Beranda Opini Kapabilitas Dinamis Era Pandemi Covid-19

Kapabilitas Dinamis Era Pandemi Covid-19

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

Oleh: Dr. Rusdiyanta, M.Si, Dosen FISIP Universitas Budi Luhur, Jakarta

Pandemi Covid-19 memiliki dampak pada perubahan sangat drastis dalam  semua aspek kehidupan. Hal  tersebut relevan dengan semua karakteristik dunia VUCA. VUCA merupakan akronim dari Volatile (Bergejolak), Uncentity (Ketidakpaatian), Complexity (Kompleksitas), Ambiguity (Ambiguitas). Istilah VUCA pertama kali diungkapkan oleh Angkatan Darat AS untuk menggambarkan konteks yang sangat dinamis dan kompleks. Tepatnya untuk merangsang pemikiran mengenai perencanaan dan persiapan untuk lingkungan operasi yang semakin dicirikan kondisi ketidakteraturan dan angsa hitam.

Teori angsa hitam merujuk pada suatu peristiwa langka atau peristiwa yang tidak mungkin, berdampak besar dan kompleks, mahal, dan sulit diprediksi untuk diantisipasi dan direncanakan. Pandemi Covid-19 jelas merupakan peristiwa dalam kondisi VUCA seperti digambarkan tadi. Masalah ini menuntut suatu kemampuan kepemerintahan yang adaptif dan dinamis agar dapat menyelesaikan problematika tersebut.

Konsep VUCA

Beberapa decade terakhir, VUCA sering menjadi topic diskusi para pebisnis dan akademisi untuk memahami lingkungan yang sulit dikendalikan karena disrupsi akibat kemajuan ICT  dan tingginya mobilitas manusia. Untuk itulah, menurut Cousins (2018) membahas empat dimensi VUCA, yakni:

(1) Volatility merujuk pada kecepatan perubahan dalam industri, pasar, dan perubahan dunia pada umumnya. Hal ini disertai flukstuasi permintaan dan gejolak pasar yang dalam literatur disebut dinamisme industri. Semakin dunia bergejolak, perubahan semakin cepat. Volatilitas mengacu pada perubahan skala besar, sering dan tidak memiliki pola yang dapat diprediksi. Tuntutan yang bergejolak yang membutuhkan struktur untuk mendapatkan dan memproses informasi yang andal dan terkini.

Secara tradisional, pada lingkungan yang stabil, organisasi mengandalkan pengalaman, rutinitas, pembelajaran, dan skala, sementara volatilitas berada dalam lingkungan VUCA yang terlihat jelas baru mendorong organisasi untuk terlibat dengan pemangku kepentingan lintas batas, dan melibatkan mereka ke dalam proses pembelajaran dan inovasi. Perubahan mungkin terjadi di lingkungan yang mudah berubah; namun, waktu dan tingkat perubahan tidak diketahui. Oleh karena itu, organisasi harus menyusun struktur ke arah kelincahan organisasi sebagai penanggulangan terhadap volatilitas untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan peluang di pasar. Semakin sering suatu organisasi terlibat dalam mengeksplorasi dalam lingkungan VUCA, semakin sering organisasi dapat memperbarui pemahaman situasionalnya tentang lingkungan dan dengan demikian meminimalkan efek perubahan yang mudah berubah.

(2) Ketidakpastian mengacu pada sejauh mana kita yakin dapat memprediksi masa depan. Bagian dari ketidakpastian dirasakan dan dikaitkan dengan ketidakmampuan orang untuk memahami hal-hal yang sedang terjadi. Ketidakpastian, bagaimanapun juga merupakan karakteristik yang lebih objektif dari suatu lingkungan. Lingkungan yang benar-benar tidak pasti adalah suatu lingkungan yang tidak memungkinkan prediksi apa pun, juga tidak berdasarkan statistik. Semakin dunia tidak pasti, semakin sulit untuk diprediksi. Ketidakpastian menunjukkan kurangnya pengetahuan terkait frekuensi dan signifikansi perubahan lingkungan.

Dalam lingkungan yang tidak pasti, sebab dan akibat diketahui, namun waktu dan besarnya tidak diketahui dan mungkin tidak terjadi sama sekali. Ketidakpastian dipecahkan oleh organisasi yang berinvestasi dalam metode pengumpulan, interpretasi, dan berbagi pengetahuan dengan mencurahkan sumber daya untuk kegiatan di luar batas. Kegiatan luar batas ini adalah tindakan yang mencari pengetahuan di luar jaringan yang ada, sumber data dan proses analitik untuk mendapatkan pengetahuan dari mitra baru yang memberikan pemahaman baru dan lebih kaya. Untuk memahami lingkungan yang tidak pasti, organisasi harus secara proaktif mengeksplorasi faktor sebab dan akibat yang berdampak pada situasi lingkungan yang tidak pasti mencatat situasi yang tidak pasti hanyalah kurangnya pengetahuan dan oleh karena itu dapat dicegah dengan mengumpulkan lebih banyak pengetahuan

(3) Kompleksitas mengacu pada jumlah faktor yang perlu kita perhitungkan, keragamannya dan hubungan di antara mereka. Semakin banyak jumlah faktor yang berpengaruh, semakin besar tingkat keragamannya dan semakin saling berkaitan dan berinteraksi, semakin kompleks lingkungan tersebut. Dalam tingkat kompleksitas yang tinggi, kita tidak memungkinkan untuk menganalisis lingkungan sepenuhnya dan mencapai kesimpulan yang rasional. Jadi, semakin tinggi kompleksitas dunia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk menganalisis. Menurut Drucker (2012) lingkungan yang kompleks sebagai “ambang kekacauan”, yang ditandai dengan disrupsi teknologi dan globalisasi.

Bennett & Lemoine (2014) mendefinisikan kompleksitas sebagai jaringan rumit dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang berbelit-belit dan beraneka bentuk. Kompleksitas adalah metode berulang-ulang dari pola sederhana yang digabungkan dalam banyak interkoneksi yang menciptakan potensi kelebihan informasi. Untuk menyederhanakan situasi yang kompleks, organisasi harus menyusun diri mereka sendiri dengan lingkungan dengan mengadaptasi struktur untuk menyelaraskan dan mengambil keuntungan dari kompleksitas daripada berjuang melawannya. Dengan demikian, organisasi harus mengadopsi strategi berbasis pengetahuan yang memfasilitasi pengambilan keputusan segera dengan mendekati lingkungan dan pemangku kepentingannya.

(4) Ambiguitas merujuk pada identifikasi kurangnya pengetahuan mengenai sebab dan akibat di mana tidak adanya preseden yang menjadi dasar prediksi. Ambiguitas umumnya meliputi situasi baru dengan dicirikan oleh produk, pasar, strategi, atau inovasi teknologi baru. Kebaruan adalah tantangan situasi ambigu dan oleh karena itu ada sedikit data kuantitatif dan historis untuk memprediksi hasil. Mengumpulkan informasi sangat penting dalam situasi yang ambigu tetapi tantangannya terletak pada mengetahui bagaimana menghargai informasi yang dikumpulkan karena tidak jelas informasi apa yang berguna. Bartscht (2015) menyatakan bahwa organisasi harus mengubah paradigma dengan perbaikan terus-menerus sekaligus memfokuskan kemampuan beradaptasi secara proaktif dalam mempelajari pengetahuan baru untuk berinovasi dan membuat keputusan yang lebih baik.

Kapabilitas Dinamis, Kebijakan Inovatif dan Agile

Kapabilitas dinamis ini mencakup kemampuan untuk meninjau kembali apa yang telah dilakukan, meneropong masa mendatang, serta melakukan lintas sektoral dalam beraktivitas. Menurut Teece et al. (1997), kapabilitas dinamis adalah kemampuan organisasi untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengatur ulang kompetensi internal dan eksternalnya dalam rangka menghadapi kecepatan perubahan lingkungan. Menurut Neo dan Chen (2007) kapasitas adalah tersedia dan berfungsinya able people (kemampuan orang) dan agile process (kegesitan/ketangkasan proses) yang membentuk kapabilitas dinamis sehingga dapat merumuskan suatu kebijakan adaptif menuju kinerja tata kelola organisasi lebih baik. Kapabilitas dinamis merupakan kemampuan pemerintahan yang berkesinambungan untuk menyesuaikan kebijakan publik dengan program-programnya, dengan melakukan perubahan cara dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakannya sehingga tercapai kepentingan (tujuan) nasional. Kapabilitas dinamis mencakup hal-hal berikut seperti sikap organisasi, pengetahuan, keterampilan dan sumberdaya.

Untuk menghadapi kondisi era pandemik Covid-19, organisasi sektor public maupun privat harus memiliki  3 (tiga) kapabilitas kognitif, yaitu thinking ahead (berpikir ke depan), thinking again (berpikir ulang) dan thinking across (berpikir lintas). Organisasi harus berpikir ke depan untuk memahami apa saja faktor-faktor yang dapat memengaruhi masa depan organisasi dan merumuskan kebijakan adaptif guna menghadapi potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan serta mampu mengambil keuntungan dari peluang yang ada di masa yang akan datang.

Perubahan yang sangat cepat, bergejolak, komplek, ketidakpastian, dan ambigu memiliki konsekuensi kebijakan yang ada menjadi usang. Hal ini menuntut evaluasi kebijakan dan berpikir ulang untuk menghasilkan kebijakan extra-ordinary mengahadapi kondisi vuca pandemi Covid-19 saat ini. Kebijakan diupayakan agar relevan sehingga  sesuai dengan kebutuhan. Terakhir, organisasi hendaknya berpikir lintas bidang (interdisiliner) guna memperoleh ide-ide baru dan best practice kebijakan yang dapat diadopsi dengan penyesuaian konteks internal organisasi. Perkembangan pengetahuan baru mengharuskan pembelajaran dan inovasi agar dapat menghadapi tantangn baru.

Menurut Purwanto (2019), untuk mengahadapi kondisi VUCA, kebijakan publik masa depan adalah kebijakan inovatif dan agile. Kebijakan inovatif tidak hanya penggunaan ide-ide baru dan ilmu pengetahuan, namun lebih penting esensi kebijakan publik yakni kemampuan menyelesaikan masalah-masalah publik. Ada beberapa prakondisi yang dibutuhkan dalam kebijakan inovatif, yakni sumberdaya manusia yang berkualitas, dinamika lingkungan kerja, integrasi kebijakan dengan ide dan ilmu pengetahuan baru, serta kolaborasi pemerintahan antara masyarakat, swasta dan stakeholders lain.

Konsep agile, pada awalnya digunakan oleh pengembang software sebagai metode dan praktik di bidang teknologi dan pelayanan digital lebih responsif terhadap kebutuhan customer, namun dalam perkembangannya logika agile diaplikasikan dalam peningkatan proses, struktur, perilaku, dan budaya birokrasi publik. Agar kebijakan publik adaptive, dilakukan dengan metode forecasting extrapolative. Metode ini merupakan perluasan di luar data yang tersedia untuk memprediksi masa depan dengan tantangan saat ini yang semakin tidak beraturan. Sering kali kita menggunakan data lama untuk memprediksi masa depan, hal inilah yang menjadi akar masalah kebijakan publik kita yang tidak agile.

Alternatif yang dapat diambil antara lain melakukan konvergensi atau integrasi antara pembelajaran organisasi terhadap ide dan cara-cara baru, kemampuan untuk menyerap hal-hal baru (absorptive capacity atau dynamic capabilities) dan mendesain organisasi yang mendukung terciptanya pembelajaran dan penyerapan ide baru dari luar. Dengan alternative ini, semoga kebijakan publik dapat menghadapi situasi VUCA terutama Covid-19.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini