Beranda » Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Benarkah?

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Benarkah?

Ilustrasi - foto Dokumentasi Penulis

Oleh : Fridakhul Jannah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Untirta

Kehidupan politik Indonesia dalam hal pemerintahan telah mengalami beberapa kali perubahan yang dipimpin oleh pemimpin dari berbagai kalangan. Pada setiap masa pemerintahan tersebut dijalankan banyak perbedaan dalam kepempimpinan karena setiap pemimpin memiliki karakteristiknya masing-masing.

Jika berbicara mengenai dinamika politik di Indonesia pasti sangatlah luas dan tidak terbatas oleh unsur apapun karena kehidupan dalam berpolitik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam hal pemerintahan, dinamika politik di Indonesia pasti memiliki tujuan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan berupaya untuk mengetahui berbagai macam perubahan atau karakteristik kepemimpinan dari yang terdahulu hingga saat ini.

Akan tetapi, tujuan tersebut belum sepenuhnya terlaksana. Kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya masih banyak yang belum terpenuhi, bagaimana bisa dikatakan mewujudkan kehidupan yang lebih baik jika hanya para elit politik saja yang hidup berkecukupan?

Adanya desakan kebutuhan internal maupun eksternal sebuah kelompok yang terorganisir merupakan dampak dari interaksi masyarakat yang kemudian mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja dan pada akhirnya akan memberikan perubahan pada sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Perubahan sikap perilaku tersebut dapat kita lihat seperti pada saat para calon dari partai politik yang mengadakan kampanye dengan memberikan janji-janji kepada masyarakat yang akan dilaksanakan apabila mereka terpilih, masyarakat termakan janji-janji yang dikatakan itu dan kemudian memberikan hak suaranya untuk memilih calon tersebut. Akan tetapi, ketika calon tersebut menang dan kemudian terpilih untuk memegang jabatan, mereka lupa akan janji-janji yang diberikan kepada masyarakat yang akhirnya tidak dipenuhi.

Hal tersebut sangat egois, mereka hanya memikirkan kepentingannya tanpa menghiraukan masyarakat yang telah memberikan kepercayaannya untuk menjadikannya sebagai pemimpin dengan harapan dapat merealisasikan aspirasi rakyat. Ketika hal tersebut terjadi pastinya akan membuat masyarakat marah dan merasa dikhianati tetapi apa boleh buat, kedudukan hanya sebagai rakyat tidak dapat mengubah sistem politik yang sangat luas karena politik tidak pernah memberikan ruang untuk mereka yang miskin.

Kembali kepada keadaan politik Indonesia di masa pandemi sekarang, diberlakukannya peraturan-peraturan pembatasan kegiatan masyarakat seperti PPKM ataupun PSBB membuat sebagian orang harus rela kehilangan pekerjaannya yang kemudian berdampak terhadap kebutuhan ekonominya untuk menghidupi keluarga. Kemudian adanya bantuan sosial penanganan pandemi memunculkan harapan baru untuk masyarakat yang terdampak pandemi ini, berharap mendapatkan bansos setidaknya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan saja sudah sangat membantu. Akan tetapi, bukan Indonesia apabila tidak ada yang namanya korupsi.

Ya memang bansos tersebut sampai kepada tangan masyarakat tetapi dengan adanya fee dari setiap paket bansos yang terima. Dibagikan melalui ketua RT dengan diminta uang sebesar Rp 10.000 per paket sembako, masyarakat yang sudah sangat kepepet mau tidak mau harus memenuhi hal tersebut demi mendapatkan sembako. Tidak sedikit yang berpikir kenapa untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah kita harus bayar? Tetapi ada pula yang berpikir tidak apa hanya membayar sedikit tapi bisa mendapatkan sembako yang lumayan banyak, tidak begitu rugi. Ternyata dibalik alasan adanya pemungutan biaya tersebut, ada dalang yang sudah mengaturnya, seorang anggota menteri sosial, Juliari Batubara yang kemudian menunjuk dua orang rekannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk mengatur skenario tersebut.

Cara korupsi yang terbilang apik tersebut membuat kasusnya baru terungkap setelah pelaksaan pembagian bansos sudah berjalan selama 2 periode. Dalam 2 periode tersebut, menurut KPK total uang suap yang diterima oleh Juliari sebesar 17 miliar yang kemudian diduga digunakan untuk keperluan pribadinya. Setelah menjalani penyidikan, Juliari dijatuhkan vonis 11 tahun penjara oleh Jaksa. Akan tetapi, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat memberikan vonis satu tahun lebih lama dari tuntutan Jaksa yaitu 12 tahun penjara.

Hukuman hakim dinilai lebih ringan daripada hukuman maksimal yaitu 20 tahun penjara karena Juliari dianggap sudah cukup menderita dimaki dan dihina oleh masyarakat. Padahal sebelumnya ketua KPK, Firli Bahuri, pernah menyatakan bahwa adanya hukuman mati untuk kasus korupsi anggaran penanganan bencana termasuk pandemi saat ini. Firli mengatakan bahwa yang menjadi prioritas KPK saat pandemi ini adalah penyelamatan jiwa manusia. Dapat kita lihat bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada Juliari sangat bertolak belakang dengan penyataan tersebut sehingga makian dan hinaan yang diterima oleh Juliari tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat yang terdampak dari tindakan yang ia lakukan.

Dari kasus tersebut, dapat kita lihat bahwa masih banyak pejabat yang melupakan tanggung jawabnya dalam sitem pemerintahan. Mereka memanfaatkan jabatannya untuk memenuhi kebutuhan pribadi tanpa memikirkan masyarakat. Jika pemerintah tidak menegakkan hukuman bagi para koruptor dan pelanggar hukum yang lain, maka sikap tersebut sangat berbahaya bagi keberlangsungan dinamika politik dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang dapat menimbulkan kekacauan.

Kemudian adanya ketidakadilan pemberian hukuman di Indonesia juga menurut saya sangat buruk. Adanya fasilitas mewah di penjara yang diberikan kepada narapidana tindak korupsi sangatlah tidak masuk akal. Bagaimana bisa mereka yang mengambil uang rakyat dan mengkhianati negara bukannya diberikan hukuman yang setimpal tetapi malah diberikan fasilitas mewah bak hotel dengan ruangan ber-AC dan kamar mandi yang nyaman. Tidak habis pikir, kalau seperti itu banyak orang yang ingin dipenjara bukan? Lebih nyaman daripada di rumah hanya dengan kipas angin. Berbanding terbalik dengan kasus sepele seperti pencurian segenggam merica yang dilakukan oleh seorang kakek di Sinjai Sulawesi Selatan. Menurut informasi yang saya baca, kakek tersebut mengatakan bahwa ia berada di kebun itu hanya untuk mengambil pakan ternak bukan untuk mencuri merica, pemilik kebun pun juga tidak mempermasalahkan apabila mericanya dicuri tetapi mengapa tetap dijatuhkan hukuman?.

Hanya karena segenggam merica dapat menghantarkan kakek tersebut ke penjara selama 5 tahun. Wow hebat sekali Indonesia. Bisa kita lihat kan bagaimana keadilan yang ada di Indonesia ini, mereka yang berduit dan memiliki jabatan walaupun melakukan tindak kejahatan mencuri uang miliaran rupiah bahkan triliunan yang sudah terbukti malah lebih enak daripada hal sepele yang belum tentu benar adanya. Karena apa? Ya karena politik tidak pernah memberikan ruang kepada orang miskin. Kita kaya, kita jaya. Kita miskin, tidak ada keadilan. Seperti itulah keadaan politik yang ada di Tanah Air tercinta, Indonesia.

Setelah membahas beberapa persoalan politik yang ada, menurut saya sistem pemerintahan dan juga para pemimpinnya sudah terbilang kacau, mulai melenceng dari ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Sebenarnya masih banyak permasalahan-permasalahan politik yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Maka dari itu, sistem pemerintahan di Indonesia ini harus diubah, sistem pemerintahan dapat berubah apabila para pemimpin itu sendiri yang mengubahnya. Sudahi kekacauan negeri ini, bangkitlah para pemimpin yang bijaksana, wujudkan Indonesia yang adil untuk siapapun tanpa pandang bulu.

(***)

Bagikan Artikel Ini