Beranda Sosial Kisah Sejarah KH Syam’un Melawan Pentolan Komunis di Banten

Kisah Sejarah KH Syam’un Melawan Pentolan Komunis di Banten

Brigjen Syam'un. (Foto: istimewa)

SERANG – Presiden Joko Widodo telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Brigjen Syam’un. Menurut catatan sejarah, sosok Sang Kiai sempat diasosiasikan dengan komunis, meski akhirnya beraksi menumpas pemberontakan kelompok kiri itu.

KH Syam’un lahir pada 5 April 1894, di Cilegon, yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Serang, di tengah kultur Banten yang Islami. Ayahnya adalah pejuang bernama KH Wasyid, pernah melawan Belanda pada peristiwa Geger Cilegon, tahun 1888.

Sebagaimana dijelaskan Matia Madijah dalam bukunya, ‘Dokter Gerilya’, terbitan Balai Pustaka tahun 1993, di masa penjajahan dulu, ulama enggan menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda. Mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya ke Mesir. Syam’un adalah salah satunya. Bahkan Syam’un muda sempat berkelana ke negeri lain di kawasan Timur Tengah sampai Iran.

Dijelaskan Rahayu Permana dalam ‘Nilai Gigih alam Biografi KH Sjamun (Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah Vol 1 No 1)’, Syam’un berangkat ke Mekah untuk mendalami ilmu agama pada 1905, selesai tahun 1910. Dia lanjut ke Mesir sampai tahun 1915 untuk belajar ilmu fikih, dan balik lagi ke Mekah sampai pertengahan 1916.

Masyarakat Banten punya kekhasan. Selain ulama, masyarakat menghormati sosok jawara. Jawara diasosiasikan sebagai orang yang jago silat, sakti, disegani, dan berkuasa. Syam’un yang telah mengenyam pendidikan di Al Azhar itu bukan hanya ulama, namun juga jawara. Syam’un dipandang mampu mengatasi kelompok-kelompok ekstrem kala itu.

“Tokoh yang memiliki kapasitas dan kualitas seperti itu, di Banten hanya beberapa orang saja, di antaranya Kolonel KH Syam’un,” tulis Matia seperti dilansir detik.com.

Syam’un makin tumbuh menjadi tokoh yang disegani. Dia dan satu ulama terkemuka lagi yakni KH Ahmad Chatib mendapat pendidikan militer dari Jepang dan menjadi Daidanco (semacam Komandan Batalyon). Usai Jepang hengkang, mereka duduk di jabatan elite militer. Syam’un menjadi panglima Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi Banten, selanjutnya menjadi Komandan Brigade I Tirtayasa BKR yang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Syam’un berpangkat Kolonel (plus gelar Kiai Haji tentunya).

Komunis di Banten Tempo Dulu

Sarekat Islam (SI) yang masuk ke Banten di masa penjajahan Belanda dirasa kurang radikal oleh masyarakat setempat. Pada kondisi seperti itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) hadir lewat keanggotaan ganda SI. PKI dinilai lebih sangar dalam melawan Belanda, maka masyarakat menjadi tertarik. Pada dua dekade awal Abad 20 itu, kaum komunis dan Islamis memang bersatu melawan Belanda.

PKI melancarkan pemberontakan terhadap Belanda pada 1925-1926. Dikatakan Matia, banyak penduduk dan tokoh agama di Banten yang ikut dalam pemberontakan itu. Bahkan Syam’un sendiri juga ikut dalam pemberontakan PKI melawan Belanda itu.

“Tetapi ikutnya mereka itu jangan diartikan bahwa mereka itu menjadi komunis. Tidak! Mereka tetap merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Mereka waktu itu mendukung PKI, karena PKI waktu itu dipandang cukup radikal revolusioner. Mereka mendukung PKI, karena PKI dapat mereka gunakan untuk mengganyang musuh mereka yang utama yakni Kolonialis Belanda. Sedangkan Belanda itu, oleh para keturunan sultan, dianggap sebagai musuh bebuyutan,” kata Matia.

Akibat pemberontakan itu, pejuang-pejuang 1926 kala itu dibuang ke Boven Digul, Papua, dan mendapat cap komunis dari Belanda. Padahal sebagian dari mereka adalah ulama, pernah menempuh pendidikan di Timur Tengah pula. Persepsi tertentu terhadap pejuang anti-kolonialisme muncul gara-gara saat itu PKI punya reputasi mengerikan di mata Belanda, persepsi itu juga sempat mampir ke sosok KH Syam’un.

“Beliau telah berjuang sejak muda. Oleh karena ikut berontak dalam pemberontakan PKI 1925-1926, beliau ikut terkena getah mendapat tuduhan sebagai aktivis PKI. Padahal beliau, seperti juga rekan-rekannya yang lain, bukanlah komunis. Beliau hanya sekadar mempergunakan berontaknya PKI itu untuk menggerakkan pula pejuang-pejuang Banten menentang Belanda. Dan Belanda yang cerdik itu lantas menempelkan ‘cap’ komunis pada mereka,” tulis Matia.

Ce Mamat Bikin Gejolak

Ce Mamat (Tje Mamat) atau yang bernama asli Mohammad Mansur adalah kamerad Tan Malaka. Ce Mamat membentuk Dewan Rakyat. Konteksnya adalah tahun 1945, usai penarikan tentara Jepang dari Banten.

Berdasarkan tulisan Suharto berjudul ‘Revolusi Sosial di Banten, 1945-1946: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Dampaknya (FIB UI: 1996)’, pemberontakan Dewan Rakyat Ce Mamat terjadi tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Rakyat Banten juga sedang bersemangat untuk melawan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu ke Indonesia.

Pertengahan Oktober, seluruh pangreh praja Karesidenan Banten diganti oleh ulama. Kaum komunis tak menentang penempatan ulama di jabatan-jabatan resmi itu. Namun sebagai gantinya, kaum kiri di bawah kepemimpinan Ce Mamat membentuk Dewan Rakyat beranggotakan orang-orang radikal dan revolusioner. Dewan Rakyat adalah badan eksekutif pemerintahan, dan kekuasaan residen bersifat simbolis saja. Dewan rakyat menaungi aparat, polisi, hingga dewan ekonomi.

Namun polah Dewan Rakyat semakin brutal. Pasukan Dewan Rakyat bernama Laskar Gulkut melakukan aksi teror. Gulkut adalah akronim ‘gulung bukut’, yang artinya ‘menggulung pamong praja’. Adapun kata yang bunyinya hampir sama yakni ‘gutgut’ bermakna ‘jawara’. Laskar Gulkut beranggotakan jawara berseragam hitam dengan lencana palu-arit di dada.

Laskar Gulkut menculik dan membunuh siapa saja yang mereka anggap antek penjajah. Laskar Gulkut menculik Bupati Hilman Jayadiningrat kemudian menjebloskannya ke penjara Serang. Gara-gara aksi Laskar itu, Wakil Residen Zulkarnain Surya Kartalegawa melarikan diri ke Priangan.

“Beberapa pejabat di daerah yang kelakuannya kejam terhadap rakyat (kemudian -red) dibunuh oleh lasykar gulkut,” tulis Suharto dalam hasil penelitiannya tersebut.

Situasi di Banten jadi semakin mengerikan, sampai-sampai Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno dan Mohammad Hatta turun langsung ke Banten, pada 9 sampai 11 Desember 1945. Mohammad Hatta berbicara bahwa pemerintahannya tak menghendaki “anarki” semacam itu. Saat itu tak seperti biasanya, Hatta berubah menjadi sosok yang tegas.

“Hatta, di luar kebiasaannya berbicara, menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru agar dibubarkan,” tulis Suharto, mengutip tuisan Audrey R Kahin terbitan Cornell University Press, New York.

Namun Ce Mamat tetap bersikukuh. Menurutnya, Dewan Rakyat lebih absah sebagai perwujudan pemerintahan demokrasi ketimbang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Soalnya, Ce Mamat menilai KNIP adalah pemberian penjajah Jepang. Dewan Rakyat kembali beraksi saat Sukarno ke Rangkasbitung, 10 Desember 1945, seolah pamer kekuatan di depan Proklamator.

“Para pendukung Dewan Rakyat menculik dan membunuh RT Hardiwinangun, bekas Bupati Lebak. Pembunuhan itu mengakibatkan adu kekuatan dengan pihak tentara yang tak dapat dihindarkan,” tulis Suharto.

TKR Pimpinan KH Syam’un vs Dewan Rakyat Ce Mamat

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin KH Syam’un kemudian bergerak mengamankan situasi. Momentum ini sekaligus menjadi pembuktian bahwa Syam’un sebagai ulama berada di atas perbedaan golongan yang ada. Gampangnya, aksi Syam’un mengatasi Ce Mamat membuktikan bahwa dirinya bukan komunis.

“Ketika golongan kiri di Banten bergerak merebut kekuasaan, KH Syam’un dengan tegas mengambil tindakan menumpas gerakan mereka, sekalipun akibat tindakannya itu beliau pernah bentrok dengan rekan seperjuangannya sendiri. Tetapi beliau tidak perduli. Beliau menempatkan dirinya tidak di atas golongan ini atau golongan itu, melainkan di atas kepentingan nasional dan berjuang gigih mempertahankan kemerdekaan,” tulis Matia.

Suharto menjelaskan jalannya “pertarungan” TKR vs Dewan Rakyat ini. Setelah ada perintah dari Residen untuk menumpas Dewan Rakyat, Syam’un kemudian memanggil bawahannya untuk melaksanakan operasi bersenjata. Pertama, membebaskan Bupati Hilman Jayadiningrat dari penjara Serang dan dibawa ke Sukabumi. Kedua, menyerang markas besar Dewan Rakyat di Ciomas. Di Rangkasbitung, pertempuran pecah antara TKR melawan Dewan Rakyat. TKR menang!

Pada 8 Januari 1946, pasukan TKR dari tiga kota Banten menyerang Dewan Rakyat di Ciomas. Pertempuran berlansung 24 jam. Residen Ahmad Chatib, yang dulu pernah dibuang ke Boven Digul karena ikut memberontak terhadap Belanda tahun 1926, turun tangan. Pertempuran berhenti. Ce Mamat selaku pentolan Dewan Rakyat bersama pemimpin kiri lain yakni Aliarkham dan Akhmad Bassaif ditangkap. (Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini