Beranda Opini Laylat Al-Qadr: Mencetak Kualitas Iman dengan Jalan Sunyi

Laylat Al-Qadr: Mencetak Kualitas Iman dengan Jalan Sunyi

Salim Rosyadi, M.Ag Dosen Ilmu Tafsir UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Pengurus Wilayah Al-Khaeriyah Banten

Oleh: Salim Rosyadi
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Pengurus Cabang GP Ansor Kabupaten Lebak

Ramadhan bagi umat muslim tak seperti bulan lainnya, ia memiliki banyak keistimewaan. Selain bulan yang penuh limpah berkah, di dalamnya terdapat juga rahasia Laylat Al-Qadr yang lebih baik dari pada malam seribu bulan, begitulah Allah berfirman.

Tuhan merahasiakan Laylat Al-Qadr memang sebanding dengan keistimewaannya. Bagaimana tidak, pada malam berkah itu al-Qur’an diturunkan, juga para mara malaikat mendapat tugas mulia untuk menebar Rahmat ke penjuru alam. Sehingga barang siapa yang berbuat kebaikan pada saat yang bertepatan, niscaya pahala yang didapat akan berlimpah.
Sayangnya, tidak setiap muslim memperoleh kenikmatan malam keberkahkan itu, ia hanya menghampiri orang-orang yang digariskan Allah yang pantas mendapatkan. Sekalipun demikian, tentu hal ini tidak menjadikan patah semangat dalam menggapainya, karena Tuhan selalu memberi kemudahan bagi umatnya. Saat ada ikhtiar di saat itu pula pintu kehendakNya terbuka lebar.

Laylat Al-Qadr dalam pandangan Quraisy Shihab sejatinya dimaknai sebagai malam penetapan Allah bagi perjalaan hidup manusia. Karena pada malam itu, al-Qur’an diturunkan sebagai simbol pengatur, penetapan khiththah sekaligus strategi Nabi guna mengajak manusia kepada agama yang benar untuk menetapkan perjalanan sejarah hidupnya, baik sebagai individu maupun kelompok (Quraish Shihab: Membumikan al-Qur’an, 312).

Mayoritas ulama berpendapat, kehadiran Laylat Al-Qadr hanya dapat dijumpai pada bulan Ramadhan, hal ini seiring dengan peristiwa al-Qur’an pertama kali dirutunkan pada bulan yang sama, sebagaimana diperkuat dengan firman Allah, “bulan Ramadan, ialah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Qs. al-Baqarah [2]: 184). Kehadiran al-Qur’an bersamaan Laylat Al-Qadr menjadi momentum sejarah kenabian, karena saat itu terdapat dua peristiwa yang tidak dilupakan, yaitu turunnya wahyu pertama sekaligus pengangkatan dirinya sebagai utusan Ilahi.

Kegelisahan yang menghampiri Nabi beberapa tahun ke belakang telah pecah di saat dirinya mendapat petunjuk Tuhan mengenai cara pandang diri dan kehidupan masyarakat. Melalui jalan sunyi, Nabi melakukan perenungan serta membiasakan diri untuk menyendiri di Gua Hira yang ternyata telah menghantarkan dirinya untuk membentuk kualitas keimanan yang unggul baik personal maupun untuk tatanan masyarakat saat itu.

Dengan demikian, gua Hira menjadi simbol pembentukan jati diri Nabi dalam membawa risalah kebenaran atas kebathilan sebagai manifestasi Bayināt mi al-Huda wa al-Furqān, sekaligus menuntun jalan dari kegelapan menuju terang benderang (min al-Dzulumāt ila al-Nûr).

Mencetak Kualitas Iman

Merenung dan menyendiri adalah jalan sunyi yang ditempuh Nabi untuk memperoleh kebenaran. Namun bagi umatnya hal itu dapat diinterpretasikan yang berbeda, perenungan dan sekendirian dapat dimaknai i’tikaf.
Jika Laylat Al-Qadr menjumpai nabi saat beri’tikaf di gua Hira, maka i’tikaf bagi umatnya berarti merenung dan berdiam diri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikir dan ibadah sambil berharap berkah malam seribu bulan.

Dengan demikian, i’tikaf adalah salah satu ikhtiar umat muslim dalam meraih kemenangan. I’tikaf idealnya dilakukan di Masjid, namun dalam kondisi seperti ini tentunya boleh juga dilakukan pada tempat khusus yang biasa dijadikan tempat ibadah. Menurut Imam al-Syafi’i ia dapat dilakukan kapan saja, di mana saja selama ia dapat dijadikan tempat ibadah. Bahkan ia juga dapat dilakukan waktu berapa lama saja walaupun hanya sesaat selama dibarengi niat yang suci.

Selain mengharap limpahan berkah Laylat Al-Qadr, i’tikaf juga diharap mampu mencetak kualitas iman melalui perenungan dan koreksi diri, seberapa dekat dirinya dengan Allah dan seberapa jauh melangkah menuju arah yang lebih baik.

Dzikir dan fikir menjadi ikhtiar amalan kita untuk mendapat pintu rahmat Laylat Al-Qadr, sementara do’a adalah kunci pembukanya. Sehingga tujuannya dapat menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat sebagaimana do’a yang selalu dipanjatkan, “Rabbana atina fi al-Dunya Hasanah wa fi al-akhirati hasahah wa qina ‘adzab al-nar” (wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).

(**)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini