertunjukan sebagai suatu wadah kreativitas santri yang dapat mengembangkan minat dan bakat santri, dengan kutipan pertunjukan yang berlandaskan syariat islam, tidak mengadakan ikhtilat atau percampuran antara santri putra dan santri putri, dengan cerita yang diangkat mengosong tema-tema islami, seperti kisah para nabi, kisah para wali, dan kisah-kisah seputar pondok pesantren. Seperti halnya di pondok pesantren modern Gontor, yang setiap tahunnya selalu mengadakan pentas pertunjukan yang dikenal dengan panggung gembira. Berbagai seni pertunjukkan, semacam puisi, drama, pantomime dan tarian, serta melukis dan kaligrafi, yang merupakan bagian dari seni rupa tidak hanya ditampilkan dihadapan para penikmat pertunjukan, namun para kiyai dan santri beranggapan bahwa kesenian yang mereka lakukan merupakan sebagian dari dakwah, bagian dari syiar islam bagian dari I’lai kalimatillah. Menjadi salah satu cara Gontor menanamkan semangat dakwah dan syiar islam dalam diri para santri. Tak hanya dengan berbicara di atas mimbar ataupun berjuang di medan perang. Namun, melalui dunia seni, para santri dan kiyai dapat berdakwah, berjuang, dan menegakkang agama Allah.
Bukan hanya terdapat pada pondok pesantren modern Gontor, tapi pada beberapa banyak pondok pesantren yang terdapat di Indonesia, baik modern maupun tradisional. Dalam buku berjudul “Islam berkebudayaan: Akar kearifan Tradisi, ketatanegaraan, dan kebangsaan” yang ditulis budayawan Nahdlatul Ulama (NU). M Jadul Maula, dijelaskan bahwa medium peralihan damai dan kesinambungan yang selaras itu ditandai dengan digunakannya seni pertunjukan wayang. Memang, menurutnya, pertunjukan wayang sebagai ritual pemujaan leluhur sudah dikenal orang-orang jawa sejak zaman prasejarah. Namun, para wali kemudian melakukan pembaruan format pertunjukan wayang secara dinamis, estetis, dan fungsional sebagai medium pendidikan masyarakat.
Dengan begitu, pembauran seni pertunjukan atau teater dengan mengikuti karakteristik menyesuaikan syariat islam merupakan hal yang bisa dilakukan, tanpa harus mengurangi estetika seni pertunjukan dan melanggar syariat islam yang dipegang teguh oleh para kiyai dan santri di pondok pesantren.
PENUTUP
Berbagai perspektif islam mengenai seni pertunjukan memang tak terlepas dari segala persoalan yang bersangkutan dengan Syariat Al-Qur’an, Hadits, dan Sunnah. Namun di sisi lain, dalam hukum islam terdapat jam’ul ulama atau pendapat para ulama dan pakar agama mengenai hak dan batil segala hal yang terjadi di tengah masyarakat. Wali songo telah memberikan contoh seni pertunjukan daerah yang dapat dipertunjukan menggunakan nuansa islam, selain itu kesenian juga menjadi salah satu media penyebaran agama Islam di Indonesia. Dengan menggunakan media wayang yang pada hakikatnya diciptakan untuk mengagungkan para dewa, wali songo khususnya Sunan Kalijaga telah berhasil menyatukan kebudayaan setempat dengan agama islam.
Begitu juga dalam pondok pesantren di seluruh Indonesia, perspektif para kiyai dan santri mengenai seni pertunjukan tak terlepas dari pro dan kontra, ketentuan dalam seni pertunjukan memang bertentangan dengan syariat agama, bila tidak mewajarkan dan mengambil jalan tengah tidak akan dapat beriringan dan meyatu sampai kapanpun. Namun dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan memiliki banyak hal positif di kalangan pondok pesantren terhadap para santri, selain sebagai wadah kreativitas santri, seni pertunjukan juga dapat dijadikan sebagai media dakwah yang lebih mudah tersampaikan. Dengan catatan tetap memegang teguh syariat agama islam.

DAFTAR PUSTAKA

Azizi Shofan. 2019. Kesenian Perspektif pesantren. Radarmadura.jawapos.com diakses tgl : 18 Desember 2021
Pojok seni. 2018. Apa hukum seni Teater menurut islam? Pojokseni.com. diakses tgl 16 Desember 2021
Muhyidin dan Nashrullah Nashih. 2021 Wayang dan Islamisasi wali songo menurut peneliti Barat. Republika.co.id. diakses tgl : 18 Desember 2021.

Bagikan Artikel Ini