Proses produksi dengan metode non-thermal sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam pengolahan susu. Penemuan metode alternatif yang tidak menggunakan panas dianggap selaras dengan gagasan sustainable environment yang mengedepankan penghematan energi untuk keberlanjutan ekosistem. Hal tersebut didukung dengan munculnya keinginan konsumen untuk mendapatkan minimally process food dengan asumsi semakin mendekati karakteristik alami suatu pangan maka akan semakin sehat. Munculnya inovasi pengolahan non-thermal dipicu oleh penggunaan energi yang besar pada pengolahan thermal yang dilakukan industri. Sedangkan dari sisi konsumen mungkin dilatarbelakangi pengalaman dalam menyantap produk olahan susu dengan pemanasan yang memiliki flavour seperti hangus dan warna agak gelap yang disebabkan reaksi Maillard. Disisi lain risiko nutrisi dalam susu yang sensitif terhadap panas hilang selama proses produksi juga besar. Apa itu ultrasonikasi dan bagaimana aplikasinya pada pengolahan susu? Beberapa metode non-thermal yang sudah diaplikasikan pada pengolahan pangan antara lain : High Pressure Processing (HPP), Pulsed Electric Field (PEF), ultrasonikasi, ohmic heating dan microwave heating. Diantara metode-metode tersebut, ultrasonikasi mendapat perhatian lebih dikarenakan kemudahan dalam penggunannya, bersifat non-toxic dan lebih ramah lingkungan. Faktor ramah lingkungan yang dimaksud adalah dibandingkan dengan metode microwave, sinar gamma dan PEF yang dapat memberikan efek samping bagi populasi. Istilah ultrasonik merujuk pada frekuensi gelombang diatas threshold pendengaran manusia (>16 kHz). Gelombang yang digunakan dalam pengolahan susu adalah low-frequency high-power ultrasound dengan frekuensi 20-100 kHz. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa frekuensi tersebut dapat menghasilkan intensitas daya >1 W/cm2 yang dianggap cukup dan sesuai untuk pengolahan pangan liquid yang kompleks seperti susu. Gelombang ultrasonik pada frekuensi 20 kHz mampu menimbulkan cavitation effect, yaitu terbentuknya gelembung akibat gelombang pada medium liquid. Gelembung akan bertambah besar seiring bertambahnya siklus gelombang ultrasonik yang dialirkan hingga akhirnya pecah. Seketika akan terjadi kenaikan suhu dan tekanan secara drastis pada sekitar gelembung. Selanjutnya terbentuk gelombang mikro dan getaran yang menimbulkan gaya gesek yang besar. Acoustic cavitation atau siklus pembentukan hingga pecahnya gelembung selama ultrasonikasi memberi dampak perubahan fisikokimia dan mikrobial pada susu. Gaya gesek akibat pecahnya cavitation bubbles menyebabkan penurunan ukuran partikel kasein dan pemecahan agregat whey protein. Selain itu juga terjadi pengecilan globular lemak dan terbentuk emulsi lebih baik pada susu. Peningkatan suhu ekstrem secara lokal juga dapat menghasilkan radikal bebas yang memberi efek lethal pada mikroba tanpa perlu perlakuan panas. Secara keseluruhan akan diperoleh produk susu dengan kestabilan lebih baik selama masa penyimpanan tanpa ada kehilangan nutrisi yang terkandung. Tidak hanya itu, ultrasonikasi juga mengoptimalkan pengolahan free-lactose milk bagi penderita lactose intolerant. Pemisahan laktosa dari susu dapat memanfaatkan metode sonokristalisasi yaitu perpaduan ultrasonikasi dengan kristalisasi pada proses spray drying. Berdasarkan penelitian Bund dan Pandit (2007) Persentase recovery laktosa dapat mencapai 91% dibandingkan tanpa ultrasonikasi hanya sebesar 14% setelah 5 menit proses sonokristalisasi. Aplikasi ultrasonikasi tidak terbatas pada produk susu saja, namun bisa diterapkan pada pangan liquid lainnya. Penelitian lebih lanjut tentang pengaruh ultrasonikasi terhadap karakteristik pangan perlu dilakukan. Pengenalan terhadap kelebihan dari metode pengolahan alternatif ini juga perlu ditingkatkan agar proses produksi ramah lingkungan dapat dijangkau masyarakat secara luas kedepannya. Selain itu, dengan pengenalan metode selain pemanasan konvensional akan tercipta kesadaran penghematan energi dan diversifikasi dalam konsumsi pangan. Daftar Pustaka Bund, R.K. and Pandit, A.B., 2007. Sonocrystallization: effect on lactose recovery and crystal habit. Ultrasonics sonochemistry, 14(2), pp.143-152. Chandrapala, J. and Leong, T., 2015. Ultrasonic processing for dairy applications: Recent advances. Food Engineering Reviews, 7(2), pp.143-158. Sutariya, S., Sunkesula, V., Kumar, R. and Shah, K., 2018. Emerging applications of ultrasonication and cavitation in dairy industry: a review. Cogent Food & Agriculture, 4(1), p.1549187. Yang, J., Yang, M., Qin, J., Zeng, Q., Wang, Y. and Han, N., 2020. Effect of ultrasound on the structural characteristics of fresh skim milk. Food Science and Technology International, 26(3), pp.222-230.
Bahan pangan saat pasca panen pada dasarnya memiliki sifat mudah rusak yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Kegiatan pengolahan sederhana, distribusi dan penyimpanan dapat memicu kerusakan berupa kebusukan. Adanya kebusukan biasanya disertai dengan beberapa tanda seperti perubahan warna, bentuk, rasa dan pH. Atas dasar inilah pengembangan kemasan yang selain dapat melindungi tetapi juga bisa menunjukkan kesegaran pangan mulai dilakukan. Kemasan pangan dengan indikator pH memberikan kemudahan bagi konsumen dalam memilih suatu produk dengan memberikan informasi real-time terkait pH pangan. Inovasi semacam ini telah dilakukan pada berbagai jenis pangan padat yang didinginkan atau dibekukan, seafood, daging dan buah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kemasan pintar seperti ini juga bisa diaplikasikan pada pangan cair seperti susu dan olahannya. Susu merupakan jenis bahan pangan hewani yang berasal dari hewan mamalia memamah biak seperti sapi, kerbau, kuda, kambing dan unta. Kandungan nutrisi yang terdapat dalam susu segar antara lain yaitu protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, kalsium sebagai mineral yang paling banyak diperlukan untuk membantu pertumbuhan tulang juga dapat diperoleh dari susu. Nilai gizi yang terdapat dalam susu selain bermanfaat juga menjadikan susu sebagai bahan pangan yang bersifat perishable. Hal ini dikarenakan nutrisi dalam susu dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme baik yang menguntungkan maupun merugikan. Apabila tidak segera ditangani dengan baik setelah pemerahan maka kemungkinan susu menjadi rusak dan terjadi penurunan pH sangat besar. Penanganan yang umum yaitu dengan cara pasteurisasi sesuai SNI 01-3951-1995 adalah susu dipanaskan dengan suhu 72oC minimal selama 15 detik atau pemanasan dengan suhu 63-66oC selama 30 menit, kemudian lakukan cooling shock pada suhu 10oC dan disimpan pada suhu maksimum 4,4oC. Meskipun telah melalui pengolahan, selama distribusi dan penyimpanan masih dimungkinkan terjadi kerusakan pada produk. Maka dari itu pengembangan dan aplikasi indikator film pada kemasan susu dapat bermanfaat dalam kontrol kualitas produk dalam kemasan. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengkombinasikan kemasan pintar adalah pemilihan bahan pembentuk film dengan standar food grade serta memiliki ketahanan mekanik yang baik. Bahan penyusun polimer film yang sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian antara lain : kitosan, PVA, pati, tepung cangkang telur dan lain-lain. Agar diperoleh kekuatan mekanik film yang baik, biasanya dilakukan kombinasi dari dua bahan atau lebih. Dapat pula ditambahkan plasticizer untuk mendapatkan karakteristik yang diinginkan. Zat aktif sebagai indikator pH dapat berupa zat sintetik seperti bromtimol blue akan tetapi muncul kekhawatiran apabila zat tersebut bersifat racun apabila bersentuhan dengan bahan pangan. Maka dari itu pemilihan zat aktif alami dapat menjadi alternatif. Zat aktif alami yang sering digunakan sebagai indikator pH adalah antosianin. Zat warna antosianin dapat ditemukan pada sebagian besar buah dan sayur dengan karakteristik yang berbeda-beda sesuai. Antosianin dari bunga telang akhir-akhir ini telah mencuri perhatian karena tidak seperti pada umumnya, warna dasarnya adalah biru dan memiliki cakupan warna yang bervariasi pada tiap pH 5. Sifat ini memudahkan dalam mengenali adanya perubahan kesegaran bahan pangan karena antosianin bunga telang akan memberi warna berbeda pada setiap rentang pH yang mempengaruhinya. Berdasarkan uraian diatas sangat dimungkinkan apabila film indikator diaplikasikan pada produk susu komersil di Indonesia. Agar hal itu terwujud perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenaik keefektifan dan metode terbaik dalam pengembangannya. Referensi : Hidayati, N.A., M. W. Wijaya, V. P. Bintoro, S. Mulyani dan Y. Pratama. 2021. Development of biodegradable smart packaging from chitosan, polyvinyl alcohol (PVA) and butterfly pea flower’s (Clitoria ternatea L.) anthocyanin extract. Journal Food Research. 5(3): 307-314. Liu, J., H. Wang, M. Guo, L. Li, M. Chen, S. Jiang, X. Li dan S. Jiang. 2019. Extract from Lycium ruthenicum Murr. Incorporating κ-carrageenan colorimetric film with a wide pH–sensing range for food freshness monitoring. Journal Food Hydrocolloids. 94: 1-10. Sholikah, N., A. A. Mufid, A. S. Bachrul, T. R. Hidayat dan Y. Yoga. 2021. Pengolahan Susu Sapi menjadi Susu Pasteurisasi untuk Meningkatkan Nilai Susu dan Daya Jual. Jurnal Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (JP2M). 2(1): 75-79. Octavia, S.A. 2015. Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap perilaku konsumsi susu pada remaja. Jurnal Majority. 4(8): 89-92. Pereira Jr, V.A., I. N. Q. de Arruda dan R. Stefani. 2015. Active chitosan/PVA films with anthocyanins from Brassica oleraceae (Red Cabbage) as Time–Temperature Indicators for application in intelligent food packaging. Journal Food Hydrocolloids. 43: 180-188. Retnowati, A., A. H. Utari, M. D. Andriani, H. Anisatun dan A. Riandi. 2018. KIVFA-6 Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Listeria monocytogenes pada Susu Sapi di Wilayah Pulau Jawa Kegiatan Pengawasan dan Monitoring Produk Pangan Tahun 2016-2017. Dalam : Proceedings of the 20th FAVA & the 15th KIVNAS PDHI 2018. Bali, 1-3 November 2018. Saptarini, N.M., D. Suryasaputra dan H. Nurmalia. 2015. Application of butterfly Pea (Clitoria ternatea Linn) extract as an indicator of acid-base titration. Journal of Chemical and Pharmaeutical Research. 7(2): 275-280.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya, tak terkecuali budaya kuliner. Ada beragam pangan khas daerah dengan keunikannya masing-masing. Akan tetapi keberadaan pangan lokal tersebut masih kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan menjadi ikon daerah. Tantangan utamanya adalah masa simpan pangan tradisional yang pendek. Selain itu pengemasannya yang masih sederhana cenderung kurang menarik minat konsumen. Akibat hal tersebut, dikhawatirkan produk dalam negeri kurang bisa bersaing di Revolusi Industri 4.0. Sebagai salah satu solusi dari masalah tersebut adalah penerapan sistem STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts and Mathematics) pada pengolahan pangan tradisional. STEAM bukanlah pengelompokkan disiplin ilmu, melainkan suatu sistem yang terintegrasi dari bidang-bidang tersebut. Diharapkan STEAM memicu adanya kerja sama dari berbagai bidang studi dan memungkinkan penyelesaian masalah dari berbagai aspek. Jika hal ini tercapai, maka inovasi pangan tradisional untuk menghadapi tantangan masa depan dapat terwujud. Penyelesaian masalah pangan masa depan dengan sistem STEAM yang menekankan aspek Art dapat memberi pandangan yang lebih luas dalam pencarian solusi. Aspek Art tidak hanya terbatas pada karya seni untuk dinikmati, namun juga bisa diartikan sebagai bentuk kejelian dalam mencari solusi dari suatu permasalahan. Inovasi pangan tradisional dari aspek Art dapat diterapkan pada pengolahan pangan. Sebagai contoh yaitu penambahan variasi warna, rasa dan bentuk yang berbeda dari pangan tradisional pada umumnya. Penambahan bahan-bahan yang bisa memperpanjang masa simpan pangan yang diperbolehkan BPOM juga dapat dilakukan. Namun sesungguhnya lebih mudah melakukan inovasi pada kemasan pangan dibandingkan pada proses pengolahan. Apabila terdapat perubahan pada proses pengolahan atau bahan yang digunakan, diperlukan uji kesukaan konsumen terkait perubahan rasa dan penampilan bahkan hingga uji masa simpan. Jika dilakukan perubahan pada kemasan tidak banyak pengujian pra-pemasaran yang perlu dilakukan. Sehingga tahap distribusi produk ke pasaran dapat dilakukan secepat mungkin. Pemberian kemasan yang lebih menjamin keamanan produk dapat menjadi langkah meningkatkan nilai pangan tradisional. Bila biasanya pangan tradisional hanya dikemas dengan daun pisang atau plastik seadanya, pemberian kemasan yang lebih tertutup bahkan kemasan sekunder juga dapat dilakukan. Aspek Art dapat diterapkan pada desain kemasan dengan warna dan logo khas sehingga mempermudah identifikasi produk di pasaran. Inovasi dapat berupa perbaikan warna serta bentuk kemasan. Jika bentuk kemasan sekunder hanya kardus balok dapat ditingkatkan menjadi segi enam atau segi tiga untuk varian rasa lain. Langkah ini merupakan inovasi tercepat dan tersederhana yang dapat dilakukan pada semua skala produksi terutama pada produk rintisan untuk mengangkat pangan tradisional. Contoh penerapannya dapat dilihat pada produk Jenang Mubarok yang tidak hanya melakukan inovasi soal rasa, tetapi juga kemasan. Jenang tetap dikemas dengan plastik sebagai kemasan primer. Kemudian diberi kemasan sekunder berupa kardus untuk meningkatkan keamanan produk. Inovasi pada kemasan terkesan sederhana, namun sudah sangat membantu dalam distribusi produk ke luar kota Kudus sehingga dapat menjangkau konsumen yang lebih luas. Inovasi kemasan juga dapat berupa smart packaging. Smart packaging merupakan inovasi yang sangat berkaitan dengan isu pangan masa depan. Hal ini muncul dari kesadaran akan banyaknya kerusakan pangan yang belum sempat terdeteksi. Akibatnya banyak pangan tidak layak konsumsi yang dapat mengancam kesehatan atau menjadi limbah. Inovasi ini sesuai dengan sifat pangan lokal yang kebanyakan memiliki masa simpan pendek. Inovasi pangan tradisional dengan menerapkan STEAM dengan berfokus pada aspek Art dapat menjadi solusi isu pangan masa depan. Dengan begitu nilai-nilai lokal dapat dikenal lebih luas, menjadi daya tarik bagi wisatawan dan meningkatkan pendapatan negara. Pemberian kemasan yang lebih aman dan menarik serta keunikan dari pemberian smart packaging tidak hanya menambah nilai keindahan tetapi juga menjamin keamanan produk hingga sampai ke tangan konsumen.
