Beranda Ramadan Syekh Arsyad Thawil, Pejuang Geger Cilegon Berdakwah di Tanah Buangan

[Seri Ulama Banten] Syekh Arsyad Thawil, Pejuang Geger Cilegon Berdakwah di Tanah Buangan

Syekh Arsyad Thawil. (Net)

SYEKH ARSYAD THAWIL merupakan salah satu tokoh yang ikut dalam Geger Cilegon 1888, pemberontakan melawan penjajah. Ia turut berjuang melawan penjajah bersama Ki Wasyid, Tubagus Ismail, H Marzuki, dan lainnya. Murid Syekh Nawawi Al-Bantani ini ditangkap penjajah lalu dibuang hingga ke Manado. Di tanah buangan, Syekh Arsyad Thawil tak berhenti berdakwah.

Joesoef Effendi dalam buku “Wahai putra Putra Banten — Siapa Dia?” menyebut bahwa pada Desember 1945, Presiden Soekarno menyampaikan pidato di hadapan masyarakat Banten di alun-alun Kota Serang. Pada awal sambutannya, Soekarno menyebutkan bahwa Arsyad Thawil adalah pahlawan besar dari Banten.

Arsyad lahir di desa Lempuyang, Tanara, Kabupaten Serang. Ayahnya bernama As’ad bin Mustafa bin As’ad, sementara ibunya adalah Ayu Nazhah. Tidak ada yang tahu persis tanggal dan tahun kelahirannya namun di batu nisannya tertulis bahwa ia lahir pada tahun 1851 M.

Arsyad lahir dengan nama Mas Mohammad Arsyad. Julukan “Mas” adalah singkatan dari Permas, sebuah gelar kebangsawanan Banten yang merupakan keturunan kesultanan. Sementara nama Thawil (bahasa Arab yang berarti tinggi), ia peroleh karena ada seorang teman bernama Syekh Arsyad Qashir al-Bantani, Qashir (bahasa Arab berarti pendek). Karena itu, untuk membedakannya dari Arsyad Qashir, teman-temannya kemudian menyematkan nama Thawil di balik namanya.

Arsyad menerima pendidikan agama dasar langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama dan memiliki pesantren di Tanara.
Saat usia 16 tahun, pada tahun 1867 Arsyad melakukan perjalanan menuju Bima di Pulau Sumbawa untuk belajar kepada Syekh Abdul Ghani. Namun baru sampai di Surabaya, dia bertemu dengan Syekh Abdul Ghani yang akan melaksanakan haji ke Mekkah. Selanjutnya dia menyatakan keinginannya untuk belajar kepadanya, Syekh Abdul Ghani kemudian menerima Arsyad sebagai murid sekaligus mengajaknya untuk pergi ke Mekkah.

Di Masjidil Haram, Arsyad mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Mufti Mekkah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, terutama mengenai Ilmu nahwu, fikih, dan sirah. Selain belajar kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Arsyad juga belajar kepada beberapa ulama di Mekkah, di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani dan Sayyid Abu Bakri Syatha (di bawah bimbingan kedua putranya, Sayyid Umar Syatha dan Sayyid Utsman Syatha).

Arsyad memperdalam ilmu hadis kepada Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi al-Makki di bawah bimbingan anaknya, Mufti al-Muhaddits al-Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi al-Makki. Selain itu, Arsyad juga memperoleh ilmu hadis dari ulama Madinah, Syekh Abdul Ghani bin Abi Sa’id al-Mujaddidi di bawah bimbingan beberapa muridnya, Sayyid Ali bin Zhahir al-Watri, Syekh Shalih bin Muhammad az-Zhahiri, dan Syekh Abdul Jalil Barradah. Sedangkan untuk ilmu fikih, Arsyad juga memperdalamnya kepada Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki.

Pada tahun 1893, Arsyad kembali ke tanah airnya, Banten. Saat itu Banten menghadapi bencana besar: Setelah letusan Gunung Krakatau 1883 disusul dengan wabah penyakit hewan pada tahun 1885, sampai masyarakat percaya akan tahayul dan perdukunan.

Tidak hanya itu, penjajah Belanda kemudian membuat masyarakat Banten semakin tertekan dengan hukuman yang diberikan kepada masyarakat secara tidak adil. Kemudian para ulama dan petani sepakat untuk melakukan perang total dengan pihak kolonial Belanda yang kemudian disetujui oleh Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah, Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan beberapa ulama lainnya. Bersamaan dengan itu, umat Islam mengangkat senjata untuk berjihad

Syekh Arsyad Thawil termasuk tokoh utama dalam Pertempuran Geger Cilegon 1888 sehingga termasuk yang paling dicari oleh penjajah. Setelah pemberontakan, Belanda kemudian menangkap ulama-ulama Banten dan mengasingkan mereka. Beberapa di antara yang diasingkan antara lain: Haji Abdurrahman dan Haji Akib diasingkan ke Kepulauan Banda, Haji Haris ke Bukittinggi, Haji Arsyad Qashir ke Buton, Haji Ismail ke Flores, Sementara Arsyad Thawil kemudian dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Selainnya kemudian dibuang ke Tondano, Ternate, Ambon, Kupang, dan kota lainnya. Sebelum dibuang ke Manado, Syekh Arsyad Thawil terlebih dahulu dipenjara di Serang dan Batavia.

Di tanah pengasihan, Syekh Arsyad Thawil aktif mengajar masyarakat bidang ilmu pengetahuan Islam, di antaranya adalah fikih, nahwu-sharaf, tasawuf, hadis dan lain-lain. Tidak kurang ratusan ulama dari Manado, Gorontalo, Ambon, Ternate, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Donggala, dan daerah lainnya belajar kepada Arsyad. Dia juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam ke wilayah mayoritas Kristen di Indonesia.

Arsyad menikah di tempat pengasingannya di Manado dengan seorang gadis Minahasa yang merupakan anak dari seorang pendeta setempat bernama Magdalena Runtu yang setelah memeluk agama Islam mengubah namanya menjadi Tarhimah Magdalena Runtu.

Pada tahun 1918, Syekh Arsyad Thawil memperoleh kebebasan untuk kembali ke Banten dan mendapat tawaran menjadi penghulu Serang.

Namun, dengan hati yang rendah dia menolak tawaran tersebut dan memilih kembali ke Manado. Syekh Arsyad Thawil, meninggal di Manado, Sulawesi Utara, pada hari Senin, 14 Zulhijah 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 19 Maret 1935 Masehi. Ia dimakamkan di pekuburan Lawangirung. (Ink/Red)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini