Beranda Opini Gerundelan Penumpang Kereta : Seputar Isu Pandemi Covid-19

Gerundelan Penumpang Kereta : Seputar Isu Pandemi Covid-19

Ilustrasi - foto istimewa flickr

Oleh : Jaja Suharja, Penulis Lepas, Alumnus Fisip Universitas Lampung

‘Telah banyak kegilaan di dalam rumah besar ini (cerpen ‘Manekin’ dalam kumpulan cerpen ‘Laluba’ – karya Nukila Amal , hal: 57)’

Jika metaphora itu kita sematkan pada ‘rumah besar’ bernama Indonesia dalam situasi krisis Covid-19. Di bawah ini adalah kisah keseharian obrolan penumpang kereta kelas ekonomi di suatu pagi, rute Merak-Rangkasbitung. Pernah dengar ada sebuah cerpen berjudul ‘Gerundelan Orang-Orang Rangkasbitung’? Dan inilah dramaturgi pandemic Covid-19 itu.

Kereta ekonomi lokal Merak-Rangkasbitung telah dibuka kembali sejak Senin (10/8/2020). Kebijakan itu disambut antusias dan menjadi obrolan panjang dua orang penumpang di depan dan di samping saya. Menjadi isu yang berkesan ‘premature’. Karena lebih semacam ‘Gerundelan’ saja dari sudut pandang dan cara berpikir masyarakat kelas bawah.

Jika prosentase pasien Covid yang melonjak di Banten sebagai argumennya penutupan lajur kereta ‘Merak-Rangkasbitung’, kenapa tidak sekalian, lajur Jakarta-Rangkasbitung juga ditutup. Karena juga masuk wilayah Provinsi Banten? Itu menjadi lebih rasional karena Rangkasbitung adalah muaranya mobilitas dari penduduk Jakarta.

Intinya dalam obrolan panjang antar dua penumpang di depan dan samping saya adalah, ‘rezim’ pemerintahan Jokowi menjadi ‘tertuduh’ dengan begitu massif. Setiap saat di setiap tempat penanganan Covid-19 oleh pemerintahan Jokowi menjadi tema obrolan ringan di dalam kereta, di dalam warung kopi juga menjadi diskusi serius dan ‘sengit’ di televisi dan life. Ribuan mata menatap layar kaca. ‘Susah untuk mencari kebenaran dalam chaotic bangsa ini’. Serba remang-remang.

Demo di Bali

Tulisan ini ingin meramaikan wacana lebih lanjut apa yang terjadi di Bali beberapa waktu yang lalu dan berakhir di pengadilan. Adalah sebuah demo yang mempersoalkan urusan administrasi perjalanan warga yang harus melengkapi pemesanan tiket ‘Kapal’ (pesawat/laut) dengan sebuah surat ‘bebas’ Covid-19 (rapid test dan swab test). Dan semalam, sebuah ‘Running text’ mengemuka di sela-sela penulis menantikan pertandingan ‘Liga Champions’ (19/8/2020). Running text tersebut berbunyi, ‘pemerintah mempertimbangkan pengurangan harga sebuah surat bebas Covid-19 (test swab)’.

Atas hal itu, penulis mendukung materi demonstrasi di Bali. Di bawah ini adalah sebuah surat penulis pada kepala gugus tugas penanganan Covid-19 di Jakarta.

Bapak Doni Monardo, janganlah ‘memutar balikkan frasa’, ATAS materi yang di demo oleh komunitas warga Bali kemarin! Adalah persoalan ‘Rapid test covid’ dan ‘swab covid’ yang dijadikan ‘administrasi’ – kalau dalam bahasa mahasiswa FISIP, persoalan Covid-19 ini telah dijadikan ‘proyek’ atau mewirausahakan birokrasi (coba pak Doni tanya pada dosen kebijakan publik, apa itu ‘mewirausahakan birokrasi?’).

Saya atau penumpang yang akan menyeberang ke pelabuhan Bakauheni dari pelabuhan Merak misalnya, ‘dipaksa’ melakukan Rapid test dengan ‘todongan biaya’ administrasi?
Hello, logikanya jangan dibalik !!!!
Pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit sampai meninggal dan jenazahnya diangkut ambulans (itu gratis lho, ditanggung pemerintah). Nah, ini cuma sekedar administrasi perjalanan (selembar kertas), itu warga negara harus mengeluarkan uang? Ini yang didemo warga Bali kemarin dan saya setuju materi demonya!!!.

Ombudsman seharusnya mempertanyakan hal ini kenapa, rumah sakit melalui Menteri Kesehatannya menyatakan bahwa, ia setuju ‘pungutan’ pembuatan surat keterangan Rapid test!!!! Kalau begitu mendingan warga ini, dirawat saja sekalian di rumah sakit dengan positif Covid! Biaya ‘besar’ perawatan Covid di rumah sakit gratis tapi, untuk ‘selembar kertas’? Warga harus bayar? Gimana cara berpikirnya Presiden Jokowi ini?

Korupsi Administrasi

Administrasi menjadi persoalan serius dalam keseharian urusan vis a vis warga versus birokrasi. Dan rezim pemerintahan Jokowi melalui menteri kesehatannya telah menyetujui ‘besaran dana’ pungutan oleh Rumah sakit terhadap warga yang membuat surat ‘bebas Covid-19’ (Rapid test dan swab test).

Yang menyeruak ke publik di masa pandemi Covid-19 adalah korupsi administrasi. Bahwa Negara berusaha mendisiplinkan warganya agar mematuhi prokol kesehatan. Memakai masker, cuci tangan, jaga jarak. Adalah tiga perilaku yang antagonistis digunakan sebagai ‘modus’ perilaku korupsi bahwa, ‘memakai masker’ adalah sedikit mungkin berinteraksi dan berbicara ke publik atas penanganan yang ‘benar’ bahwa misalnya hanya test swab yang akurasinya 99 persen. Sementara rapid test kalau pun negatif hasilnya adalah bisa menjadi ‘negatif palsu’. Dan itu pemborosan anggaran.

Itulah materi demo orang Bali kemarin. Namun ‘Rapid test’ terlanjur jadi program ‘andalan’ pemerintahan Jokowi. BIN, Kejaksaan, Pemerintahan Daerah, Puskesmas apalagi. Semua mengadakan program ‘Rapid test’ karena ada anggarannya dari pemerintah pusat. Seolah dengan banyaknya rapid test itu telah tunjukkan ke publik bahwa, pemerintahan Jokowi serius menanggulangi pandemi Covid-19. Inilah cara publik memperbandingkan ‘perilaku birokrasi’ di Indonesia dengan negara lain dalam penanganan Covid-19.

‘Apakah di negara Malaysia yang serumpun itu, apakah sebuah test swab dengan selembar surat ‘negatif’ Covid itu, berbayar dengan sejumlah uang sebagai administrasi? Jika Malaysia tidak memungut ‘ringgit’ pada warganya, apa Joko Widodo tidak malu melihat realitas itu? Katanya Jokowi adalah presidennya wong cilik?

Itu baru satu kasus birokrasi belum lagi kasus birokarsi pengurusan jenazah di sebuah rumah sakit daerah si Banten. Bahwa, sebuah keluarga pasien meninggal yang bukan Covid-19 telah ‘dinego’ oleh pihak rumah sakit, agar mengaku pasien Covid dengan modus bahwa, rumah sakit daerah yang menangani pasien itu bisa mendapatkan bantuan pemerintah pusat.

Ini yang oleh mahasiswa ilmu pemerintahan di Universitas Lampung disebut ‘Mewirausahakan Birokrasi’ dalam mata kuliah kebijakan publiknya. Dalam sebuah kesempitan ada kesempatan. Tapi ironisnya, lembaga KPK tak bisa mencium ada praktik koruptif seperti itu. Bagaimana dengan polisi? Sampai tulisan ini penulis susun, Polri baru membentuk tim khusus. Bukankah Indonesia sangat lambat bergerak?

Birokrasi yang Memihak Pada Rakyat

Ombudsman dibentuk di Indonesia adalah bervisi demikian. ‘Birokrasi yang sehat berawal dari persoalan administrasi yang tak berbelit dan itu harus murah!’

Sepanjang kasus Covid-19 ini, penulis sama sekali tidak mendapatkan kabar bahwa, Ombudsman telah duduk satu meja dengan lembaga berwenang, terkait penanganan Covid-19 perihal membebaskan rakyat dari persoalan administrasi yang memberatkan (bertarif). Kasus demo di Bali misalnya. Tidak ada statement dari Ombudsman tentang kebenaran materi demonya . Hanya ada sebuah statement absurd dari Doni Monardo perihal ‘moral’ warga terkait Covid-19. Hanya himbauan yang menghantam ruang kosong. Bukan solusi dari seorang kepala gugus tugas nasional penanganan Covid-19.

Di bawah ini adalah usul penulis yang ‘Revolusioner’ :

1. Segera sampaikan statement Presiden joko Widodo perihal berdirinya ‘kantung-kantung test swab pada warganya dan harus gratis’. Hilangkan pungutan liar terkait pengurusan surat negativ Covid. Karena ‘dirawtanya saja seorang pasien Covid adalah gratis!’. Presiden Joko Widodo ‘mencak-mencak’ pada menterinya saat rapat kerja, perihal kinerja di bawah standar dari pembantunya di masa krisis pandemic Covid-19. Dan publik sampai hari ini tidak melihat para menteri itu patuh dan memperlihatkan kinerja apa saja yang dengan cepat diberikan pada warga. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan misalnya.

Selalu ‘sadar kamera’ dan rajin sampaikan statement ini dan itu. Apakah hasilnya? Misalnya Muhadjir Effendy telah rapat terbatas dengan Menteri Pendidikan dan pimpinan BUMN perihal ‘internet gratis’. Kan selama ini hanya warga menginisiasi bentuk sumbangsih moral demikian. Seorang pemilik café di sebuah kota memberikan sumbangan fasilitasnya. Apa Muhadjir Effendy datangi warga itu? Itu sebagai contoh bahwa menteri Jokowi gesit menangkap isu dan memberikan solusi. Segera ganti Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Karena tidak ada satu pun hal konkret, ‘pembangunan manusia apa yang telah Muhadjir Effendy berikan pada Joko Widodo sebagai kinerjanya!’

2. Maka, wajar jika saat ini ada gerakan moral mengatasnamakan KAMI. Itu satu dari sekian bentuk nyata ‘Gerundelan’ dari rakyat terdidik.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini