Beranda Opini Restrukturisasi Kredit: Kebijakan Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19

Restrukturisasi Kredit: Kebijakan Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19

Ismi Wafa

Oleh : Ismi Wafa, Mahasiswi PKN STAN

Penyebaran virus Corona Covid-19 kian meluas. Bayangkan saja virus ini yang semula berada di Wuhan, China kini menyebar hampir di setiap negara. pasalnya penularan virus ini terjadi melalui human-to-human transmission yang mengakibatkan penyebarannya begitu masif serta belum ditemukannya vaksin atas virus ini mendorong setiap negara memberlakukan sistem social distancing yang tujuannya untuk membatasi aktivitas fisik manusia di area umum guna memperlambat atau meratakan kurva penyebaran virus Covid-19.

Kebijakan tersebut juga diterapkan di Indonesia adanya penerapan social distancing atau keadaan yang mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak dan meminimalkan interaksi antar individu berdampak secara langsung dalam berkurangnya kegiatan ekonomi.

Pemberlakuan kebijakan lockdown di berbagai negara mematikan aktivitas ekonomi seperti ekspor impor akibatnya perekonomian menjadi lesu yang menimbulkan terjadinya PHK dimana-mana. Pengangguran meningkat, pendapat masyarakat menurun, turunnya pendapatan masyarakat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam konteks ekonomi makro pertumbuhan ekonomi dapat dirumuskan sebagai Y =C+I+G+NX dengan variabel Y sebagai pertumbuhan ekonomi, variabel C sebagai pengeluaran rumah tangga konsumen untuk konsumsi, I sebagai pengeluaran perusahaan untuk investasi, G sebagai belanja pemerintah dan NX ekspor netto. Lesunya perekonomian sebagai dampak adanya Pandemi covid-19 menurunkan daya beli masyarakat serta menurunnya investasi perusahaan yang keduanya berbanding lurus dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Menurunnya daya beli masyarakat terlebih dengan adanya permberlakuan social distancing membuat para pengusaha serta pelaku UMKM juga terkena dampak nya. Tekanan penghasilan yang dihadapi pelaku usaha UMKM terlebih bagi mereka yang memperoleh modal usahanya dari hasil kredit kepada bank sudah pasti akan kesulitan untuk melunasi cicilan hutangnya karena rendahnya pendapatan bahkan sebagian dari mereka menutup usahanya akibat merugi.

Turunnya penghasilan seseorang tentu berdampak pula pada performanya dalam membayar kredit yang akan menimbulkan kredit macet dari debitur atau suatu kondisi dimana debitur baik perorangan maupun perusahaan tidak mampu melunasi cicilannya. Dalam dunia perbankan istilah kredit macet ini disebut dengan Non Performing Loan (NPL).

Kredit macet atau NPL menjadi indikator dalam menilai kinerja bank. Semakin rendah NPL maka bank dapat dikategorikan sehat. Jika NPL tinggi maka tingkat risiko yang dipikul oleh bank juga tinggi dikarenakan uang yang telah disalurkan bank kepada debitur tidak akan kembali, akibatnya sudah pasti modal bank akan berkurang. Jika hal ini dibiarkan, maka akan berdampak pada penyaluran kredit bank pada periode berikutnya.
Untuk mengatasi multiplier effect yang ditimbulkan dari gagal bayarnya debitur akibat kejadian diluar dugaan ini serta untuk menstabilkan perekonomian, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019
Restrukturisasi kredit/pembiayaan dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 dapat dilakukan dengan cara: penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, atau konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara yang diberikan dalam periode waktu maksimum 1 tahun.

Restrukturisasi kredit atau kelonggaran kredit merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah melalui OJK dalam mendorong fungsi intermediasi perbankan, juga menjaga stabilitas sistem keuangan yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Pemberian restrukturisasi kredit yang diatur dalam POJK ini dapat diberikan kepada debitur (termasuk debitur UMKM) yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran COVID-19 baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan tanpa melihat batasan plafon kredit/ pembiayaan.

Dalam praktiknya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kebebasan kepada bank dalam menentukan skema restrukturisasi kredit yang ditetapkan kepada para debitur. Penentuan skema yang ditetapkan sangat tergantung atas penilaian bank terhadap kinerja keuangan debitur maupun penilaian atas prospek usaha dan kapasitas membayar debitur yang terdampak COVID 19. Pengajuan restrukturisasi kredit dilakukan dengan cara debitur yang terdampak atas penyebaran COVID-19 mengajukan permohonan atas restrukturisasi terlebih dahulu, setelah itu Bank akan melakukan assessment tehadap kemampuan debitur dalam pembayaran berdasarkan kesepakatan kedua pihak.

Restrukturisasi pemberian kredit juga dilakukan secara hati-hati oleh bank jangan sampai menimbulkan risiko kerugian bagi bank dengan adanya penumpang gelap atau freerider, debitur yang memang sebelum terjadi wabah COVID-19 ini sudah dikategorikan bermasalah, lantas dengan adanya wabah ini mereka memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh reaksasi. Bank harus cermat dalam menentukan debitur yang memang benar-benar dalam kondisi baik dan sehat sebelum masa pandemi Covid-19 sebab adanya free rider akan memperburuk kondisi bank setelah berakhirnya pandemi.

Pemberian restrukturisasi kredit ini pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak yakni bank dan debitur. Dilihat dari sisi bank, dengan adanya kebijakan restrukturisasi kredit ini maka bank akan terhindar dari risiko kredit macet akibat gagal bayarnya debitur. Pengusaha dan UMKM pun tetap dapat membayarkan cicilannya, sehingga bank tidak perlu menyiapkan cadangan kredit atau cadangan kerugian yang akan mempengaruhi likuiditas bank.

Dilihat dari sisi debitur, adanya pemberian relaksasi kredit berupa perpanjangan jangka waktu tentu membantu debitur terlebih bagi mereka dengan cashflow yang sedang tersendat sehingga menghindari debitur di klaim gagal bayar, dimana jika seorang debitur sudah diklaim gagal bayar maka namanya akan masuk kedalam daftar nama nasabah bank yang di-blacklist oleh Bank Indonesia yang akan menyulitkannya dalam mengajukan kredit ke bank pada periode berikutnya.

Pemberian Kelonggaran kredit juga didukung dengan stimulus yang dilakukan Bank Indonesia lewat penurunan tingkat suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 4,25 persen. Penurunan ini diharapkan bisa diikuti oleh sektor perbankan dengan menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga akan meningkatkan penyaluran kredit kepada masyarakat yang dapat digunakan untuk menjalankan usahanya dengan memperoleh modal yang terjangkau atau guna meningkatkan daya beli masyarakat.
Kebijakan di sektor perbankan ini merupakan salah satu langkah pemerintah guna menjaga daya beli masyarakat dan mendorong investasti di dunia usaha melalui keringanan pembayaran kredit bagi pelaku usaha atau UMKM yang akan membantu memulihkan pertumbuhan ekonomi nasional.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini