Sebelum menganalisis, sebagai pengantar, saya akan memandang penggunaan stile seperti yang dipaparkan Nurgiyantoro (2017:47) bahwa stile dilihat sebagai sesuatu yang membungkus pikiran, perasaan, gagasan, pesan pengalaman atau apa saja yang ingin dikomunikasikan oleh pengarang. Bisa dikatakan, bahwa unsur-unsur yang akan dikaji dalam puisi di atas, adalah sebuah bingkai yang diracik penulis, untuk memberikan kesan pada pembaca, hingga pembaca memahami apa yang ingin disampaikan penulis lewat puisinya. Karena puisi ini memiliki struktur yang tidak biasa seperti kebanyakan struktur puisi lain, maka saya tertarik mengkaji penyiasatan struktur atau disebut juga sarana retorika yang digunakan penulis beserta bentuk permajasannya. Secara bentuk, puisi Berburu Ayat Suci memiliki bentuk seperti paragraf dalam prosa. Jika diamati lebih lanjut, puisi ini berjenis naratif-deskriptif. Puisi ini, memiliki sarana retorika berupa pengontrasan. Nurgiyantoto (2017 :260) memaparkan bahwa pengontrasan ialah suatu bentuk gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara harfiah. Pengontrasan yang dilakukan oleh Danarto sebagai penulis dalam puisi ini berupa Hiperbola. Hiberbola dipaparkan oleh Nurgiyantoro (2017:261) biasanya dipakai jika seseorang ingin melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud menekankan penuturannya. Hal ini tentu dilakukan supaya mendapatkan impresi tentang apa yang dimaksudkan dalam tulisannya-dalam hal ini puisi yang ditulisnya. Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, café, dan warung-warung tegal. Jika membaca secara cermat, apa yang berusaha dideskripsikan oleh penulis, tentu terasa berlebih-lebihan. Unsur hiperbola dalam puisi ini sangat terasa, bagaimana orang digambarkan berbondong berburu ayat-ayat suci dengan Berebut di masjid, pasar, kampus dan sebagainya. Selain terasa digambarkan secara berlebihan, permajasan dalam kalimat Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, café, dan warung-warung tegal juga dapat diidentifikasi menggunakan sinekdoki Totum Pro Parte, karena menyebutkan bagian-bagian yang dimaksudkan tempat umum secara keseluruhan. Dalam penggalan kalimat pada puisi di atas bisa dimaksudkan sebagai keadaan/ fenomena di dalam masyarakat kita, bahwa dalil yang disebut dalam puisi sebagai ayat-ayat suci sedang ramai dicari atau barangkali dibicarakan di tempat umum. Kalimat-kalimat selanjutnya akan menggambarkan lebih lanjut fenomena-fenomena masyarakat–atau dalam konteks pada puisi ini rakyat–beramai-ramai mencari ayat-ayat suci tersebut. Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh. Kembali pada penggalan di atas, penulis mengambarkan keadaan masyarakat sebagai Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, dengan sarana retorika hiperbola, juga dengan majas sinekdoki totum pro parte dengan menyebutkan bagian-bagian dari penggambaran bagaimana perasaan rakyat. Hal itu juga terasa pada, rakyat antre memungut sisa-sisa tiang negara yang roboh. Hiperbola dalam keadaan penggambaran rakyat, dan tiang negara juga diidentifikasi sebagai sinekdoki pars pro toto, dalam penggambaran keseluruhan negara, salah satu unsur di dalam negara yaitu tiang yang berfungsi untuk penyangga negara, digambarkan secara hiperbola pula bahwa tiang itu kini telah roboh. Menurut saya, apa yang penulis sampaikan adalah keadaan masyarakat yang kacau-balau karena hal yang dimaksud tiang negara roboh adalah unsur penyangga dalam sebuah negara telah megalami kehancuran, sehingga dihiperbolakan seakan-akan roboh. O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Penggalan puisi di atas, menggunakan sarana retorika pengkontrasan berupa ironi, sekaligus menggunakan totum pro parte karena menyebutkan berbagai bencana alam, yang kemudian ironinya digambarkan dengan menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Seolah-olah bencana yang disebutkan tadi telah memporak-porandakan tatanan masyarakat, bagaimana pula digambarkan air bersih, sebagai hal yang paling dasar dalam kebutuhan manusia lenyap. Untuk menekankan sebuah ironi dalam puisi ini. Ironi tersebut dilanjutkan dengan gaya sedikit sarkasme yang digambarkan dari penggalan puisi selanjutnya seperti berikut : Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Pada dasarnya, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar sarana retorika, melebih-lebihkan apa yang terjadi, hal itu dibungkus juga dengan menjelaskan ironi dalam penggalan puisi di atas. Bagaimana orang-orang digambarkan bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Selain hiperbola tentang kekacauan yang pada dasarnya ada dalam dimensi mental manusia, penggambaran kekacauan itu menciptakan ironi, yang diperkuat dengan sarkasme dalam kalimat selanjutnya Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Ini merupakan sindiran betapa ayat-ayat suci yang harusnya menjadi penenang batin, dinarasikan digondol maling. Ironinya, padahal ayat-ayat suci tersebut sedang amat dibutuhkan demi memperbaiki kekacauan yang digambarkan sebelumnya. Kekacauan-kekacauan ini, terdapat dalam gambaran-gambaran yang dideskripsikan oleh penulis adalah hiperbola dari kekacauan dimensi tatanan sosial dalam masyarakat. Kemudian penggunaan sarkasme dilanjutkan dalam penggalan berikut : Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais. Sindiran ketidakberadaan ayat-ayat suci yang digondol maling tadi, dilanjutkan dengan penggalan di atas, bagaimana digambarkan bahwa remah-remah dari ayat-ayat suci itu tak tersisa. Bahkan seolah-olah keadaan itu dihiperbolakan dengan Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais. Seakan-akan semua binatang ikut mengais tapi ironinya tak menemukan ayat-ayat suci tersebut. Dalam bait selanjutnya, digunakan kalimat imperatif berupa permintaan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ironi yang berusaha digunakan oleh penulis sebagai sarana retorika. O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami. Bila kita cermati penggalan puisi di atas, terlihat bahwa, penulis juga menggunakan sarkasme sebagai sindiran, tergambar dari O, tolonglah berbagi sedikit, permintaan dalam kalimat tersebut sebagai sudut pandang yang mewakili penderitaan rakyat yang telah kacau balau. Sindiran tersebut seakan-akan menyindir para pengguna ayat suci barangkali yang disebut sebagai pedagang dalam bait sebelumnya, yang memperdagangkan ayat-ayat sucinya sindiran sangat terasa dalam teteskan ayat suci yang kamu dapat untuk haus kami, lapar kami, derita kami. Ini sebuah sindiran seakan-akan ingin memaksudkan sebuah pertanyaan, “apakah dengan ayat suci itu, penderitaan rakyat berupa haus kami, lapar kami, derita kami dapat terselesaikan?” sarkasme kembali dilanjutkan dalam penggalan puisi berikut : Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu? Kalimat interogatif di atas merupakan sarkasme pada sudut pandang orang-orang yang menjual ayat suci. Seolah dalam kalimat tanya Apa urusanku penulis sedang menjelaskan bahwa orang yang menjual ayat-ayat suci itu tidak memiliki urusan / tidak peduli pada penderitaan dan kekacauan yang dirasakan rakyat banyak. Sarkasme juga ironi juga digunakan dalam penggalan berikut : Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah. Apa yang coba penulis maksudkan dalam penggalan puisi di atas? Tentu kita rasakan sedang menyindir seolah-olah ayat-ayat suci tidak berharga dan ditinggalkan begitu saja, pada tempat-tempat seperti bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang sementara, ironinya, rakyat yang menderita memohon uluran tangan Tuhan dalam Tuhan, ulurkan tanganMu. Ironinya, ketidakpedulian orang-orang yang disebut dalam penggalan puisi ini, tergambar dalam penggunaan sarkasme pada kalimat berikut melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah. Meski tidak secara langsung, namun dalam konteks keterkaitan pada sarana retorika yang telah dijabarkan dari bait-bait sebelumnya, maka kita akan terasa sekali sindiran dalam penggalan kalimat dalam puisi di atas. Hal itu masih dilanjutkan penulis hingga akhir puisi. Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka. Dalam penggalan puisi di atas, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar utama sarana retorika dalam menggambarkan keadaan, sekaligus terasa pula sindiran digunakan dalam bentuk sarkasme. Bagaimana keadaan negara digambarkan secara berlebihan dalam reruntuhan negara yang roboh dan penyebutan rakyat kecil dalam penggunaan sinekdoki totum pro parte disebutkan para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, yang kemudian digambarkan secara sarkas saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka. Sekaligus terasa pula sebuah ironi bahwa rakyat dengan kesusahan hidupnya digambarkan mempergunakan ayat-ayat suci yang digambarkan secara sarkas dibagi dan ditukar tambah untuk kemudian menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka. Sumber Gambar : Freepik.com
Barangkali, sudah diketahui bersama, bahwa Mahabharata adalah peristiwa besar yang pernah ada dalam sejarah manusia. Pertempuran yang awalnya adalah kecemburuan / iri dengki antar saudara sedarah, kemudian makin membesar melibatkan banyaknya beberapa sekutu antar kerajaan lain/ dinasti dalam peperangan besar tersebut. Dewasa ini, rupanya memang masih relevan untuk dikaji. Dalam tulisan pada Wikipedia tentang Mahabharata, Secara tradisional, Mahabharata dikarang oleh Kresna Dwaipayana Byasa. Telah banyak upaya membongkar perkembangan sejarah dan komposisinya. Sebagian besar naskah Mahabharata kemungkinan disusun pada abad ke-3 sebelum Masehi hingga abad ke-3 Masehi, dan bagian tertua yang dilestarikan disusun tidak sampai 400 SM. Peristiwa asli yang berhubungan dengan wiracarita tersebut kemungkinan terjadi antara abad ke-9 hingga ke-8 SM. Mahabharata sendiri adalah seloka-seloka yang ditulis untuk turunan Pandawa yang menceritakan tentang peristiwa-peristiwa leluhur mereka. Bila dibandingkan dengan kisah Yusuf misalnya, yang hidup 1745 Sebelum Masehi (SM). Hal tersebut menjadi menarik, karena kisahnya yang pasti jauh lebih dahulu daripada masa dinasti Kuru, notabene adalah nenek moyang atau leluhur mereka yang menarik menjadi bahan kajian yang dapat diambil hikmah atau pelajaran di dalamnya, karena penulis merasa bahwa ada kesamaan yang terulang dalam kedua kisah tersebut. Pada tulisan ini Penulis akan membahas sebuah peristiwa yang menjadi titik permasalahan, pada bagian peristiwa Istana dari Kayu dalam wiracarita Mahabharata ini yang menceritakan sebuah siasat yang digunakan pihak kurawa untuk melenyapkan pihak Pandawa. Siasat tersebut ditulis sebagai “Istana dari Kayu” atau biasa dikenal dalam lakon perwayangan bernama Bale Sigala-gala. Peristiwa ini sebenarnya memang salah satu usaha/siasat dari pihak Kurawa, di antara banyaknya siasat yang kemudian satu-per-satu digunakan untuk menghancurkan pihak Pandawa. Secara plot, kita dapat memahami, bahwa sebuah peristiwa dibangun atas dasar kausalitas atau sebab-akibat. Maka kita mesti mencari sebab dari sebuah peristiwa terjadi. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Staton dan kenny dalam (Nurgiyantoro, 2015:167) yang mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,peristiwa yang di sebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Siasat Istana dari Kayu ini adalah siasat yang sebenarnya direncanakan oleh Sangkuni untuk meredakan keresahan keponakannya yaitu Duryodana. Rencana tersebut adalah membuat sebuah istana dari kayu pada sebuah hutan Waranawata untuk membuat para Pandawa lengah. Digambarkan bahwa, dalam siasat Duryodana, diaturlah agar para senapati Hastina sengaja memuji-muji keindahan Waranawata di hadapan Pandawa. Mereka membisikkan, bahwa di sana akan diadakan upacara pemujaan Batara Shiwa secara besar-besaran. Pandawa sama sekali tidak curiga mendengar semua itu. Lebih-lebih setelah Dritarastra menyuruh mereka mengikuti upacara itu. Mahabharata-Nyoman S. Pendit : 114 -115) Bersama Karna dan Sakuni, ia menyusun rencana untuk membunuh Dewi Kunti dan Pandawa di Waranawata. Pertama-tama mereka mengirimkan Purochana dengan perintah rahasia yang harus dilaksanakan dengan taat dan hati-hati. Jauh sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata, Purochana sudah mendahului pergi ke sana dengan tugas membangun istana peristirahatan untuk Pandawa. Istana itu dibangun dari papan-papan kayu yang diukir indah. Di sudut-sudut tersembunyi disisipkan bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti lak, minyak kental, dan karung kering. Semua perabotannya juga terbuat dari bahanbahan yang mudah terbakar. Penjagaan diatur secara ketat dan rahasia agar Pandawa tidak curiga. Sebelum upacara dilaksanakan, di Waranawata diadakan pesta meriah, lengkap dengan bermacam-macam hiburan dan pertunjukan kesenian. Rencananya, lewat tengah malam, ketika Pandawa tidur pulas kecapekan setelah berpesta, istana itu akan dibakar. Kaurawa akan menyambut Pandawa dengan ramah dan penuh hormat. Jika istana terbakar, rakyat tidak curigabdan mereka menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi tanpa sengaja dan tidak akan melemparkan tuduhan kepada mereka. Tak seorang pun akan menyalahkan Kaurawa, sementara Duryodhana akan puas karena berhasil memusnahkan Pandawa. (Mahabharata-Nyoman S. Pendit : 17-118) Bila kita membandingkan pada peristiwa Yusuf dijual ke tanah Mesir, anak-anak Yakub juga ingin menyingkirkan yusuf dengan membuat siasat membuangnya ke dalam sebuah sumur. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut Ketika Yusuf berjalan ke sana ke mari di padang, bertemulah ia dengan seorang laki-laki, yang bertanya kepadanya: “Apakah yang kaucari?” 37:16 Sahutnya: “Aku mencari saudara-saudaraku. Tolonglah katakan kepadaku di mana mereka menggembalakan kambing domba?” 37:17 Lalu kata orang itu: “Mereka telah berangkat dari sini, sebab telah kudengar mereka berkata: Marilah kita pergi ke Dotan. f ” Maka Yusuf menyusul saudara-saudaranya itu dan didapatinyalah mereka di Dotan. 37:18 Dari jauh ia telah kelihatan kepada mereka. Tetapi sebelum ia dekat pada mereka, mereka telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya. g 37:19 Kata mereka seorang kepada yang lain: “Lihat, tukang mimpi h kita itu datang! 37:20 Sekarang, marilah kita bunuh dia dan kita lemparkan ke dalam salah satu sumur ini, i lalu kita katakan: seekor binatang buas j telah menerkamnya. k Dan kita akan lihat nanti, bagaimana jadinya mimpinya l itu!” 37:21 Ketika Ruben 6 m mendengar hal ini, ia ingin melepaskan Yusuf dari tangan mereka, sebab itu katanya: “Janganlah kita bunuh dia! n ” 37:22 Lagi kata Ruben kepada mereka: “Janganlah tumpahkan darah, lemparkanlah dia ke dalam sumur o yang ada di padang gurun ini, tetapi janganlah apa-apakan dia” –maksudnya hendak melepaskan Yusuf dari tangan mereka dan membawanya kembali kepada ayahnya. p 37:23 Baru saja Yusuf sampai kepada saudara-saudaranya, merekapun menanggalkan jubah Yusuf, jubah maha indah q yang dipakainya itu. 37:24 Dan mereka membawa dia dan melemparkan dia ke dalam sumur. r Sumur itu kosong, tidak berair. 37:25 Dalam cerita Mahabharata, pada awalnya siasat tersebut dibangun atas dasar motivasi yang melatarbelakangi perasaan iri-dengki dari Duryodana sebagai perwakilan pihak Kurawa. Duryodana dan para kurawa semakin dewasa semakin menyadari bahwa, dirinya dan kelompoknya adalah suatu kelompok yang secara kepribadian, kemampuan olah senjata selalu saja kalah oleh para pandawa. Hal ini menjadi-jadi ketika kemudian, rakyat di luar istana selalu memuja-muji para pandawa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut Demikianlah rakyat berbicara di mana-mana. Mendengar semua itu, telinga Duryodhana terasa panas. Hatinya sakit didera rasa iri dan kebencian. Ia menghadap ayah-nya, mengadukan hal itu…… Karena itu, Yudhistiralah yang paling pantas dinobatkan menjadi raja. Hanya Dialah yang akan dapat memerintah wangsa Kuru dan kerajaan ini dengan adil.”(Mahabharata-Nyoman S. Pendit : 114 -115) Hal itu berlanjut pada kutipan selanjutnya. “Ayahanda, sejujurnya hatiku terasa sesak, penuh dendam dan iri hati. Aku tak tahan lagi memendam semua perasaan ini. Aku selalu gelisah, tak enak makan dan tak enak tidur. Semua ini seakan-akan merobek-robek dada-ku. Hidupku terasa penuh siksa dan derita. “Ayahanda, segera kirimlah Pandawa ke Waranawata.VSetelah itu, kita akan menghimpun kekuatan kita.””(Mahabharata-Nyoman S. Pendit : 114 -115) Bila dibandingkan, perasaan dendam, iri dengki sebagai latar belakang permasalahan perselisihan saudara sedarah ini, juga kita akan temukan pada kisah 10 anak-anak Yakub. Seperti kita ketahui, dalam kisah yusuf, kita akan menemukan kesamaan motif sehingga melahirkan siasat para saudaranya dikemudian hari untuk mebuat tipu daya dan membuang Yusuf dalam sumur untuk melenyapkan Yusuf dari kehidupan mereka. Israel lebih sayang kepada Yusuf daripada semua anaknya yang lain,f karena Yusuf lahir ketika dia sudah tua. Israel membuatkan jubah yang sangat bagus* untuknya. Saudara-saudaranya melihat bahwa ayah mereka lebih sayang kepadanya, maka mereka mulai membencinya dan selalu berbicara kasar kepadanya. Setelah itu, dia mendapat mimpi lain, dan dia menceritakan itu kepada saudara-saudaranya, ”Aku mimpi lagi. Kali ini matahari, bulan, dan 11 bintang membungkuk kepadaku.”j Lalu dia menceritakan mimpi itu kepada ayahnya dan saudara-saudaranya, dan ayahnya menegur dia, ”Apa maksudnya mimpi kamu itu? Apa Ayah, ibumu, dan saudara-saudaramu akan sujud kepadamu?” Maka saudara-saudaranya menjadi iri kepadanya,k tapi ayahnya terus mengingat kata-katanya itu. (Kejadian 4-11) Bila kita analisa lebih dalam, apa yang menyebabkan iri dengki tersebut dapat dikarenakan karena para orangtua yang cenderung dinilai tidak adil, dalam kasus Mahabharata, Misalnya diceritakan bahwa Bhisma seakan memang lebih menyayangi para Pandawa karena sifat-sifatnya, Resi Drona diketahui lebih menyayangi Arjuna karena kemahirannya memanah dan keluhuran budinya. Sementara tidak ada tindakan tegas/ ketegasan dari orangtuanya sendiri yakni Dristarasta untuk atau upaya untuk menjelaskan dengan benar pada semua anak-anaknya tentang apa yang dilakukan anak-anaknya adalah hal yang buruk. Bila merujuk apa yang ditulis dalam hellosehat.com mengenai kesehatan mental remaja, yang melansir Journal of youth and adolescence, salah satu dampak yang akan terjadi bila orangtua membanding-bandingkan anak, mungkin saja anak diam-diam akan membenci saudara Ia mungkin berasumsi orangtuanya lebih menyukai dan mencintai anak yang dibandingkannya. Akibatnya, anak akan berperilaku agresif, memicu anak bertengkar, dan menimbulkan kebencian. Kebencian itulah yang bila dibiarkan menjadi konflik yang banyak sekali terjadi pada fenomena dewasa kini. Menurut hal yang penulis alami di kehidupan sehari-hari perlakuan orangtua yang terrkadang pilih kasih atau cenderung membanding-bandingkan sifat anak salah-satu diantara lainnya menjadi penyebab timbulnya kecemburuan di antara saudara.
Menurut Lewis (1976:46) karya sastra dapat didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandanganya, atau kespontanitasannya. Di dalam Puisi Sendiri, Chairil menulis secara gamblang tentang apa yang dirasakannya. Dalam ‘Hidupnya tambah sepi, tambah hampa Malam apa lagi dalam Ia memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnya’, terasa bahwa ia membawakan perasaannya sendiri sebagai seseorang merasakan kesepian yang mendalam. Chairil lewat puisinya telah seolah-olah mengajak pembaca merasakan kegelisahan hidupnya sendiri. Lalu pada Ia membenci. Dirinya dari segala, Yang minta perempuan untuk kawannya. Terasa sekali beban hidupnya membuatnya membenci dirinya sendiri. Ekspresi dalam larik tersebut dengan baik mengajak pembacanya menyelami apa yang ia rasakan. Juga pada ‘Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga,’ terasa bahwa ia merasakan segala dalam kehidupannya terasa jadi sebuah bahaya yang mendekat padanya, dan pada ‘Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama Terkejut ia terduduk. Siapa yang memanggil itu? Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu! ‘di sanalah kemudian Pembaca dapat menemukan apa yang dapat disimpulkan dalam puisi ini. Puisi tersebut secara gamblang adalah ekspresi ketidakberdayaan seorang manusia. Di saat manusia mengalami ketakutan, akan timbul sebuah upaya untuk mencari perlindungan pada sosok yang dianggapnya kuat. Dalam puisi ini, ibu merupakan sosok yang kuat bagi seorang Chairil. Saya pernah membaca dalam buku Chairil yang ditulis oleh Hasan Aspahani, bagaimana kerasnya sosok ibunya yaitu saleha yang dapat menghadapi kelakuan ayahnya, Toeloes yang menikah lagi dengan istri barunya. Sebelum kemudian ibunya dan Chairil pindah ke Batavia pada tahun 40-an. Di lain puisi, dengan nilai dan gagasan yang sama, kita bisa mendapati puisi semacam ini, yaitu puisi Doa. Dalam puisi Doa, dapat juga kita dapati dalam penggalan puisi beriku ‘Tuhanku Aku hilang bentuk remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing, Tuhanku Di pintu Mu aku bisa mengetuk Aku tidak bisa berpaling’ Dalam penggalan puisi doa tersebut, sebagai pembaca kita mudah sekali merasakan kesamaan dalam apa yang dirasakan Chairil. Pada ekspresi yang sama, dikatakan pada Aku hilang bentuk remuk. Aku mengembara di negeri asing, kita dapat merasakan kegelisahan yang sama seperti yang ditulis pada puisi ibu. Ia telah sukses melakukan penyampaian pesan apa yang dirasakannya, dan pembaca mengerti bahwa kedua puisi di atas adalah bentuk pencarian sandaran ketika manusia dihadapkan dengan ketidakberdayaanya. Manusia membutuhkan sosok untuk menyandarkan diri bila didera masalah dan beban hidupnya. Pada puisi Sendiri kita sebagai pembaca akan mendapati sosok ibu sebagai sosok yang kuat, di puisi Doa, kita akan mendapati Tuhan sosok yang sama dibutuhkan oleh manusia untuk menghadapi ketidakberdayaannya.
Cerpen “Seragam” Karya Aris Kurniawan Basuki ini dikemas dengan sangat minimalis dengan hanya menampilkan dua tokoh, tokoh dengan hubungan yang digambarkan memiliki kekuatan emosional yang kuat. Kesederhanaan cerita dalam cerpen ini juga menjadi daya tarik karena melibatkan emosional pembaca. Dengan menggunakan sudut pandang pertama, ia juga secara tidak langsung mengajak pembaca untuk terlibat dalam cerita dan menelusuri ingatan-ingatan yang disajikan dalam narasi-narasi yang sangat mudah didapati dari kehidupan. Memang dirasakan sekali bahwa penulis menangkap realitas yang ada dalam kehidupan. Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Abrams dalam Wiyatmi (2006 : 79) bahwa karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan. Wiyatmi (2006) selanjutnya menyebutkan bahwa hubungan antara karya sastra dan realitas tersebut bersifat searah. Bahwa karya sastra dianggap sebagai tiruan ataupun cermin dari realitas. Cerita dimulai dengan cerita tokoh “saya” mendatangi rumah seseorang yang merupakan sahabat kecilnya. Narasi berikut adalah ketika si tokoh masuk. Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Lalu diceritakan pula bahwa si tokoh kemudian berpisah dengan sahabatnya dalam narasi berikut. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu. Dengan alur mundur cerita kemudian dibangun dengan tahapan-tahapan ingatan si tokoh “saya”. Hal tersebut semacam bisa dikatakan nostalgia. Misalnya ketika diceritakan saat kedua tokoh masih bersekolah dulu, saat mereka berdua pernah pergi mencari jangkrik pada malam hari. Hal tersebut sungguh lekat dengan realitas kanak-kanak di desa. Sebagaimana digambarkan dalam cerpen Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak. Kejadian ketika si tokoh “saya” mengalami kecelakaan ketika memegang obor, lalu tiba-tiba angin berhembus kencang dan menjatuhkan sumbu obor tersebut sehingga obor tersebut membakar punggungnya. Sang sahabat dengan sigap melepaskan seragam sekolahnya untuk mematikan api yang telah membakar punggung tokoh “saya”. Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya! Singkat cerita kemudian sang sahabat menggendong tokoh “saya” kerumahnya dan yang membekas kemudian adalah perlakuan ayah dari tokoh “saya” yang justru kemudian menampar sahabat yang menolongnya itu. Ketika tokoh “saya” dibawa ke puskesmas, seragam sekolah sang sahabat yang digunakan menutupi punggung tokoh “saya” itu dilepaskan oleh sang mantri dan entah kemana. Sehingga sang sahabat yang merupakan anak dari kalangan tidak mampu terpaksa membolos sekolah pada hari jum’at dan sabtu selama beberapa minggu hingga ayahnya bisa membelikan seragam sahabatnya. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka. Secara emosional hubungan antara realitas dengan karya sastra tersebut dibangun dengan apik. Setelah mengenang kejadian masa kecil tersebut. Ada sedikit hal yang mengusik saya dalam hal ini, kalau memang tokoh “saya” menganggap tokoh “dia” sebagai sahabat, mengapa ia tidak pernah berinisatif untuk membelikannya pakaian dengan uang sakunya sendiri? Apakah hal ini menunjukkan bahwa si tokoh saya digambarkan sebagai orang yang tidak tahu terima kasih sedari kecil? Atau memang luput dari fokus penulis? Seperti tergambar dalam narasi berikut. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya. Malah dalam narasi berikutnya ia seakan menyalahkan sahabatnya atas kebaikan hatinya itu. ”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu. ”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.” Waktu ketika kunjungan ke rumah tokoh “dia”, sahabatnya mengajaknya ke halaman belakang bekas kolam gurami. Ketika kemudian sahabatnya itu menunjukkan bahwa kolam itu kini berganti fungsi menjadi sebuah gudang tempat sang sahabat membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari kerajinan tangan itu lah dan pembagian keuntungan sawah garapan yang menghidupan isitri dan anaknya, lalu secara dramatis diceritakan bahwa keadaan sahabatnya saat ini selepas kedua orang tuanya meninggal kakaknya menggadaikan sertifikat rumah dan tanah peninggalan orang tuanya untuk modal usaha kakaknya, namun usaha kakaknya bangkrut dan menginggalkan hutang yang kini membebaninya. Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan. ”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.” ”Ulahnya?” Dia mengangguk. ”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya. Narasi ini amat apik digambarkan karena menghadirkan tokoh kakaknya meski tidak secara langsung, namun memang berhubungan dengan realitas. Bahwa berhutang dengan menggadaikan sertifikat rumah, menjadi beban keluarga, itu seringkali banyak dialami oleh orang dalam kehidupan nyata. Pastilah ada seorang anggota keluarga yang semacam ini dalam kehidupan kita. Menurut hemat saya, penulis sudah cukup baik menghadirkan kenyataan semacam ini dalam karya sastranya. Cerita pendek ini kemudian ditutup dengan kenyataan bahwa si tokoh “saya” adalah seorang jaksa yang hendak mengeksekusi pengosongan rumah dan tanah sang sahabat. Sepanjang perjalanan pulang sang tokoh “saya” mengalami dilema karna dia belum bisa membalas kebaikan dan ketulusan sang sahabat, dia melirik seragam dinasnya yang bersandar di jok belakang kendaraanya dan dia tidak merasa bangga karna nilainya jauh lebih kecil dari nilai persahabatannya yang ia dapatkan dari sebuah seragam coklat pramuka millik sahabatnya. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus. Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya. Rasa bersalah tokoh “saya” karena tidak dapat menolong sahabatnya tersebut sebenarnya menjadi dilema tersendiri. Atau memang barangkali ia tidak pernah berniat untuk menolong sahabatnya tersebut? Paling tidak, penulis menjelaskan perasaan tokoh “saya” ketika ia membandingkan nilai seragam dinas dan seragam pramuka yang diberi sahabatnya. Barangkali ia terjebak antara ikatan persahabatan dengan kawannya dan merasa hutang budi, meski ternyata pada kenyataannya ia tidak dapat berbuat apa-apa karena secara profesional, ia adalah seorang jaksa yang bertugas mengeksekusi rumah sahabatnya tersebut. Hal-hal semacam ini memang nyata-nyata terjadi dalam kehidupan nyata, dan dalam akhir yang menyentuh ini, cerita pendek yang ditulis membuat sebuah kontemplasi dalam benak pembaca. Penulis sukses membungkus sebuah representasi dari kehidupan nyata menjadi sebuah karya sastra. Karena pada kenyataannya kita memang dihadapkan pada ketidakberdayaan nurani pada akhirnya karena sebuah profesionalisme.Dalam profesionalisme kita tidak akan mengenal kawan, keluarga, atau ikatan-ikatan. Ini juga barangkali menjadi kritik penulis dalam karya sastranya. Bagaimana sebuah ikatan, rasa terimakasih atau balas budi tidak dapat dicampuri oleh profesionalisme. Kontemplasi yang dihadirkan penulis mempertanyakan nurani manusia yang dikalahkan oleh profesionalisme itu sendiri. Bagaimana seringkali dalam dunia profesi kita seringkali melupakan kedekatan atau ikatan emosional. Dalam hal ini, cerpen “Seragam” telah mampu menghadirkan fenomena yang terjadi dalam realitas pada karya sastranya.
Dikemas dengan genre komedi, Film pendek Pemean berdurasi sebelas menit yang diproduksi oleh Paniradya Kaistimewaan Yogyakarta pada tahun 2020 ini berhasil dengan apik telah memotret sebuah fenomena yang nyata-nyata biasa kita temui dan terjadi pada masyarakat kita. Fenomena sosial pada dua tokoh utama dalam film tersebut menarik bila dikaji secara psikologis. Film ini bercerita dengan sangat sederhana, tentang seorang tokoh perempuan yang dipanggil Mbak Sum, dan tetangganya, Dek Asih. Berlatar pada sebuah desa, sepanjang film, keduanya hanya saling bercakap-cakap ketika menjemur baju. Pemean adalah judul yang diambil dari bahasa jawa yang berarti jemuran baju. Dalam film ini memang mengedepankan unsur dialog, adegan-adegannya sangat sederhana. Dari sanalah kita dapat melihat karakter Mbak Sum dalam film yang digambarkan senang sekali pamer, bermaksud membuat iri tetangganya dengan tingkahnya berkali-kali memamerkan barang-barang mewah seperti motor baru, atau dalam beberapa percakapan memamerkan dirinya membeli beras di Jakarta, suaminya yang banyak bergaul dengan pejabat, atau yang lainnya. Namun tetangganya Dek Asih, merupakan perempuan yang pendiam, tenang dan sederhana. Yang lebih banyak tersenyum dan meng—iyakan kata-kata tetangganya ketimbang menanggapi. Pada akhir cerita diketahui bahwa ternyata semua yang dipamerkan oleh tokoh Mbak Sum hanya omong kosong. Semua barang-barang itu adalah titipan untuk sementara waktu dari bos suaminya yang tengah merenovasi rumahnya. Karakter Mbak Sum yang merupakan representasi dari tetangga-tetangga semacamnya yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari itu, sebenarnya memiliki motivasi atau alasan bertindak. Kreitner & Kinicki (2003:248) menjelaskan bahwa motivasi merupakan proses psikologis yang meningkatkan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan. proses psikologis. Motivasi orang-orang seperti Mbak Sum, menurut teori psikologi humanistik Abraham Maslow dikarenakan ia memiliki kebutuhan. Feist, Jess, dan Gregory J. Feist (2010:330) menjelaskan bahwa Teori Kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Salah satu asumsi Maslow menyatakan bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan . Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh yang lain. Oleh karena hal tersebut, manusia pada dasarnya bertindak berdasarkan kebutuhan yang belum dipenuhinya. Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan cinta dan keberadaan. Maslow dalam Jess, Feist, Gregory J Feist, (2010:334) menjelaskan bahwa, kebutuhan akan cinta dan keberadaan diantaranya seperti keinginan untuk berteman; keinginan untuk mempuunyai pasangan dan anak; kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyarakat, atau Negara. Dalam hal ini, yang dilakukan Mbak Sum jelas untuk berusaha terus-menerus berbicara dengan Dek Asih, berusaha agar Dek Asih menanggapi apa yang ia bicarakan dan sebagainya. Mbak Sum yang suka bertingkah menyebalkan dan berusaha membuat iri tetangganya itu, sebenarnya dikarenakan ia tengah berusaha memenuhi tuntutan kebutuhan psikologisnya. Menurut Jess, Feist, Gregory J Feist, (2010:334) bahwa orang dewasa dalam usaha memenuhi kebutuhan cinta dan keberadaan, seringkali disembunyikan, melakukan tingkah laku yang mengalahkan diri mereka sendiri seperti berpura-pura tidak ramah pada orang lain, atau bersikap sinis, dingin, dan kasar dalam hubungan interpersonal.[] Referensi : Feist, Jess, dan Gregory J. Feist. (2010). Teori Kepribadian, Jakarta: Salemba Humanika. Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. 2000. Perilaku Organisasi. jilid1, Jakarta: Salemba Empat Sumber Foto : https://www.youtube.com/watch?v=xKH-ITje5c8