Beranda » Review Cerpen “Perempuan Dikamar Sebelah” Karya Chairil Gibran Ramadhan (CGR)

Review Cerpen “Perempuan Dikamar Sebelah” Karya Chairil Gibran Ramadhan (CGR)

Chairil Gibran Ramadhan atau lebih dikenal dengan sebutan CGR (lahir 11 September 1972) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal sebagai peneliti budaya/sejarah Betawi dan penulis cerita pendek. Ia besar dan tumbuh di kampung Pondok Pinang, Jakarta Selatan, menempuh pendidikan di IISIP Jakarta pada Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Jurnalistik. Pernah menjadi wartawan dan redaktur musik di sebuah majalah di Jakarta. Chairil Gibran mengawali debutnya sebagai penulis sejak 1996 tanpa bergabung dengan komunitas sastra manapun, termasuk komunitas Betawi.

Buku yang memuat beberapa cerpennya dalam nuansa Betawi antara lain Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010), Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International Literature Festival, 2011). Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman & Violence (Kompas Gramedia, 2012, tunggal).

Berikut Review salah satu cerpen dari Chairil Gibran Ramadhan (CGR) yang berjudul : “Perempuan Dikamar Sebelah”.

Sebuah buku yang wajib dibaca kaum perempuan dan laki-laki. Ketika pertama kali memunculkan karya CGR di Republika, saya melihat potensinya sebagai sastrawan yang mampu mewakili etnis Betawi. Namun lewat buku ini ia berhasil menempatkan diri sebagai sastrawan nasional yang tidak hanya mampu mengolah nuansa Betawi tetapi juga yang lebih luas: Indonesia. Gaya penceritaannya telah mencapai titik yang layak mendapat perhatian dari penikmat sastra. CGR pantas menjadi kebanggaan etnis Betawi dan Indonesia.

Kehidupan kota itu keras, gila, dan penuh keputusasaan. Begitulah kesan yang saya rasakan ketika membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini. Tema-tema yang dipilih CGR membuat saya semakin waspada. Cerpen-cerpen ini semua ditulis dengan empati pada perempuan, ibu atau anak, mereka yang berposisi rendah, kekurangan, terpojokkan dan di sisi lain tidak suka dengan kekuasaan, aparat, birokrat, dan sejenisnya. Nuansanya buram, jadi tidak akan disukai oleh pembaca yang ingin mendapat cerita indah menyenangkan. Ini pilihan dan orang boleh ambil sikap pula atas pilihan ini: Suka atau tidak suka. Setelah sering menjelajahi latar Betawi dalam cerpen-cerpennya, CGR dalam kumpulan cerpen ini menelisik subyek sosok perempuan. Bukan perempuan dalam panggung gemerlap, tapi lebih pada sisi kelam. Perempuan korban situasi sosial, politik, dan bahkan budaya. Tentu ini adalah pilihannya sebagai sastrawan yang ingin “terlibat” dalam persoalan masyarakat. Di ruang kelam itu, justru, kita menemukan cermin.Tidak banyak penulis lelaki yang bisa memahami betul-betul bagaimana rasanya menjadi perempuan.

Oleh karenanya apa yang dituliskan CGR dalam kumpulan cerita ini adalah sebuah usaha yang bagus untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang mungkin dialami oleh seorang perempuan. Kumpulan cerpen ini menegaskan, penentu harkat perempuan sebagai manusia mulia dan bermartabat adalah individu yang bersangkutan, perempuan lain dan manusia lain bernama lelaki. Berbagai latar, konteks dan konflik, yang diceritakan CGR dengan gayanya yang khas, menggoncang kesadaran kita bahwa masalah harkat perempuan ini begitu luas dimensinya dan dalam dasar landasannya. Kumpulan cerpen yang sangat penting.

Kekerasan terhadap perempuan, dalam hubungan sosialnya dengan manusia lain, dapat dipastikan sudah terjadi sejak beranak-pinaknya keturunan Nabi Adam dan terbentuknya masyarakat manusia. Bahkan dalam kisah-kisah para nabi kita juga dapat membaca adanya pembunuhan terhadap bayi berkelamin perempuan yang “direstui” oleh sistem sosial masyarakat.

Kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan aparatur negara terhadap rakyat perempuannya, adalah bentuk-bentuk yang menempatkan perempuan sebagai objek kekerasan dan laki-laki adalah pihak pelakunya. Namun ironisnya, perkembangan kejiwaan masyarakat lelaki yang sakit juga menular kepada perempuan itu sendiri. Maka ada banyak kasus ditemukan ketika perempuan itulah sang pelaku kekerasan: Ibu terhadap anak perempuannya, perempuan terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, dan perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya. Bahkan tindakan berupa tekanan-tekanan dari kaum perempuan yang menjadi pemegang kekuasaan dalam hal hubungan pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektualitas (atau tenaga semata), juga merupakan bentuk kesewenangan hak terhadap perempuan.

Maka saya berpikir, mungkin sesuatu yang menarik bila seorang lelaki—sebagai golongan yang kerap dikatakan sebagai pelaku utama kekerasan terhadap perempuan—kemudian “kedapatan” memberikan perhatian terhadap nasib perempuan, dalam bentuk cerita pendek yang dihasilkannya. Dalam cerpen-cerpen ini saya berusaha menempatkan empati dan simpati dengan “mengubah diri” menjadi perempuan. Dan sebagai penulis, “kaum” ini memang diharapkan mampu “menjadi” siapa saja demi kedalaman sebuah cerita dan makna.

Meski cerita-cerita ini fiksi, namun kejadian-kejadian yang mendasarinya adalah fakta. Maka di dalamnya tampil kekerasan suami terhadap istri, ayah terhadap anak perempuannya, lelaki terhadap perempuan dalam hubungan personal dan non-personal, aparatur negara terhadap perempuan, serta perempuan pemegang kekuasaan terhadap perempuan yang lemah kedudukan sosial dan ekonominya, lewat 16 cerpen yang sebelumnya, beberapa pernah dimuat di berbagai media cetak.

“Perempuan di Kamar Sebelah” sendiri dipilih karena judulnya bisa mengesankan mengenyampingkan perempuan. Lewat buku ini saya juga ingin memperlihatkan perhatian saya yang lain dalam dunia sastra, selain karya-karya bernuansa lokal dengan nilai-nilai budaya etnis Betawi yang saya bawa ke ranah sastra nasional.

Bagikan Artikel Ini