Beranda Opini Revisi UU TNI: Apa Kabar Reformasi yang Sudah Layu Sebelum Mekar?

Revisi UU TNI: Apa Kabar Reformasi yang Sudah Layu Sebelum Mekar?

Mahasiswa Ampera menggelar aksi demontrasi tolak UU TNI (Rasyid/BantenNews.co.id)

Oleh Muhammad Bayu Arya Dita

Reformasi yang Terkikis

Kita melihat bahwasannya era kekuasaan Soeharto pada saat itu menjadikan peran militer bukan hanya soal keamanan negara, namun menjadikan militer masuk dalam ranah sipil untuk mengurus persoalan sipil. Reformasi 1998 membawa harapan. TNI kembali ke barak, dwifungsi militer dipangkas, dan supremasi sipil ditegakkan. Tapi harapan itu ternyata rapuh. Kini, diterjang derasnya arus revisi Undang-Undang TNI, kita dipaksa bertanya, apakah reformasi memang sungguh hidup, atau sejak awal sudah layu sebelum mekar?

Dua dekade setelah lengsernya rezim Orde Baru, janji reformasi TNI seolah hanya menjadi bunga yang layu sebelum sempat mekar. Alih-alih melanjutkan agenda supremasi sipil, revisi Undang-Undang TNI yang kini sudah digodok justru membuka ruang bagi kembalinya dwifungsi militer dalam balutan baru. Seakan sejarah panjang keterlibatan militer di ranah sipil belum cukup memberi pelajaran pahit bagi bangsa ini. Reformasi yang dulu digadang-gadang sebagai jalan menuju profesionalisme militer, kini seperti dirundung amnesia kolektif. Dalam teori supremasi sipil yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, militer harus tunduk sepenuhnya di bawah kontrol sipil yang demokratis. Jika militer diperbolehkan mengisi jabatan-jabatan sipil secara masif, maka batas antara kekuatan sipil dan kekuatan militer menjadi kabur.

Legislasi Kilat, Partisipasi Terbatas

Pada 15 Maret 2025, suara masyarakat sipil memecah keheningan Hotel Fairmont Jakarta. Koalisi sipil yang geram menerobos pagar protokol dan menggugat langsung ke jantung Panitia Kerja (Panja) DPR. Tiga aktivis, dengan keberanian yang langka, berhasil memasuki ruang rapat dan menuntut satu hal sederhana “hentikan pembahasan revisi UU TNI yang membahayakan demokrasi”. Namun, bukannya membuka telinga, pengambil kebijakan justru mengunci pintu lebih rapat. Dalam negara demokrasi, suara rakyat seharusnya jadi kompas, tapi di hari itu, suara itu justru dianggap gangguan.

Baca Juga :  Omnibus Law Buruh Jadi Galau

Terus-menerus tanpa istirahat, pada 17 hingga 18 Maret 2025, DPR melanjutkan pembahasan melalui rapat Timus, Timsin, dan Panja dalam tempo yang luar biasa cepat. Seperti dikejar hantu, mereka mengebut pembahasan tanpa kajian mendalam dan memutuskan di balik pintu yang semakin tebal dari pengawasan publik. Dalam tempo kilat, undang-undang yang akan mengatur relasi militer dan sipil untuk puluhan tahun ke depan disusun seolah-olah hanyalah dokumen administrasi yang bisa dirampungkan dalam hitungan hari.

Akhirnya, pada 20 Maret 2025, revisi UU TNI disahkan dalam rapat paripurna DPR, disetujui nyaris tanpa riak, lalu segera dibubuhi tanda tangan Presiden, dan menjadi produk hukum yang sah. Dalam hitungan lima hari, arah reformasi yang dibangun selama lebih dari dua dekade dibelokkan begitu saja. Apakah ini wujud demokrasi yang kita perjuangkan? Sebuah sistem di mana keputusan strategis tentang militer bisa disahkan dalam keheningan, tanpa diskusi yang sehat, tanpa partisipasi yang layak. Demokrasi semestinya dibangun dengan dialog, bukan dengan kebisuan. Apa gunanya reformasi jika pintu parlemen tidak lagi terbuka untuk rakyat. Dari sisi teori demokrasi deliberatif ala Habermas, proses revisi yang minim partisipasi publik adalah pelanggaran serius terhadap prinsip musyawarah yang inklusif. Demokrasi yang sehat menuntut proses yang terbuka, bukan keputusan yang terburu-buru dalam ruang tertutup.

Apakah ini Hantu Dwi Fungsi ABRI?

Beberapa poin krusial dalam revisi Undang-Undang TNI bukan sekadar perubahan administratif. Mereka adalah tanda bahaya yang tidak boleh diabaikan. Penambahan jabatan sipil yang dapat diisi prajurit aktif, dari sepuluh menjadi empat belas lembaga, bukan perluasan peran. Namun, ini adalah salah satu jalan menuju kembalinya militer ke jantung kekuasaan sipil. Ketika prajurit aktif mulai duduk di kursi kementerian, kejaksaan, bahkan lembaga yudisial seperti Mahkamah Agung, lalu siapa yang akan mengingatkan mereka bahwa militer bukan pemilik negara.

Baca Juga :  Merawat “Demokrasi Corona” dari Terpaan Buzzer Politik

Lebih dari itu, kenaikan usia pensiun perwira TNI hingga 63 tahun, dengan peluang perpanjangan oleh Presiden, bukan sekadar soal umur. Ini adalah perpanjangan pengaruh. Makin lama perwira senior bertengger, makin lambat regenerasi, makin kokoh dominasi kelompok lama. Kekuasaan yang terlalu lama melekat tidak hanya menghambat pembaruan, tapi juga menciptakan kartel-kartel seragam yang menguasai jabatan, mengunci akses, dan memperpanjang napas kekuasaan melalui loyalitas, bukan kompetensi. Hal ini semacam membangun fondasi kekuasaan dengan cara halus.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penambahan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang kini melibatkan penanganan bencana, keamanan siber, hingga pengamanan perbatasan, tampak seperti penguatan peran. Namun jika dicermati, perluasan fungsi ini justru membuka peluang militer hadir di semua lini kehidupan sipil. Perlahan tapi pasti, ini adalah proses normalisasi kehadiran militer dalam urusan sipil, sebuah pola lama dengan kemasan baru. Revisi ini bukan soal efisiensi, bukan soal profesionalisme, ini soal siapa yang perlahan akan menguasai panggung pemerintahan. Jika kita lengah, pengaruh militer tak hanya masuk melalui barak, tapi sudah bertamu di meja-meja birokrasi dan lembaga peradilan. Dan saat itu tiba, demokrasi mungkin sudah kehilangan nadinya.

Saatnya Melawan, Bukan Membisu

Gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI bukanlah bisikan segelintir orang. Ini adalah jeritan publik yang menggema luas, tercatat dengan tegas oleh Drone Emprit sekitar 81% sentimen di media sosial menolak revisi ini. Bukan tanpa alasan. Publik mencium bau dwifungsi yang ingin diselipkan kembali, menyoroti rapat-rapat yang digelar tanpa transparansi, dan melihat jelas arah kemunduran demokrasi yang dibungkus rapi dengan dalih penguatan pertahanan. Ini bukanlah delusi semata.

Lebih dari 57 ribu orang telah membubuhkan tanda tangan di petisi Change.org untuk menolak revisi UU TNI per 28 Maret. Mereka yang menandatangani itu tidak buta sejarah. Mereka tahu betul bagaimana militer yang bertengger dalam jabatan sipil pernah membawa bangsa ini ke era otoritarianisme yang kelam. Tidak hanya itu, berbagai respon ribuan masa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa serta masyarakat sipil di berbagai daerah pun menolak dan menuntut untuk mengkaji ulang kembali revisi Undang-Undang TNI yang telah disahkan.

Baca Juga :  Pandemi Mendorong Inovasi

Penolakan ini bukan anti TNI. Kita mendukung TNI yang profesional, kuat, dan fokus menjaga pertahanan negara. Tapi ketika TNI mulai merambah ruang-ruang sipil atas nama legalitas baru, kita wajib curiga. Karena sejarah bangsa ini sudah terlalu kenyang dengan luka akibat dominasi militer dalam politik dan pemerintahan. Ini bukan soal nostalgia masa lalu. Ini tentang masa depan demokrasi. Jika revisi UU TNI ini lolos tanpa perlawanan, jangan salahkan siapa-siapa kalau reformasi benar-benar mati. Jangan biarkan demokrasi ini mati dalam senyap. Jangan biarkan tentara masuk ke ruang-ruang yang bukan haknya.

Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNTIRTA

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News