Beranda » Seba Baduy Kebudayaan Kabupaten Lebak

Seba Baduy Kebudayaan Kabupaten Lebak

Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Banten, memiliki luas wilayah mencapai 330.507,16 hektar atau sekitar 3.305,07 km². Luas wilayah Kabupaten Lebak ini mencapai kurang lebih 34,20% dari luas Provinsi Banten.
Kabupaten Lebak dengan Budaya Sunda Lebak memiliki keragaman budaya yang berbeda dengan wilayah lain di Provinsi Banten dan memiliki kekhasan dalam budaya dan tradisi. Keberadaan masyarakat Suku Baduy yang menjadikan kekhasan tersendiri dalam budaya dan tradisi di kabupaten Lebak.
Baduy adalah masyarakat adat Sunda yang menghuni Pegunungan Kendeng Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Mereka mengakui bahwa masyarakat Baduy merupakan Slam Sunda Wiwitan (Islam Sunda Cikal-bakal) dan merupakan cikal bakal manusia di dunia yang diberi tugas dari Adam Tunggal untuk meneguhkan aturan Wiwitan (Cikal-bakal) dengan bertapa di mandala (tapa di hutan kesucian), yakni patuh pada aturan awal menjaga dan meneguhkannya.
Pada masyarakat Baduy, pikukuh karuhun diterapkan secara baku dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai adat yang ditetapkan secara resmi dan tersusun serta tersistem pada penanggalan adat Baduy dari mulai bulan Safar (Kapat) awal tahun sampai bulan Katiga akhir tahun. Dari sekian banyak pikukuh karuhun yang berkategori ‘wajib’ dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Sunda Baduy adalah kawalu, ngalaksa, dan séba.
Selesainya ritual Kawalu ditandai dengan ritual selanjutnya yakni Ngalaksa. Upacara ngalaksa adalah upacara lanjutan pasca ritual kawalu atau ngawalu selesai. Bentuk ritual kegiatan upacara ini biasanya diisi dengan kegiatan atau upacara membuat laksa, yakni sejenis makanan adat semacam mie tetapi lebih lebar, atau seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras.
Keterlibatan seluruh warga dalam upacara ini sangatlah penting dari acara adat ini adalah dijadikan sebagai tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy atau dalam dunia modern disebut dengan sensus penduduk, termasuk di dalamnya juga dilakukan penghitungan atas jumlah bayi yang baru lahir maupun janin yang masih dalam kandungan.
Ditabuhnya ketongan lesung sebagai tanda berakhirnya perayaan ngalaksa maka selanjutnya melakukan acara Seba dengan mengunjungi kepala pemerintahan yakni Bupati dan Gubernur Banten dengan membawa hasil pertanian. Ritual perjalanan ini akan menemui bupati dan Gubernur Banten. Pertama, warga Baduy akan mendatangi Bupati Lebak. Di sana nanti akan ada pertemuan atau dalam bahasa Baduy disebut Seba.
Setelah itu, mereka akan ke Kabupaten Pandeglang dan langsung dilanjutkan ke ibu kota provinsi di Serang. Malam puncak Seba akan dilakukan di gedung Pendopo Gubernur Banten.
Seba Baduy merupakan tradisi tahunan yang telah bertahan selama ratusan tahun. Dalam bahasa Baduy “Seba” sendiri berarti seserahan, maka Seba Baduy merupakan tradisi seserahan hasil bumi serta melaporkan berbagai kejadian yang telah berlangsung selama satu tahun terakhir di Suku Baduy kepada Ibu gede dan Bapak gede atau pemerintah setempat yang biasa disebut dengan upeti pada kerajaan, tetapi masyarakat Baduy tidak mengakui adanya istilah ‘upeti’ karena menurut mereka seba adalah merupakan puncak perayaan sebagai pelaksanaan persembahan suci laksa dan hasil bumi lainnya
Seba telah dilakukan pada saat raja Sunda berkuasa, setelah kerajaan Sunda runtuh maka seba dipersembahkan pada Sultan Banten, bupati Serang, Bupati Lebak, Residen Banten, hingga sekarang pada Gubernur.
Pentingnya seba bagi masyarakat Baduy menjadi komitmen yang akan dilaksanakan terus dengan prinsip “Bisi engke dina hiji waktu atawa jaman, seba euweuh nu narima, poma kudu tetep dilaksanakeun sanajan ngan tutunggul jeung dahan sapapan nu nyaksian” (Jika suatu waktu atau pada suatu jaman, seba tidak ada yang mau menerima, tetaplah harus dilaksanakan walaupun hanya tunggul pohon atau sebatang kayu yang menjadi saksinya).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, dengan menghantar hasil bumi (padi yang diolah menjadi laksa, palawija, dan buah-buahan) kepada Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, Bupati Serang, dan Gubernur Banten. Sebelumnya pernah sekali ke Gubernur Jawa Barat di Bandung.
Tradisi Seba tidak terbatas, karena dilakukan baik oleh Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Baduy Luar adalah komunitas Baduy yang sudah lebih terbuka, baik pada informasi maupun teknologi. Sementara Baduy Dalam adalah komunitas Baduy yang tertutup dari dunia luar dan masih memegang teguh adat serta tradisi.
Itu semua merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam karena telah mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kegiatan Seba ini dilakukan tanpa paksaan dari pihak manapun. Masyarakat Baduy berbondong-bondong membawa hasil taninya kepada pemerintah.
“Tradisi-tradisi itu jauh lebih kuat di Baduy Dalam. Tapi, untuk Seba ini, kepercayaan sebagai rasa syukur ini dilakukan oleh Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Mereka percaya bahwa dengan melakukan Seba, lingkungan mereka akan aman,”
Sebelumnya, masyarakat Baduy terlebih dahulu sudah melakukan ritual adat Ngawalu dan Ngalaksa. Ngawalu adalah ritual yang diadakan saat musim panen selama tiga bulan.
Pada saat inilah masyarakat Baduy mengadakan syukuran dengan saling berkunjung ke tetangga dan saudara, bersilaturahmi dan mengirimkan makanan sebagai ucapan rasa syukur.
Sehari sebelum melaksanakan Seba terlebih dahulu berkumpul di kediaman rumah Kepala Desa Kanekes Saija. Upacara seba dilakukan pada waktu bersamaan oleh masyarakat Baduy (dalam dan luar) dengan tata cara yang berbeda. Hal yang membedakannya adalah adanya lalampah yang dilakukan oleh orang Baduy dalam dengan berjalan kaki menuju kota Kabupaten dan Propinsi, sedangkan orang Baduy luar menggunakan kendaraan. Upacara seba terdiri atas seba ageung (seba raya/besar) dan seba leutik (seba kecil).
Berjalan kaki telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Baduy. Baik yang berada di Baduy dalam maupun Baduy luar. Tidak ada kendaraan bermotor yang boleh memasuki pemukiman mereka. Perjalanan antar kampung di atas jalan batu dan tanah yang naik turun, praktis harus ditempuh dengan berjalan kaki. Begitu juga saat bekerja di sawah dan ladang. Mereka tetap berjalan kaki meski tak jarang harus memikul barang bawaan yang berat.
Aktivitas yang melelahkan bagi yang tidak terbiasa. Aturan yang dijalankan Baduy Luar sedikit lebih longgar, mereka boleh menggunakan kendaraan bermotor saat berada di luar kampung. Sementara Baduy Dalam sama sekali tidak diizinkan. Mereka harus tetap berjalan kaki saat harus bepergian ke lokasi yang jauh dari kampung halamannya.
Suku Baduy dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang.
Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu. Selain baju dan kain sarung yang dililitkan, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau handuk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Dengan bekal yang disimpan di dalam kain berwarna putih, mereka bergegas mengawali langkah menuju pemberhentian pertama, yakni Pendopo Kabupaten, Lebak, Rangkasbitung. Jaraknya kurang lebih 39 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama satu setengah jam. Perjalanan membutuhkan fisik yang prima. Apalagi jalan yang ditempuh tidak seluruhnya rata.
Mereka sesekali keluar dari jalan utama. Masuk hutan, naik turun bukit dan lembah, demi memangkas jarak. Setelah Baduy dalam berangkat, giliran peserta dari Baduy luar satu per satu mereka turun gunung sembari membawa hasil bumi. Mengenakan baju adat hitam-hitam dan ikat kepala berwarna biru. Sebelum ke Pendopo Kabupaten Lebak, di Rangkasbitung, rombongan Baduy dalam akan bergabung dengan warga Baduy luar ditempat yang ditentukan.
Penyerahan hasil bumi pada Penggede, baik Ibu Gede maupun Bapak Gede dilakukan secara langsung oleh Urang Kanekes sambil dipimpin oleh ketua adat atau yang disebut sebagai Puun. Penyerahan dilakukan pada Bupati Lebak yang kemudian dilanjutkan ke Gubernur Banten di Serang.
Bagikan Artikel Ini