Beranda Budaya Utusan Sultan Meminta Bantuan Batavia

Utusan Sultan Meminta Bantuan Batavia

Ilustrasi Batavia.

Ketika Residen Caeff kembali berjalan menuju benteng dagang, jalanan masih belum dikuasai pemberontak. Dengan hati yang sedikit lebih tenang, ia melangkah masuk ke dalam loji yang dilingkupi pagar palisade, berdiri kokoh bagaikan gerbang menuju pelabuhan.

Setibanya di sana, ia segera menyampaikan laporan tentang perundingannya kepada sang pejabat dagang VOC.

“Namun,” demikian Caeff menutup laporannya, “siapa yang kini harus membawa pesan itu?”

“Hm,” gumam sang pejabat dagang VOC, Vrijberg, sambil menggeleng perlahan. “Itu bukan tugas yang ringan. Dari sini menuju Batavia, melintasi negeri yang sepenuhnya tengah bergolak, setiap jalan pasti sudah dijaga para bajingan Makassar dan orang-orang Melayu. Demi Tuhan, Residen! Itu bukan perkara sepele!”

“Namun tetap harus dilakukan,” sahut Caeff tegas, “meskipun aku sependapat denganmu, Vrijberg, bahwa perjalanan itu jauh dari kata mudah. Tapi bagaimana menurutmu soal Dirks? Apakah mungkin…?”

“Aku justru hendak menyebut namanya,” sela Vrijberg. “Menurutku, jika ada seseorang yang sanggup melakukannya, dialah Dirks.”

Caeff mengangguk pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

“Anak muda yang tangguh… berani, tekadnya keras, dan di samping itu ia mengenal betul wilayah sekitar ini dengan musuh di sekeliling. Menurutku, kita harus membicarakannya langsung dengannya.

“Kalau begitu akan kupanggil dia,” kata Vrijberg sambil bangkit berdiri. Tidak lama kemudian, Dirks telah berdiri di hadapan sang residen.

“Musketier,” ujar Caeff, “kau tahu bahwa aku baru saja kembali dari kastil. Dengan melihat betapa genting situasi ini, aku telah berunding dengan sultan, dan diputuskan bahwa seseorang harus segera diutus ke Batavia, membawa sepucuk surat untuk meminta bantuan sesegera mungkin. Bersediakah kau menjadi orang yang membawa surat itu?”

Sang musketier meringis, membuat wajahnya yang memang tak tampan menjadi kian lucu, lalu bertanya:

Baca Juga :  Ketua Macan Guling Tantang RD Terbitkan Novel Sultan Ageng Tirtayasa

“Bagaimana aku harus melakukannya, Yang Mulia? Melalui laut?”

“Tidak. Jika melalui laut, kami takkan memerlukan dirimu. Ini harus ditempuh lewat darat, dan secepat mungkin.”

“Alamak!” gumam si musketier sambil menggaruk kepalanya. “Pekerjaan yang berbahaya, itu!”

“Benar,” sahut Caeff, “dan justru karena itulah aku memilihmu, musketier Dirks. Kau telah lama bertugas di sini; kau mengalami pula kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi; singkatnya, kau mengenal negeri ini dan penduduknya.”

“Siap melaksanakan perintah, Yang Mulia,” jawab Dirks. “Namun… kalau boleh bertanya, bukankah seorang pribumi mungkin memiliki peluang lebih besar daripada aku?”

“Mungkin saja,” ujar sang residen, “tetapi siapa pribumi yang dapat kita percayai untuk tugas seperti ini?”

“Itu benar… benar-benar perkara yang sulit,” gumam Dirks.
Sejenak, keheningan menggantung di udara.

“Tetapi, Yang Mulia,” lanjutnya ragu, “bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan lagi?”

“Tentu. Sepuluh pun boleh,” jawab Caeff.

“Apakah tak ada orang lain yang bisa Anda tugaskan selain saya?”

“Tidak. Tak ada seorang pun yang lebih tepat.”

“Suatu kehormatan besar bagi saya,” kata sang prajurit sambil sedikit menundukkan kepala. “Kalau begitu, Yang Mulia, saya akan berangkat.”

“Bagus,” ujar sang residen, jelas gembira. “Bersiaplah secepatnya dan datanglah mengambil surat itu.”

Dirks memberi hormat ala militer lalu pergi.

“Orang yang aneh, ya,” kata Vrijberg ketika sang musketier telah menghilang di balik pintu.

Caeff tertawa kecil. “Benar. Tetapi tak ada lelaki yang lebih gagah dari dia di seluruh garnisun ini.”

***

Sementara itu, di istana sang sultan, sebuah adegan serupa sedang berlangsung.

Di dalam ruangan yang dipenuhi kemewahan bergaya Timur—permadani tebal, sutra berwarna permata, harum kayu cendana yang samar—Atjong, sang utusan muda, berlutut di hadapan majikan perempuannya yang baru saja memanggilnya.

Baca Juga :  Jokowi Minta Untirta Teladani Sultan Ageng Tirtayasa dan Syeh Nawai Albantani

Di atas tumpukan bantal sutra, tampak Sultanah, istri utama Sultan Hadji, duduk berdiam diri. Busananya gemerlap, penuh hiasan emas dan batu mulia, namun matanya menyiratkan kegelisahan—pikiran yang berkecamuk dan jauh dari menyenangkan.

Atjong tak bergerak. Ia bersujud, dahi menyentuh lantai, kedua tangan terjulur ke depan dalam sikap hormat sempurna, menunggu perintah yang mungkin menentukan nasibnya.

Tiba-tiba, Sultanah seakan kembali dari lamunannya ke dunia nyata. “Atjong,” ujarnya perlahan namun tegas, “bangkitlah.”

Anak muda itu segera mengangkat tubuhnya.

“Atjong,” lanjut Sultanah sang perempuan jelita, “aku membutuhkanmu.”

“Hamba hidup untuk Paduka,” jawab sang page tenang.

“Atjong… kau membenci Sultan Ageng, bukan?”

Untuk pertama kalinya, kepala si pemuda terangkat. Matanya menyala seperti bara yang tersulut angin.

Sultanah menatapnya tajam—tatapan liar penuh dendam, seolah ia sendiri turut merasakan bara kebencian yang membakar dada pemuda itu. Dengan tubuh condong ke depan, mata berkilat, wajah memerah oleh hasrat pembalasan, ia memandanginya sejurus, lalu berkata:

“Bukankah kau membencinya… sejak kau menjadi satu-satunya yang tersisa dari keluargamu, yang semuanya dibinasakan olehnya?”

Atjong tidak menjawab. Tangannya hanya meremas gagang kris yang terselip di pinggangnya.

“Dan kau ingin mengabdi kepada aku dan Sultan Hadji… ingin menolong kami, sekaligus membalas dendam pada orang yang hampir memusnahkan seluruh keturunanmu dengan kebuasan seekor harimau?”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang lebih rendah namun beracun:

“Dengarlah baik-baik, Atjong. Tetapi aku katakan dahulu: apa yang akan kuperintahkan padamu… sangat berbahaya.”

Pemuda itu tersenyum—sebuah senyuman merendahkan, seakan bahaya sendiri adalah hiburan baginya. “Menunggu titah paduka, Tuanku.”

“Baiklah. Kau harus pergi ke Batavia, kepada orang-orang Belanda untuk meminta bantuan melawan Sultan Ageng.”

Baca Juga :  Simbol Identitas Budaya Indonesia, Perempuan di Banten Harus Bangga Kenakan Kebaya

“Ha!” seru Atjong, napasnya terangkat oleh semangat yang tiba-tiba.

“Engkau harus berangkat hari ini juga—segera, tanpa…”

“…mengerti kau?” lanjut Sultanah. “Bagaimana caranya kau mencapai Batavia terserah padamu, tetapi ke sana kau harus tiba. Nasib kita bergantung pada itu. Biarkan dirimu jangan tertangkap atau terbunuh. Sebab bila orang-orang Belanda tidak datang menolong kita, Sultan Ageng akan menang. Ia akan kembali menjadi penguasa di Banten—dan celakalah kita, celakalah dirimu, dan semua yang berpihak pada kami!”

“Atjong tak gentar,” jawab pemuda itu mantap. “Ia mengenal semua jalan setapak, ia tak takut pada harimau, seperti juga tak gentar menghadapi para prajurit Sultan Ageng.”

“Baiklah, Atjong, pemberani,” kata Sultanah sambil berdiri perlahan. “Pergilah dan bersiaplah.”

“Aku telah siap, Wahai Matahari Banten.”

“Bagus. Tunggu sebentar.”

Ia mengambil secarik surat kecil, lalu menyerahkannya. “Sembunyikan baik-baik.”

Atjong menyelipkan surat itu ke dalam lipatan ikat pinggangnya dan tanpa menunda sedetik pun, ia bangkit, memberi hormat, lalu melangkah pergi menuju arah Serang.

Sekitar satu jam sebelumnya, sang musketier pun telah menapaki jalan yang sama—menuju Serang.

Bersambung…

Cerita ini dialihbahasakan dari De Page van De Sultane, novel sejarah tentang perang dengan Banten pada Tahun 1682 karya J. Hendrik van Balen. Penulis mengambil sudut pandang VOC yang tengah memonopoli perdagangan rempah di Banten.