Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan
Dengan adanya kekalahan pasukan Ki Wasid di Toyomerto, apakah semangat untuk berjuang lantas padam?. Ternyata tidak. Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail justru merencanakan serangan kedua terhadap Cilegon yang sudah diduduki tentara kolonial. Malam harinya Ki Wasid, H.Tubagus Ismail berkumpul di alun-alun lantas pasukannya dua kali menyerang penjara, namun selalu dibalas dengan tembakan tentara.
Adanya penyerangan tersebut, membangkitkan amarah kolonial Belanda. Berbarengan dengan itu, bala bantuan tentara kolonial yang mendarat di Karangantu langsung dikirim ke Cilegon. Hari itu juga, diadakan rapat dipimpin Residen Banten, hasilnya harus segera dilakukan operasi militer untuk mengejar dan menangkap para pejuang yang keberadaannya sudah terpecah.
Di bawah komando Kapten De Braw, satu pasukan berangkat menunju Beji, kampung tempat tinggal Ki Wasid karena ada info Ki Wasid dan pasukannya ada di situ. Pasukan kolonial berangkat melalui Kependilan, Tengkurak, Kubang Laban lor hingga ke Gunung Santri. Sementara pasukan Raden Pena, Kapten Hojel dan Van Rinsum berangkat melalui Pecek, Tunggak, Wadas ke Gunung Santri.
Beji saat itu dikepung, penyerbuan akan dilakukan menjelang matahari terbit. Namun ketika penyerbuan dilakukan di pagi hari itu, pihak kolonial tertipu lantaran pada saat rumah-rumah digeledah di dalamnya hanya terdapat lampu yang masih menyala, sementara penghuninya sudah tidak ada.
Entah disengaja atau tidak, pada saat penggeledahan di satu rumah, ada lampu yang jatuh dan mengakibatkan rumah terbakar hingga merembet ke seluruh rumah di kampung itu. Alhasil, kampung Beji luluh lantak karena rumah-rumah dilalap api, kecuali rumah H.Abdul Karim yang tidak terbakar meskipun berada di tengah-tengah rumah yang terbakar.
Pengejaran terus dilakukan, ada info Ki Wasid ada di Kampung Ciora, tentara bermaksud mengejar ke sana, namun dalam perjalanan lebih mendahulukan pencarian pelaku pemberontakan di kampung Kedung dan Terate Udik.
Saat tiba di Kedung —sama halnya dengan di Beji— , hanya rumah kosong yang didapat. Namun saat itu tentara melihat dua orang berlari, satu ditangkap satunya lagi berhasil meloloskan diri. Tentara kemudian mengancam, jika yang melarikan diri tidak mau menyerahkan diri atau tidak ada yang memberi tahu dimana tempat bersembunyi para pemberontak dalam waktu seperempat jam, kampung akan dibakar. Waktu yang diberikan sudah lewat, tapi tidak ada seorangpun yang mau memberitahu, pada akhirnya rumah- rumah di kampung itupun dibakar habis.
Kini giliran kampung Terate Udik, kampung ini merupakan tempat tinggal pejuang yang jadi pimpinan pemberontakan yakni H.Mahmud. Tak ayal kampung ini disasar dan digeledah untuk mencari keberadaan H.Mahmud dan pejuang lainnya. H.Mahmud ditangkap di rumahnya.
Pencarian terhadap pejuang lainnya terus dilakukan, namun pihak kolonial tidak mendapatkan info apapun lantaran tak ada orang yang mau memberitahu alias tutup mulut. Akibatnya rumah-rumah di kampung Terate Udik dibakar termasuk rumah H.Mahmud. Diketahui bahwa perintah untuk membakar rumah-rumah penduduk ini datang dari kontrolir De Cauvigny de Blot.
Operasi militer pencarian dengan maksud menangkap para pejuang pemberontakan terus ditingkatkan pihak kolonial. Hampir semua desa yang dianggap banyak pengikut/anggota atau pimpinan pasukan Ki Wasid diobrak-abrik seperti Tunggak, Cibeber, Bojonegara, Ciore, Citangkil, Seneja. Namun upaya itu sia-sia karena para pelaku atau pimpinan pejuang pemberontakan tidak ada di kampungnya masing-masing. Di lain pihak, di wilayah-wilayah tertentu, para pejuang yang terpisah dari pasukan induk Ki Wasid terus mengadakan perjuangan perlawanan meskipun berujung maut baik berkelompok maupun sendiri-sendiri.
Pada tanggal 17 Juli 1888, seorang pejuang menyerang tentara yang sedang berjaga di pos gardu Benggala Serang. Meskipun hanya seorang diri, tanpa menghiraukan perintah untuk berhenti, terus menyerang dengan senjata yang dibawanya (Golok). Melihat anak buahnya diserang dengan golok, komandan jaga kemudian membidikkan senjata api menembak pejuang tersebut dan meninggal di tempat. Setelah diadakan pemeriksaan, diidentifikasi jenazah tersebut adalah H.Ishak dari Seneja yang selama ini dicar-cari karena termasuk pimpinan pemberontakan.
Peristiwa lain, H.Madani dan H.Jahli (Ciore) yang memisahkan diri dari pasukan Ki Wasid, bersembunyi beberapa hari di kampung Cipinang –kemungkinan Cipinang Grogol– , malang bagi kedua pejuang tersebut, keberadaannya ada yang melaporkan kepada pihak yang berwajib. Saat itu juga dikirim satu kavaleri dan pasukan infanteri di bawah pimpinan Kontrolir Herkes dan Patih Raden Pena sebagai penunjuk jalan.
Diketahui H.Madani dan H.Jahli bersembunyi di dalam masjid, tanpa ragu dua orang tentara mendobrak pintu masjid, kondisi di dalam masjid sunyi, tentara mengira sudah tidak ada alias sudah kosong. Namun tiba-tiba tentara itu diserang dari belakang, terjadi perkelahian sengit, tentara itu mengalami luka bacok yang sangat parah, datang bantuan dari tentara lainnya sebelum pada akhirnya menembakkan senjatanya ke arah H.Madani dan H.Jahli, keduanyapun gugur.
Demikian pula yang menimpa Agus Suradikaria dan dua orang pengikutnya yang juga memisahkan diri dari pasukan induk. Ketiga pejuang ini bersembunyi di sebuah kampung Kusambisaba, masuk wilayah afdeling Serang. Militer mengirimkan tentara di dampingi Patih Serang sebagai penunjuk jalan. Sesampainya di sana, rumah tempat bersembunyi dikepung tentara, Patih berteriak minta supaya Agus Suradikaria keluar menyerahkan diri.
Bukannya menyerah, dua dari ketiga orang ini menjawabnya dengan serangan terhadap Patih. Dengan sigap, tentara membidikkan senjata, dua orang ini –salah satunya Agus Suradikaria– pada akhirnya tewas terkena peluru. Adapun yang seorang lagi berusaha melarikan diri, tapi kemudian ditangkap lalu ditusuk sangkur oleh tentara, ia pun gugur. Dua orang pengikut Agus Suradikaria ini ternyata H.Nasiman dan seorang agen polisi yang diperbantukan kepada jaksa di Cilegon.
Para pejuang Geger Cilegon yang saat itu sudah tercerai berai, terus diburu tentara kolonial. Suatu saat tentara berhasil mendeteksi persembunyian pelaku pemberontakan H.Kasiman dan H.Arbi. Menurut info mata-mata, H.Kasiman dan H.Arbi bersembunyi di kampungnya Citangkil setelah lolos dari pengejaran sebelumnya saat bersembunyi di kebun tebu dekat Cigading.
27 Juli 1888, rumah H.Kasiman dan H.Arbi dikepung tentara lengkap dengan persenjataan. Ketika H.Kasiman mendengar suara derap kaki kuda pasukan kavaleri tentara kolonial, segera lari dari rumah diikuti pula oleh H.Arbi, namun diketahui tentara. H.Kasiman berhasil kabur, sementara H.Arbi tidak sempat.
Ia pun menyadari bahwa sudah tidak mungkin bisa melarikan diri, baginya sekarang adalah soal hidup atau mati. Ia pun kemudian mencabut kelewang (golok) dan berusaha membacok tentara beberapa kali. Namun beberapa saat kemudian, serentetan tembakan dan sabetan pedang dari tentara, menamatkan riwayatnya, ia gugur dalam perlawanan.
Meskipun H.Kasiman bisa lolos dari rumah, pengejaran terus dilakukan, tempat persembunyiannya dikepung, pihak kolonial minta agar H.Kasiman keluar dan menyerahkan diri. H.Kasiman menyadari bahwa sudah tidak mungkin lagi melarikan diri. Muncul niatnya untuk melawan sampai mati, ia berdiri di tengah sawah sambil mengacungkan senjatanya —keris–, menantang pasukan tentara kolonial, ia tak mau menyerah. Melihat keberanian dan kenekatan H.Kasiman, pada akhirnya komandan pasukan memerintahkan anak buahnya untuk menembaknya, H.Kasiman gugur.
Orang yang paling dicari oleh pihak kolonial pasca pemberontakan tak lain adalah Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail beserta pasukannya. Setelah seminggu mengobrak abrik beberapa kampung yang dianggap berpotensi dijadikan tempat persembunyian para pejuang, namun hasilnya nihil. Residen Banten lalu mengumpulkan seluruh Kepala Desa. Bupati Serang menyampaikan pidatonya tentang kewajiban Kepala Desa membantu pemerintah dalam usaha mengejar dan menangkap pimpinan-pimpinan pemberontakan termasuk para pengikutnya.
Dalam pertemuan inilah kemudian pemerintah menjajikan hadiah 500 gulden bagi siapa saja yang sanggup menyerahkan Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail atau tokoh-tokoh lain yang ikut dalam pemberontakan hidup atau mati. Kepala Desa serentak menjawah “ya”, tapi dengan sikap yang tidak sungguh-sungguh.
Keesokan harinya, dua detasemen tentara dikirim ke Ciore, satu detasemen lagi menyusul. Selama dua hari tentara mengobrak abrik kampung ini dalam upaya mencari dan menangkap Ki Wasid dan pasukannya, meskipun demikian nampaknya upaya ini sia-sia belaka, tak menghasilkan apa apa.
Pihak kolonial nampaknya terkecoh dengan terpisahnya beberapa rombongan pasukan dari pasukan induk yang dipimpin Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail. Sartono Kartodirjo memberikan satu analisa, bahwa kemungkinan hal ini adalah strategi untuk mengalihkan perhatian tentara kolonial dalam upaya mencari pasukan induk Ki Wasid agar bisa meloloskan diri dari pengejaran. Disamping itu, pihak kolonial juga terkecoh dengan adanya informasi dari rakyat yang telah memberikan kabar bohong tentang kemana Ki Wasid bersembunyi. Pemerintah kolonial sangat geram, lagi-lagi mengumumkan pemberian hadiah bagi yang bisa menangkap pimpinan pemberontakan, kali ini hadiahnya dinaikkan menjadi 1000 gulden.
Sebenarnya kemana Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan pasukannya bersembunyi hingga tidak bisa ditemukan pihak kolonial. Ternyata sehari setelah pertempuran di Toyomerto serta adanya kabar datangnya bantuan militer dari Batavia, pasukan Ki Wasid menyingkir dari Cilegon ke Kampung Kaligandu, istirahat di rumah H.Nasiman. Esoknya berangkat lagi menuju kampung Ciora berhenti di rumah H.Madani, di kampung Ciore ini sempat menginap satu malam, esoknya berangkat lagi. Adapun yang dituju adalah Gunung Gede. Para pimpinan pejuang pemberontakan berpendapat bahwa Gunung Gede cocok dijadikan tempat untuk bertahan.
Namun sesampainya di Gunung Gede, para pejuang pemberontakan mendengar kabar bahwa pihak kolonial telah membakar kampung-kampung dalam upaya mencari mereka. Mendengar kabar tersebut, rombongan merasa was-was, mereka berpendapat jika tetap bertahan di Gunung Gede, besar kemungkinan akan dikepung dan ditangkap atau dibunuh pasukan tentara kolonial. Atas dasar itulah, maka Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail sebagai pimpinan, mengambil keputusan untuk mencari daerah baru untuk bertahan.
Hari itu tanggal 14 Juli 1888, pasukan Ki Wasid meninggalkan Gunung Gede untuk menuju daerah yang sudah disepakati. Kali ini jalan yang ditempuh untuk sampai ke daerah tujuan, melalui pesisir hingga pada akhirnya sampai di muara sungai Krenceng dan bermalam di situ. (*)
Bersambung