Beranda » “Alternative Protein”: Pangan Masa Depan yang Menjanjikan

“Alternative Protein”: Pangan Masa Depan yang Menjanjikan

Iustrasi - Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Saat ini jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7.874.966.000 jiwa, dan diperkirakan akan menjadi 9,7 miliar jiwa di tahun 2050. Dengan jumlah sebanyak ini, pemenuhan kebutuhan pangan menjadi sebuah tantangan besar mengingat sumber daya alam yang kian terbatas. Hal ini juga diperburuk dengan kondisi perubahan iklim  yang dampaknya akan sangat besar bagi sektor pertanian. Di tengah krisis sumber daya alam, perubahan iklim serta ancaman ketahanan pangan, permintaan akan produk daging dan turunannya justru semakin meningkat. Sejak 50 tahun yang lalu, permintaan produk daging terus bertumbuh hingga menjadi tiga kali lipat. Setiap tahunnya, secara global sector peternakan menghasilkan sekitar 1,5 miliar sapi, 23 miliar ayam, 1 miliar babi, 1 miliar domba, dan sejumlah hewan ternak lainnya. Jika dijumlahkan, 340 juta ton daging diproduksi setiap tahunnya. Tingginya permintaan ini tak lepas dari peningkatan gaya hidup masyarakat dan meningkatnya kesejahteraan ekonomi. Permasalahnya, daging ternak adalah sumber pangan yang resource intensive atau membutuhkan banyak sumber daya.

Daging didapatkan dari hewan ternak, yang membutuhkan pakan, air bersih serta lahan yang luas untuk membesarkannya. Perkiraannya, 1/3 hasil pertanian global yang kita berikan pada ternak dapat memberi makan 3,5 miliar orang di dunia. Saat ini hewan ternak seperti sapi sering kali diberi pakan kedelai atau jagung untuk meningkatkan massa tubuhnya. Jika melihat kondisi penduduk di beberapa tempat yang mengalami kelaparan, seharusnya kedelai dan jagung ini bisa menjadi makanan untuk manusia. Selain itu, 77% dari luas lahan pertanian dunia digunakan untuk aktivitas peternakan, artinya hanya 23% lahan pertanian yang digunakan untuk menghasilkan pangan nabati untuk konsumsi manusia. Padahal sebagian besar diet masyarakat dunia didominasi oleh pangan nabati. Dapat dibayangkan, jika kita mengandalkan sumber protein nabati, maka akan bisa memenuhi kebutuhan pangan lebih banyak orang. Daging yang dihasilkan oleh ternak juga tidak sebanding dengan sumber daya yang telah dikorbankan. Untuk menghasilkan 1 kg daging sapi, butuh 25 kg pakan yang artinya hanya 4% dari pakan yang dapat diubah menjadi daging. Terlebih lagi penggunaan lahan untuk peternakan telah menghabiskan 45,1 juta hektar area hutan sampai tahun 2015. Dari yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa berternak bukanlah cara yang paling efisien dan paling ramah lingkungan untuk menghasilkan protein. Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang semakin meningkat dan krisis iklim, sehingga butuh sumber sumber alternatif lain untuk menghasilkan protein di masa depan.

Alternatif yang ditawarkan haruslah lebih efisien, ramah lingkungan dan murah untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah. Mungkin kita pernah membayangkan hal hal futuristik seperti makanan yang diproduksi di laboratorium, atau makanan yang dihasilkan dari udara. Nyatanya saat ini hal itu bukan lagi khayalan science fiction belaka. Sebuah Food Tech Startup asal California, Air Protein mengumumkan peluncuran produk pertamanya di tahun 2019. Produk Air protein merupakan protein powder yang diciptakan menggunakan elemen elemen yang terdapat pada udara. Air protein menggunakan bakteri hydrogenotroph yang dapat mengubah karbon dioksida, nitrogen, oksigen dan uap air di udara menjadi biomassa protein. Produk ini terdiri dari 80% protein dengan kandungan asam amino esensial lengkap, mineral, dan vitamin B12. Dalam press releasenya pada November 2019 disebutkan, “Air Protein is establishing a new industry of sustainable food that solves growing global food demands without the need for arable land “. Ini adalah solusi pangan yang kita butuhkan saat ini, pangan yang dihasilkan dengan minimum sumber daya, efisien dalam penggunaan air dan lahan, serta lebih ramah lingkungan. Keunggulannya terlebih lagi karena sumber utama makanan untuk memperbanyak biomassa bakteri ini adalah karbon dioksida. Yang artinya, bukan saja dapat menghasilkan protein dengan sumber daya minimal, tapi juga dapat membantu menyerap gas karbon dioksida yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Tidak akan berhenti disitu, ruang untuk berinovasi terbuka luas bagi Air Protein yang juga mengembangkan line product lainnya dengan berbahan dasar protein powder. Dari satu jenis bahan, bisa dihasilkan berbagai macam produk seperti daging analog serta produk produk turunannya. Startup lain juga bergerak di bidang yang sama yaitu memproduksi protein alternatif, namun kali ini dengan metode yang berbeda. Eat Just merupakan perusahaan asal California yang baru saja mengkomersialkan “cultivated meat” pertamanya pada Desember 2020 lalu. Lab-grown chicken dari Eat Just yang dikomersialkan di Singapura ini merupakan Cultivated Meat pertama di dunia yang menerima regulatory approval. Cultivated meat atau Cultured Meat, atau Lab-grown meat merupakan daging yang dihasilkan dari kultur sel punca hewan ternak, yang akan berdiferensiasi membentuk jaringan dan serat serat seperti daging. Singkatnya, metode ini dapat menghasilkan daging sungguhan, bisa berupa daging sapi, ayam, atau hewan lainnya tanpa harus membesarkan hewan ternak, memberi makan, merawat hingga menyembelih. Oleh sebab itu cultivated meat disebut dengan clean meat, karena daging ini diproduksi tanpa mengonsumsi banyak lahan, pakan serta tanpa buangan gas metana yang biasa dihasilkan hewan ternak.

Bukan berarti tak ada yang dikorbankan, sampai saat ini Cultivated Meat masih menggunakan Foetal Bovine Serum (FBS) dalam proses produksinya. FBS merupakan serum yang dihasilkan dari janin sapi yang mengandung komponen komponen esensial untuk perkembangan sel. Saat ini Eat Just sedang mengembangkan pengganti dari FBS yang terbuat dari sumber nabati dan dari hasil fermentasi mikroba, dengan begitu cost produksi juga akan semakin turun dan paritas harga akan dapat dicapai. Masih banyak lagi tantangan untuk menyempurnakan cultivated meat, mulai dari membentuk jaringannya untuk menyerupai struktur dan tekstur daging, bagaimana agar daging dari cultivated meat tidak hanya berupa jaringan otot tapi juga mengandung lemak dalam seperti pada daging konvensional, dan banyak tantangan lainnya. Butuh inovasi, kreativitas serta sains dan teknologi untuk bisa mewujudkan hingga menyempurnakan cultivated meat untuk menjadi makanan yang awam di masyarakat.

Kedua startup yang telah disebutkan sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari sektor protein alternatif yang sedang berkembang pesat saat ini. Masih ada jenis protein alternatif lainnya yaitu plant-based protein. Plant-based protein mungkin adalah yang paling familiar jika dibandingkan dengan Cultivated Meat ataupun fermentation based protein. Berbagai macam produk plant-based telah beredar di pasaran sejak lama. Daging analog, susu, serta berbagai produk analog lainnya yang terbuat dari kedelai, polong, gandum, berbagai macam serealia dan kacang kacangan sudah popular sejak lama. Namun daging analog kali ini agak berbeda dan mendapat banyak perhatian public. Pasalnya dua startup plant based-meat yaitu Beyond Meat dan Impossible Food mengeluarkan produk plant-based burger yang memiliki rasa persis burger sungguhan. Targetnya bukan lagi konsumen vegetarian, melainkan masyarakat awam yang sehari harinya memakan daging. Oleh sebab itu produk produk mereka didesain untuk memiliki rasa yang tidak berbeda dari daging sungguhan, dan diharapkan dapat menggantikan posisi daging kedepannya. Memang sulit untuk meniru rasa autentik dari daging yang meaty, savory, juicy. Namun dengan menggabungkan sains, teknologi dan kreativitas  segala hal bisa terwujud, segala masalah dapat disolusikan. Kedua perusahaan tadi telah banyak mengeksplor berbagai macam sumber nabati, serta memanfaatkan mikroba untuk menghasilkan bahan bahan yang sulit didapatkan dalam jumlah banyak di alam. Seperti untuk meniru rasa dan aroma meaty yang berasal dari komponen heme pada darah, Impossible Food mencari alternatif lain yaitu menggunakan heme yang dihasilkan oleh bakteri pengikat nitrogen-rhizobia pada nodul akar kedelai. Sayangnya jumlah heme yang dihasilkan oleh nodul kedelai sangat sedikit. Untuk mengatasi hal ini, Impossible Food menyisipkan gen pengkode heme pada kedelai ke dalam ragi, sehingga ragi dapat menghasilkan komponen heme ini dalam jumlah yang lebih banyak.

Banyak startup Alternative Protein yang bermunculan beberapa tahun terakhir, membawa banyak inovasi produk demi memenuhi kebutuhan pangan dunia yang terus bertambah. Bukan dengan cara yang eksploitatif, namun dengan mengutamakan aspek kelestarian lingkungan serta sustainability. Jejaring startup Alternative Protein ini telah menjadi segmen pasar baru, yang akan terus menghasilkan berbagai macam solusi pangan kedepannya. Ini adalah kesempatan besar bagi Food Technologist untuk berkontribusi dan berkarya bagi masa depan pangan. Seperti di beberapa negara lainnya yang sedang mengembangkan industry Alternative Protein seperti Amerika Serikat, Cina, Canada, Singapura dan India, popularitas protein alternatif di Indonesia juga semakin meningkat. Sebut saja Burgreens, Lococo, Madgrass, Plantful, Eggnot pasti sudah sangat familiar bagi komunitas vegetarian khususnya di Jakarta. Terlebih lagi dengan diadakannya kompetisi pendanaan startup alternatif protein oleh Float Food-startup asal Singapura 2020 lalu, berbagai UMKM lokal memanfaatkan kesempatan ini untuk menampilkan produk produknya. Dapat dibayangkan jika teknologi pangan bergabung dengan kreatifitas umkm dan keberagaman pangan lokal Indonesia, maka bukan hanya akan menghasilkan solusi untuk pangan berkelanjutan, tapi juga membuka segmen pasar baru dan menjadi peluang lapangan kerja di Indonesia. Lalu, siapkah kita membangun masa depan pangan?

Daftar Pustaka

Air Protein. 2019. Press release. www.airprotein.com.  Diakses 26 September 2021.

American Scientific for Microbiology. 2019. The Microbial Reasons Why the Impossible Burger Tastes So Good. asm.org. Diakses 27 September 2021.

Cassidy ES, West PC, Gerber JS and Foley JA. 2013. Redefining agricultural yields: from tonnes to people nourished per hectare. Environ. Res. Lett 8(3): 1-8

CNBC. 2021. This multibillion-dollar company is selling lab-grown chicken in a world-first.  www.cnbc.com. Diakses 26 September 2021.

Food Navigator USA. 2019. Air Protein: The most sustainable meat analogs are made from microbes and thin air. www.foodnavigator-usa.com. Diakses 26 September 2021.

Scientific American. 2018. Lab-grown meat. www.scientificamerican.com. Diakses 27 September 2021.

Shepon E, Eshel G, Noor E and Milo R. 2016. Energy and protein feed-to-food conversion efficiencies in the US and potential food security gains from dietary changes. Environ. Res. Let 11(10): 1-8.

WIRED. 2018. The clean meat industry is racing to ditch its reliance on foetal blood. www.wired.co.uk. Diakses 27 September 2021.

World Economic Forum. 2019. This is how many animals weeat each year. www.weforum.org. Diakses 26 September 2021.

World in our data. 2019. Half of the world’s habitable land is used for agriculture. ourworldindata.org. Diakses 26 September 2021.

Bagikan Artikel Ini