Film Negeri 5 Menara merupakan sebuah film produksi KG productioan dan Million pictures yang menceritakan mengenai nilai optimisme dan kerja keras 6 orang sahabat atau Sohibul Menara dalam mencapai impian. Melalui film Negeri 5 Menara ini kita dapat mengetahui tentang bagaimana nilai optimisme dan kerja keras dalam kehidupan orang di sekitar kita. Film memiliki potensial untuk mempengaruhi khalayaknya. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu di pahami secara linear. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message). Tapi kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya keatas layar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai optimisme dan kerja keras untuk pencapai impian dalam Film negeri 5 menara. Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau Semiotika. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode Semiotika Roland Barthes. Analisis menggunakan lima kode Roland Barthes yaitu Hermeneutika, Semik, Simbolik, Proairetik, Kultural. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya nilai optimisme dan kerja keras dalam film Negeri 5 Menara ini. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Film Negeri 5 Menara mampu memberikan motivasi tentang nilai optimisme dan kerja keras dalam meraih impian. Film Negeri 5 Menara ini cukup menggambarkan bagaimana usaha dalam meraih impian. Film ini lebih banyak membahas bagaimana sikap optimisme dan kerja keras dalam meraih impian. Kata Kunci : Film, Semiotika, Roland Barthes, Optimisme Dan Kerja Keras. Negeri 5 Menara. Film yang menceritakan tentang sosok anak muda bernama Alif yang ingin melanjutkan studi di SMA dan berkuliah di ITB. Mimpinya tersebut seakan kandas sesaat ayah dan ibu nya menginginkan Alif untuk sekolah di sekolah agama. Orang tua dari Alif mendambakan Alif menjadi pemimpin agama. Dengan setengah hati, Alif pun menuruti keinginan orang tuanya. Ia memilih untuk melanjutkan sekolah pesantren di Madani, Jawa Timur. Di pesantren, Alif memiliki 4 teman dekat yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Di setiap masing-masing diri memiliki kekurangan, begitu juga Alif dan teman-temannya. Namun mereka berlima saling melengkapi akan kekurangan tersebut. Kekompakan dari kelima pemuda ini sangat kental ditampilkan. Nuansa kebersamaan yang didapati dari setiap scene sangat terasa. Man Jadda Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kalimat tersebut dikobarkan sepanjang film sekan menjadi kekuatan dari film tersebut. Film Negeri 5 Menara ini memang penuh dengan pesan moral & agama mulai dari yang tersirat maupun tersurat. Kelebihan dari film ini adalah mengenai pesan moralnya yang tinggi. Selain itu, aktor yang memerani tokoh sangat baik dan mendalami perannya. Hal ini membuat penonton seakan-akan masuk ke dalam film tersebut. Apalagi ditambah latar tempat yang sangat kental dengan budaya Melayu. Semua terlihat natural, tidak ada yang dibuat-buat. Kekurangan dari film ini adalah pada ceritanya. Alur di film “Negeri 5 Menara” ini mirip dengan film “Laskar Pelangi”, karena berakhir pada masa depan dimana keadaannya sudah sukses. Selain itu, plot dalam film “Negeri 5 Menara” masih terasa kurang. Penonton tidak merasakan adanya klimaks pada film ini. Pembuat film terlalu sibuk dengan penggambaran tokohnya. Namun secara keseluruhan, film “Negeri 5 Menara” ini sangat baik dan recommended ditonton bersama keluarga. karena banyak nilai positif dalam kehidupan bisa diambil.
Chairil Gibran Ramadhan atau lebih dikenal dengan sebutan CGR (lahir 11 September 1972) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai peneliti budaya/sejarah Betawi dan penulis cerita pendek. Ia besar dan tumbuh di kampung Pondok Pinang, Jakarta Selatan, menempuh pendidikan di IISIP Jakarta pada Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jurnalistik. Pernah menjadi wartawan dan redaktur musik di sebuah majalah di Jakarta. Chairil Gibran mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1996 tanpa bergabung dengan komunitas sastra manapun, termasuk komunitas Betawi. Buku yang memuat beberapa cerpennya dalam nuansa Betawi antara lain Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010), Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International Literature Festival, 2011). Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman & Violence (Kompas Gramedia, 2012, tunggal). Berikut Review salah satu cerpen dari Chairil Gibran Ramadhan (CGR) yang berjudul : “Perempuan Dikamar Sebelah”. Sebuah buku yang wajib dibaca kaum perempuan dan laki-laki. Ketika pertama kali memunculkan karya CGR di Republika, saya melihat potensinya sebagai sastrawan yang mampu mewakili etnis Betawi. Namun lewat buku ini ia berhasil menempatkan diri sebagai sastrawan nasional yang tidak hanya mampu mengolah nuansa Betawi tetapi juga yang lebih luas: Indonesia. Gaya penceritaannya telah mencapai titik yang layak mendapat perhatian dari penikmat sastra. CGR pantas menjadi kebanggaan etnis Betawi dan Indonesia. Kehidupan kota itu keras, gila, dan penuh keputusasaan. Begitulah kesan yang saya rasakan ketika membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini. Tema-tema yang dipilih CGR membuat saya semakin waspada. Cerpen-cerpen ini semua ditulis dengan empati pada perempuan, ibu atau anak, mereka yang berposisi rendah, kekurangan, terpojokkan dan di sisi lain tidak suka dengan kekuasaan, aparat, birokrat, dan sejenisnya. Nuansanya buram, jadi tidak akan disukai oleh pembaca yang ingin mendapat cerita indah menyenangkan. Ini pilihan dan orang boleh ambil sikap pula atas pilihan ini: Suka atau tidak suka. Setelah sering menjelajahi latar Betawi dalam cerpen-cerpennya, CGR dalam kumpulan cerpen ini menelisik subyek sosok perempuan. Bukan perempuan dalam panggung gemerlap, tapi lebih pada sisi kelam. Perempuan korban situasi sosial, politik, dan bahkan budaya. Tentu ini adalah pilihannya sebagai sastrawan yang ingin “terlibat” dalam persoalan masyarakat. Di ruang kelam itu, justru, kita menemukan cermin.Tidak banyak penulis lelaki yang bisa memahami betul-betul bagaimana rasanya menjadi perempuan. Oleh karenanya apa yang dituliskan CGR dalam kumpulan cerita ini adalah sebuah usaha yang bagus untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang mungkin dialami oleh seorang perempuan. Kumpulan cerpen ini menegaskan, penentu harkat perempuan sebagai manusia mulia dan bermartabat adalah individu yang bersangkutan, perempuan lain dan manusia lain bernama lelaki. Berbagai latar, konteks dan konflik, yang diceritakan CGR dengan gayanya yang khas, menggoncang kesadaran kita bahwa masalah harkat perempuan ini begitu luas dimensinya dan dalam dasar landasannya. Kumpulan cerpen yang sangat penting. Kekerasan terhadap perempuan, dalam hubungan sosialnya dengan manusia lain, dapat dipastikan sudah terjadi sejak beranak-pinaknya keturunan Nabi Adam dan terbentuknya masyarakat manusia. Bahkan dalam kisah-kisah para nabi kita juga dapat membaca adanya pembunuhan terhadap bayi berkelamin perempuan yang “direstui” oleh sistem sosial masyarakat. Kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan aparatur negara terhadap rakyat perempuannya, adalah bentuk-bentuk yang menempatkan perempuan sebagai objek kekerasan dan laki-laki adalah pihak pelakunya. Namun ironisnya, perkembangan kejiwaan masyarakat lelaki yang sakit juga menular kepada perempuan itu sendiri. Maka ada banyak kasus ditemukan ketika perempuan itulah sang pelaku kekerasan: Ibu terhadap anak perempuannya, perempuan terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya. Bahkan tindakan berupa tekanan-tekanan dari kaum perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan dalam hal hubungan pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektualitas (atau tenaga semata), juga merupakan bentuk kesewenangan hak terhadap perempuan. Maka saya berpikir, mungkin sesuatu yang menarik bila seorang lelaki—sebagai golongan yang kerap dikatakan sebagai pelaku utama kekerasan terhadap perempuan—kemudian “kedapatan” memberikan perhatian terhadap nasib perempuan, dalam bentuk cerita pendek yang dihasilkannya. Dalam cerpen-cerpen ini saya berusaha menempatkan empati dan simpati dengan “mengubah diri” menjadi perempuan. Dan sebagai penulis, “kaum” ini memang diharapkan mampu “menjadi” siapa saja demi kedalaman sebuah cerita dan makna. Meski cerita-cerita ini fiksi, namun kejadian-kejadian yang mendasarinya adalah fakta. Maka di dalamnya tampil kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, aparatur negara terhadap perempuan, serta perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya, lewat 16 cerpen yang sebelumnya, beberapa pernah dimuat di berbagai media cetak. “Perempuan di Kamar Sebelah” sendiri dipilih karena judulnya bisa mengesankan mengenyampingkan perempuan. Lewat buku ini saya juga ingin memperlihatkan perhatian saya yang lain dalam dunia sastra, selain karya-karya bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etnis Betawi yang saya bawa ke ranah sastra nasional.
Pelecehan sering dirasakan oleh para pelajar dari mulai Perguruan tinggi hingga tinggat sekolah dasar, perbuatan tersebut dinyatakan sebagai perilaku menyimpang, karena perbuatan tersebut memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menetapkan seseorang sebagai objek perhatian yang tidak diinginkannya. Artinya, pelecehan seksual dapat berupa sikap yang tidak senonoh, seperti menyentuh anggota tubuh yang vital dan dapat pula hanya berupa kata-kata atau pernyataan yang bernuansa tidak senonoh. Sedangkan orang yang menjadi objek sentuhan atau pernyataan tersebut tidak menyenanginya. Lebih rentan lagi pelecehan seksual ini sangat luas meliputi : main mata, bersiul nakal, cubitan, humor porno, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan imingiming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual bahkan sampai perkosaan. Pelecehan seksual ini bisa sering terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di dalam bus kota, pabrik, supermaket, bioskop, kantor, hotel, trotoar, bahkan sampe ke lingkungan pendidikan seperti di sekolah dan di kampus baik pada siang hari maupun pada malam hari. Bila kita cermati lebih detail lagi yang sering menjadi korban pelecehan seksual adalah kaum hawa atau kaum perempuan, perempuan sering dilecehkan secara seksual karena ketidakberdayaannya, yang selalu berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Namun ada juga yang berpendapat korban pelecehan seksual ini tidak hanya terjadi pada kaum perempuan saja, tapi ada juga korban pelecehan seksual ini terjadi pada kaum laki-laki sesuai dengan pendapat dari Beuvais, tapi menurut pendapat Khaeruddin yang lebih sering dijadikan korban pelecehan seksual hanya kaum perempuan. Artinya, pelecehan seksual ini terjadi karena kaum laki-laki sangat memiliki kekuasaan dan kedudukannya di mata masyarakat, sedangkan kaum perempuan dipandang hanya sebagai pemuas atau pelampiasan hawa nafsu belaka. Sedangkan, dalam pandangan hukum Islam tentang perilaku pelecehan seksual ini belum diatur secara tegas, karena pembahasannya belum ada dalam Al-qur’an maupun hadist, dengan demikian ketentuan hukum tentang pelecehan seksual ini masih menjadi ijtihad para ulama. Hukuman tersebut berbentuk Takzir. Bentuk hukuman tersebut dapat berupa hukuman mati, jilid, denda, pencemaran nama baik dan lain-lain. Hukuman Takzir yang dikenakan kepada pelaku pelecehan seksual harus sesuai dengan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan, dan hukuman tersebut disanksikan kepada pelaku demi kemaslahatan. Karena pada dasarnya pelecehan seksual ini menyangkut akhlak seseorang baik atau buruknya. Dalam Al-qur’an hanya menjelaskan tentang zina bukan tentang pelecehan seksual. Dalam hukum Islam jangankan berciuman atau memegang anggota tubuh seorang perempuan, melihat dengan menimbulkan syahwat saja tidak boleh karena akan membawa ke arah zina. Tidak hanya melarang mendekati zina, tapi Islam juga memerintahkan kita untuk menjaga pandangan kepada siapa saja kecuaili dengan suami mereka, anak mereka, saudara mereka, orang tua merka, anak-anak mereka adapun jika ketidaksengajaan maka hal itu tidaklah berdosa, tapi pandangan selanjutnya apabila disertai dengan syahwat atau nafsu seksual maka tidak diperbolehkan Hukum Islam belum menjelaskan sanksi untuk memidanakan pelaku pelecehan seksual, apakah takzir, had, seperti hukuman pada perbuatan zina. Karena belum dijelaskan secara terperinci oleh masyarakat. Oleh karena itu bagi pelaku pelecehan seksual akan dikenakan hukuman takzir. Bentuk hukuman takzir ini akan diserahkan kepada penguasa atau hakim yang berhak untuk memutuskan suatu perkara. Di Indonesia perkara yang berkait dengan kriminal dan kejahatan asusila diputuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP yang diadopsi dari hukum Belanda. Meskipun demikian, berkaitan dengan perkara pelecehan seksual dengan ketentuan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP dinilai belum memadai, bahkan istilah pelecehan seksual tidak ditemukan dalam KUHP. Penanganan yuridis kasus-kasus pelecehan seksual mengalami hambatan-hambatan, terutama menyangkut rumusan tindak pidana ataupun deliknya Dengan kata lain, baik dalam hukum Islam maupun dalam KUHP belum ada ketegasan perlindungan bagi korban pelecehan seksual. Berikut beberapa cara untuk mengantisipasi hinggal meminimalisir tindakan pelecehan seksual bagi para pelajar : 1. Pahami tubuh yang termasuk bagian privat Para pelajar harus paham area-area tubuh yang termasuk privasi. Bagian tubuh tersebut tidak boleh ditatap terlalu lama dan tidak boleh disentuh oleh orang lain tanpa izin dari kita. Contohnya seperti area dada, kemaluan, dan pantat. 2. Menjauhi lingkungan pergaulan yang kurang baik Selain itu siswa harus menjauhi lingkungan pergaulan yang kurang baik. Jika ada teman yang mengajak melakukan tindakan-tindakan asusila, seperti menonton video porno, melecehkan seseorang secara visual, atau menyentuh area privat seseorang, sebaiknya dengan tegas menolaknya dan jangan diikuti. Dengan begitu, kamu akan terhindar dari kekerasan seksual, baik menjadi pelaku maupun korban. 3. Berani melawan kekerasan seksual Fakta di lapangan, masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani melawan ataupun melaporkan kejahatan ke pihak berwajib karena malu. Padahal, kekerasan seksual haruslah dilawan agar memberikan efek jera kepada pelakunya. Jika mengalami kekerasan seksual, segera berteriak dan laporkan kepada guru dan orangtua. Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat yang memberikan rasa aman dan juga nyaman kepada peserta didik. Tidak hanya memberikan rasa aman dan nyaman dalam kegiatan pembelajaran, tapi juga harus memberikan rasa aman dari kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying). Oleh karena itu, seluruh elemen sekolah harus bekerja sama dan bersinergi dengan baik untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif.