Beranda Kampus Suatu Kali Perjumpaan dengan Budi Darma

Suatu Kali Perjumpaan dengan Budi Darma

Budi Darma. (Ist)

Suatu kali dalam sebuah pertemuan sastra di Palembang, Sumatera Selatan 2011 silam seorang pria berkacamata dan berpenampilan rapi laiknya seorang akademisi tulen maju ke muka forum. Tampak di wajahnya seulas senyum hangat dibagikan kepada para peserta yang umumnya para penyair. Dialah Budi Darma. Sosok yang menciptakan tokoh aneh bin ajaib bernama Ketopi, Lazarus, Rafilus dan Olenka.

Bagi saya, Budi Darma merupakan salah satu sosok yang menjadi “bintang” dalam arisan penyair tersebut. Perjalanan darat yang menguras tenaga dari Serang, Banten ke Palembang rasanya terbayar ketika bisa bercakap-cakap dengan penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri (SCB), dan tentu saja menjumpai penulis Olenka ini.

Dalam forum tersebut Budi Darma, kalau tidak salah ingat didaulat menjadi salah satu pembicara bertajuk Estetika dan Gaya Puisi Mutakhir oleh panitia PPN V Palembang. Saya menempati posisi duduk di deret paling belakang bersama rekan penyair lainnya.

Diskusi baru saja dimulai. Budi Darma menjadi pembicara kedua setelah pembicara lain yang saya lupa siapa. Dari arah belakang duduk dengan bersungut-sungut SCB sambil membawa segelas kopi. “Mana ngerti puisi dia. Cukup nulis prosa saja, nggak usah ceramah soal puisi,” ujar SCB sambil terkekeh kepada salah satu dari kami yang hadir. Perhatian kami yang masih hijau-hijau ini terbagi antara ceramah Budi Darma dan seloroh SCB di tengah berlangsungnya acara diskusi.

SCB mungkin agak tersinggung dengan Budi Darma karena salah satu esai yang ditulis guru besar di Fakultas Penididikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya (UNESA) itu dalam kumpulan esai Solilokui (1983) bahwa ada kecenderungan “bermain-main” dalam menulis puisi Indonesia belakangan ini. Salah satu gejala “main-main” itu–untuk tidak menyebut sekadar iseng–pola mengulang dan memenggal bunyi kata. Contoh yang dihadirkan Budi Darma cenderung mengarah pada bentuk puisi mantra yang menempati posisi penting puisi-puisi dan kredo SCB.

Ingat dengan tulisan itu, kami hanya tertawa saja mengenang persitiwa tersebut. Selebihnya, Budi Darma sebagai penulis jempolan dengan fasih mendadar perkembangan estetika dalam puisi Nusantara.

Dari perjumpaan itu, orang mungkin akan sering dibuat tak percaya bahwa penulis cerita-cerita ajaib cenderung liar dan begitu hidup di kepala pembaca ditulis oleh seorang yang santun dan rapi semacam Budi Darma. Ada jarak yang cukup menganga antara karya-karya Budi Darma dengan kesehariannya sebagai seorang akademisi dan guru besar sastra.

Penyajian psikologi tokoh yang kuat menjadikan cerita Budi Darma sangat akrab dan kuat membekas di kepala pembaca. Dunia “jeroan” tokoh ini yang menjadi daya tarik cerita-cerita Budi Darma. Tokoh-tokoh cerita pria kelahiran Rembang, 25 April 1937 itu kerap kali mengungkap sisi konyol, sisi gelap, dan problematis manusia. Pergolakan batin khas manusia yang kompleks dan tidak tunggal menjadikan cerita dari setiap tokohnya begitu berharga.

Pengalaman batin dari membaca cerita Budi Darma menjadikan pembaca lebih jauh menyelami kekayaan batin tokoh yang belum tentu kita dapatkan dari perjumpaan melalui pergaulan hidup sehari-hari. Dari sisi inilah menurut saya cerita Budi Darma sangat berharga.

Di sisi lain, sebagai seorang akademisi, esai-esainya tentang proses kreatif, bakat, nasib, dan hal-hal mengenai sastra patut mendapat tempat istimewa.

Kini Budi Darma telah meninggalkan kita setelah berjuang melawan COVID-19 di Rumah Sakit Islam Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/8/2021). Sosok yang produktif menulis itu tutup usia pada 84 tahun.

Jasadnya mungkin sudah pergi meninggalkan kenangan berharga setidaknya bagi saya sebagai pembaca karya-karyanya. Namun karya-karya Budi Darma yang berharga dalam khazanah kesusastraan Indonesia akan setia menemani kita dan generasi berikutnya.

Tulisan-tulisannya seperti novel Olenka (1983), Raflus (1998), dan Ny. Talis (1996); satu kumpulan cerpen, Orang-Orang Bloomington (1981); tiga kumpulan esai: Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Harmonuium (1995); Laki-laki lain dalam Secarik Kertas (Kumpulan Cerpen), dan masih banyak lainnya menjadi tanda mata yang berharga untuk dibaca, diapresiasi dan diteliti secara mendalam dalam bingkai humaniora.

Selamat jalan Budi Darma, tokoh-tokoh ceritamu yang menyenangkan menunggumu di sana. (You/red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini