Beranda » Dampak Buruk keberadaannya Toxic Masculinity

Dampak Buruk keberadaannya Toxic Masculinity

“Jadi laki-laki kok sensitif, kayak perempuan saja” ungkapan tersebut merupakan sebuah sindiran yang sudah mengakar di dalam memandang laki-laki. Alasan tersebut telah dikontruksi sejak dahulu hingga sekarang. Pemikiran bahwa laki-laki itu harus kuat diinterpretasikan melalui tindakan-tindakan sosial, sehingga hal tersebut menjadi dogma di dalam cara memandang laki-laki.

Pada dasarnya manusia diciptakan sebagai entitas yang setara, baik secara sosial maupun kebebasan berekspresi. Maka dari itu kita sebagai makhluk sosial tidak harus ikut mencampuri tentang perbedaan berekspresi, karena hal itu menyangkut kesenangan individu masing-masing. Banyak di luar sana yang memarjinalkan perkataan bahwa “laki-laki itu jangan menangis, laki-laki kenapa pakai baju merah muda, lama benar kayak perempuan.” Semua kata-kata ini sering terjadi pada suatu realitas kehidupan, baik di media sosial maupun di lingkungan sekitar kita.

Fenomena ini berawal dari kita kecil, kita diajarkan oleh orang tua untuk menjadi laki-laki sejati, laki-laki yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, dan tidak lemah atau tidak boleh meluapkan emosi seperti menangis, cerewet, selalu membawa perasaan, yang biasa dialami oleh perempuan.

Sebagai contoh ketika ada seorang anak kecil yang sedang berlari kemudian terjatuh, lantas biasanya sang ayah atau ibu sering melontarkan kata-kata “ayo bangun jangan menangis, laki-laki tidak boleh menangis ya.” Contoh lain ketika sang anak laki-laki sedang bermain masak-masakan dengan teman perempuannya, biasanya sang ayah atau ibu yang tidak suka akan berkata “mengapa main masak-masakan dengan perempuan? Lebih baik main tentara-tentaraan dengan teman laki-laki.”

Dalam hal itu terdapat buruk dalam kebebasan bereskpresi, dampak buruknya mereka akan tidak mudah berekspresi, bersosialisasi, dan lebih buruknya lagi akan timbul perasaan buruk terhadap perempuan. Mereka akan menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kejadian ini memunculkan kasus yang disebut sebagai Toxic Masculinity.

Menurut Urbandictionary, Toxic Masculinity merupakan istilah yang menggambarkan jenis gagasan sempit tentang peran gender laki-laki, terhadap sifat maskulin yang dilebih-lebihkan, seperti emosional, kekerasan, dan agresif secara seksual. Untuk menghindari hal ini perlu perubahan besar-besaran dalam kesadaran bersama, dengan menganggap bahwa Toxic Masculinity ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental dari seseorang yang mengalaminya.

Toxic Masculinity tidak dibenarkan keberadaannya, karena dapat berdampak buruk kepada psikologi seseorang yang mengalaminya. Saya kurang setuju dengan hal ini, karena saya menyadari bahwa semua orang punya hak untuk berekspresi. Sebenarnya hal ini berada di luar kendali kita, kita tidak bisa memaksa pendapat kita dengan pendapat orang lain itu sama.

Bayangkan jika seseorang melakukan perbuatan Toxic Masculinity, lantas apa yang akan dilakukan si korban? Bisa jadi mereka akan melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka alami sebelumnya. Hal ini sangat buruk dalam kehidupan, karena akan timbul permasalahan gender antara laki-laki dan perempuan.

Sebaiknya kita harus menghindari Toxic Masculinity, dengan tidak memaksa kehendak seseorang, jangan sampai menyudutkan si korban hingga terkena psikologinya. Selama mereka tidak merugikan kita dan dirinya sendiri, biarlah mereka berekspresi menurut kesenangannya masing-masing.

Bagikan Artikel Ini