Beranda » Pesantren Sebagai Tombak Moderasi Beragama

Pesantren Sebagai Tombak Moderasi Beragama

Indonesia adalah negara yang amat banyak menganut Agama Islam dan penduduk muslimnya terbanyak, sehingga menjadi sorotan dari berbagai negara dalam moderasi Agama.

Moderasi Beragama bukanlah antitesis dari Radikalisme atau Terorisme, melainkan cara pandang sikap dan prektek beragama dalam kehidupan bersama dengan cara menguatkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil dan berimbang. Maka dari itu guru dan kyai harus mampu menamkan nilai-nilai moderasi beragama kepada para santrinya.

Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Biasanya mereka menetap di tempat tersebut selesai atau belum dalam masa pendidikannya.

prinsip moderasi beragama adalah memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang. Prinsip inilah yang banyak sekali ditemui dan diajarkan diberbagai pesantren oleh para ustadz dan kiyai.

Harapan dari moderasi beragama adalah, seseorang dapat menjadi pribadi yang tidak ekstrim dan tidak berlebihan dalam menjalankan agama, sebab tidak ada agama manapun yang mengajarkan ekstrimitas.

Dalam sejarah, pesantren diakui sebagai benteng moderasi Islam yang menjunjung tinggi kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai toleransi, damai, dan inklusif. Dalam hal ini Pesantrenlah yang berkontribusi dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pesantren juga berperan besar dalam pembangunan bangsa, termasuk dalam mengawal pemahaman keagamaan masyarakat yang tawassuth atau moderat.

pendidikan model pesantren dapat menjadi jawaban atas meningkatnya semangat masyarakat untuk belajar agama saat ini. Karena fenomena yang ditemui pada masa pandemi ini, meningkatnya gairah belajar agama di masyarakat seringkali tersalurkan melalui pembelajaran lewat internet dan media sosial, yang sulit untuk dipastikan kesesuaian metode pembelajaran, sanad keilmuan, dan kapasitas pengajar agamanya.

Sehingga dalam hal ini, masyarakat hanya akan mengandalkan pemikiran nya dalam memahami agama dengan menelan mentah-mentah karna tidak ada guru yang membimbing nya. Maka, hal ini bisa masuk pada perkataan salah satu ulama bahwa “barang siapa yang tidak ada guru nya maka guru nya adalah syaitan”.

Sebenar nya Pembelajaran agama yang keliru terbukti berpengaruh pada munculnya eksklusivisme beragama dan intoleransi, yang berpotensi konflik di tengah masyarakat, serta mengancam kesatuan bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan. Saya meyakini bahwa pesantren adalah tombak utama dalam mengawal moderasi beragama.

Mengapa peantren menjadi sorotan dalam moderasi, karena dalam hal ini moderasi beragama tidak akan dapat tercipta tanpa prinsip adil dan berimbang. Dan prinsip seperti ini yang selama ratusan tahun diajarkan di lingkungan pesantren oleh para kiyai.

Dan didalam pesantren juga diajarkan nilai-nilai moderasi yakni islam wasathiyah, atau Islam tengahan, sesungguhnya ini menjadi solusi antara dua ekstremitas beragama.

Ekstrimitas beragama yang bersumber dari tafsir agama yang tekstualis literer dan hanya berdasar pada dhohir nash. Sehingga, menyebabkan pemahaman agama yang sempit, yang pada titik tertentu dapat membenarkan kekerasan dan kebencian atas nama agama. Dan ekstremitas agama yang ingin melepaskan diri dari teks-teks agama dan mengarah pada pemahaman agama yang bebas dan liberal tidak sesuai dengan apa yang di inginkan Al Qur’an dan hadis. Sehingga mengakibatkan panatik yang mendeklarasikan diri sebagai orang yang paling benar selain nya salah.

Dalam hal ini, peran pesantren dalam bermoderasi agama diharapkan mampu melindungi masyarakat dari arus gelombang radikalisme, liberalisme dan hal-hal negatif lainnya yang mengancam negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), sehingga pesantren diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu mengembangkan dan menanamkan sikap adil dan pertengahan dan kebangsaan kepada para santrinya.

Pemerintah meyakini, bahwa pengetahuan agama Islam secara menyeluruh dan mendalam yang adil dan berimbang, banyak bermula dari tradisi pembelajaran di pesantren, fakta yang kita lihat dijaman sekarang ini banyak masyarakat yang menilai bahwa anak pesantren masadepan nya suram. Sehingga anak-anak nya buta akan agama, dan tenggelam dalam pergaulan bebas yang akan memicu kekerasan.

Oleh sebab itu, kami mengajak bapak ibu, dan seluruh masyarakat untuk memasyarakatkan dan memelihara Islam wasathiyah, dengan memasukkan anak bangsa kita kepesantren, yang merupakan solusi paling tepat menghadapi kemajemukan bangsa. Sebab bangsa bisa maju dan mundur tergantung pada pemudanya.

Bilamana pemudanya bobrok, bejat, kriminal, dan radika. Maka bisajadi dimasa yang akan datang, negara kesatuan ini bisa hancur lebur. Sebab salah satu ulama mengatakan “Pemuda dimasa sekarang adalah pemimpin dimasa yang akan datang”

Mayoritas masyarakat beranggapan bahwa santri paling ujung-ujung nya hanya jadi ustadz saja. Perlu kita ketahui, santri tidak hanya diajarkan pendidikan agama saja, tapi juga dididik untuk mengembangkan karakter yang mandiri, berani, dan terbuka.

Dan santri juga bisa jadi apa saja, termasuk Presiden, Wakil Presiden, ilmuwan, dokter, advokat, dan tentunya ulama. Minimal, santri menjadi pribadi yang memahami ilmu agama untuk berkontribusi positif dalam perbaikan dan peningkatan kualitas hidup bangsa dan negara secara berkelanjutan.

Subki

Mahasiswa UIN Ciputat Jakarta

Bagikan Artikel Ini