Beranda Opini Menjumpai Komunitas Sastra di Banten

Menjumpai Komunitas Sastra di Banten

Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya).

Oleh: Sulaiman Djaya, penyair di Kubah Budaya

Saya mengenal secara langsung para penulis di Banten yang karya-karya mereka mendapatkan tempat secara nasional, sebutlah seperti M Nanda Fauzan, Niduparas Erlang, Herwan FR, Arip Senjaya, Wahyu Arya, Irwan Sofwan, Dody Kristianto dan yang lainnya, yang mana karya-karya mereka telah dipublikasi media-media nasional berwibawa.

Selain itu, untuk konteks media dan publikasi karya-karya, yang bahkan menampung para penulis dari seluruh Indonesia, Banten pun patut bersyukur dengan kehadiran sosok seperti Encep Abdullah dan timnya yang menggawangi media digital dan publikasi cetak untuk para penulis muda. Selain mereka juga menghidupkan komunitas mereka. Bahwa kerja kepenulisan pun tidak mungkin mengabaikan peran komunitas dan media publikasi.

Banten pun patut berbangga, sebab beberapa nama dari nama-nama yang saya sebutkan itu telah menjuarai sayembara penulisan tingkat nasional, yang artinya telah melakukan pencapaian tertinggi dalam jagat sastra nasional Indonesia. Banten pun melahirkan penulis-penulis muda lainnya yang tak kalah berprestasi seperti Ade Ubaidil, M. Rois Rinaldi, Ihya Dinul Alas, Yudi Damanhuri dan yang lainnya.

Lahirnya publikasi dan penerbitan kesusastraan di Banten, jika dilihat secara objektif, bersamaan dengan berpisahnya Banten dari Jawa Barat. Sebelum-sebelumnya tidak ada publikasi-publikasi atau cetak buku-buku sastra di Banten oleh para penulis di Banten. Kesemarakan itu terhitung mulai sejak tahun 2000-an, yah bersamaan dengan berpisahnya Banten dari Jawa Barat.

Ada pun kelahiran komunitas sastra di Banten, makin semarak dan hidup bersamaan dengan hadir para pengajar sastra di perguruan tinggi di Banten, yang dalam hal ini Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang kebetulan juga para penulis, seperti almarhum Moh. Wan Anwar, Arip Senjaya, Herwan FR, Ahmad Supena dan lainnya yang adalah juga para pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di universitas itu.

Tentu, kelanjutan iklim kepenulisan di Banten memerlukan ekosistem dan dukungan yang baik. Untuk saat ini, media publikasi yang terbilang prestisius dan berwibawa adalah Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Provinsi Banten yang digawangi Dody Kristianto. Tanpa dukungan dan ekosistem yang baik, bukan tidak mungkin iklim kreatif kepenulisan di Banten akan mati.

Perlu sekali lagi ditegaskan, diantara yang juga memiliki peran vital adalah kehadiran komunitas kreatif kepenulisan yang bisa menjadi wadah bersama untuk diskusi dan pengayaan. Bagaimana pun kerja kepenulisan, sebagaimana kerja kebudayaan lainnya, adalah kerja komunal meski ruang kreatif setiap penulis dan seniman adalah ruang privat mereka.

Saya sendiri, sejak masih di Jakarta, aktif di komunitas-komunitas pembelajaran dan diskusi, tentu komunitas-komunitas seni saat itu di mana teman-teman saya berada. Dan ketika balik ke Banten, almarahum Wan Anwar mengajak saya untuk gabung di komunitas yang diasuhnya, meski sebelumnya saya lebih dulu kenal komunitas Rumah Dunia asuhan Gola Gong dan Toto ST Radik.

Kemudian saya merasa lebih betah dengan komunitas yang diasuh almarhum Wan Anwar tak lain karena iklim dan situasi lesehan dan diskusinya lebih cair, tidak terlalu formal, lebih bersuasana guyub. Di komunitas itulah nimbrung para mahasiswa-mahasiswi dan nama-nama yang kemudian menjadi para penulis yang karya-karya mereka saat ini mendapatkan tempat prestisius secara nasional.

Komunitas bisa menjadi wadah keratif atau kawah candradimuka yang memberi pembekalan dan penggemblengan karena kultur diskusi dan pengayaan yang dimungkinkannya. Komunitas kreatif kepenulisan merupakan bagian ekosistem kreatif kepenulisan. Mereka yang ingin belajar menulis, bisa minta pendapat kepada yang telah berhasil, yah di komunitas. Begitu pun yang telah berhasil, bisa berbagi kepada generasi selanjutnya. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News