
SERANG – Letak geografis Banten yang merupakan wilayah kompleks bencana alam atau multi-hazard ternyata sudah disadari oleh Suku Baduy sejak ratusan tahun silam. Melalui struktur rumah panggung yang fleksibel, mereka telah mengantisipasi robohnya bangunan saat gempa bumi mengguncang.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Cecep Eka Permana menjelaskan bahwa secara letak, Suku Baduy yang mendiami pegunungan Kendeng di Banten Selatan memang aman dari risiko bencana tsunami atau banjir.
Namun, mereka masih sangat rentan terdampak bencana gempa bumi. Kesadaran akan potensi gempa itu tampak dalam mitigasi bencana berupa material rumah adat yang terdiri dari kayu dan bambu yang diikat menggunakan purus dan coak. Karena itu rumah adat mereka cenderung fleksibel ketika gempa melanda.
“Rumah orang Baduy memang fleksibel, kalau bergoyang ya bergoyang aja jadi tidak akan jatuh,” kata Cecep saat jadi pembicara di acara diskusi budaya bertajuk ‘Mitigasi Bencana dalam Tradisi Lisan Urang Kanekes’ yang digelar di alun-alun Kota Serang, Jumat (2/5/2025).
Tapi rumah-rumah seperti itu, kini hanya bisa ditemui di Baduy Dalam saja. Sebab di Baduy Luar, kata Cecep, saat ini material bangunan rumah dan aturan tata letaknya sudah tidak menyesuaikan dengan kontur tanah, berbeda dengan Baduy Dalam.
“Di Baduy Dalam itu ada larangan untuk mengolah permukaan tanah, kalau dia miring yaudah biarkan miring saja gaboleh diganggu, beda dengan di Baduy Luar itu sudah diratakan (tanahnya) yang berbahaya lagi urukannya, apalagi rumah di Baduy Luar itu sudah menggunakan paku, dan itu lebih tidak bisa fleksibel lagi,” ujarnya.
Mitigasi lainnya adalah yang berkaitan dengan kebakaran. Letak rumah masyarakat Baduy Dalam yang berdekatan membuat rumah mereka rentan terbakar seluruhnya jika dilahap si jago merah.
Kebakaran biasa timbul akibat dari parako atau kebiasaan menggunakan minyak tanah.Mitigasi yang mereka lakukan yaitu dengan cara membangun leuit atau lumbung pangan yang jauh dari pemukiman.
“Pangan ini harus selamat (jika terjadi kebakaran) sehingga dibuat terpisah,” jelasnya.
Selain mitigasi kebakaran di pemukiman, masyarakat Baduy Dalam juga melakukan mitigasi kebakaran hutan dengan cara setiap kali masyarakat menebang pohon, ada acara pembakaran yang digelar dalam waktu tertentu.
Penentuan waktu itu diperhitungkan dari arah angin dan cuaca yang dikhawatirkan bisa memicu kobaran api membesar.
“Waktu membakar itu pasti semua wilayah Baduy seperti berasap karena dilakukan serentak, tidak sembarangan waktu,” kata Cecep.
Upaya mitigasi lainnya adalah bagaimana masyarakat Baduy masih konsisten menjaga kelestarian alam yang berimplikasi minimnya bencana seperti longsor. Hutan yang ada di kawasan Baduy sangat dijaga karena memiliki peran penting terhadap daerah aliran sungai.
Direktur Eksekutif Rekonvasi Bhumi, Nana Prayatna Rahadian mengatakan masyarakat Suku Baduy tidak menebang hutan mereka secara liar karena mereka tau itu akan menyebabkan longsor.
Masyarakat Baduy juga konsisten menjaga mata air, bukan hanya untuk kepentingan mereka saja tapi juga demi kepentingan masyarakat lain.
“Orang Baduy itu punya pemikiran yang sangat maju, ketika mereka menjaga mata air bukan demi kepentingan mereka tapi untuk kepentingan para peladang di wilayah utara yaitu di Serang, jauh loh lintas wilayahnya,” kata Nana dalam acara yang sama.
“Kita mah boro-boro bagi-bagi jeng baturnya, parebut nu aya (Kita mah jangankan berbagi, rebutan ada juga),” imbuhnya.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Usman Temposo