Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan
Sudah menjadi label yang melekat bahwa Kota Cilegon adalah Kota Industri. Sebagai Kota Industri, Cilegon telah berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten. Namun dalam kenyataannya, kehadiran industri yang berjibun, belum mampu mendogkrak kemakmuran daerah dilihat dari aspek Pendapatan Daerah, baik Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Dana Transfer.
Kita melihat bahwa PAD Kota Cilegon tahun 2024 hanya nencapai Rp751,757.617.448 atau hanya terealisasi 61,41% dari target Rp1.224.162.601.774. Realitas ini menunjukkan ironi di tengah hingar bingarnya industri di Cilegon. Ini menjadi pertanyaan besar; mengapa Cilegon sebagai kota industri justru kesulitan menggali pendapatan daerah?. Jawaban paling mendasar atas pertanyaan itu di antaranya terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk juga kebijakan fiskal secara nasional. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, saat ini memakai azas otonomi daerah, artinya daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus pemerintahan sendiri, mengatur pembangunan sendiri termasuk menggali potensi keuangan daerah.
Namun demikian, sudah dua dekade lebih otonomi daerah berjalan, Kota Cilegon sebagai daerah industri seharusnya sudah masuk dalam kategori daerah berdaya fiskal tinggi, tapi yang ada justru Pendapatan Daerah Kota Cilegon masih menunjukkan fakta yang memprihatinkan. Hal ini disebabkan Undang-Undang yang mengatur otonomi daerah (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) telah mengamputasi beberapa kewenangan daerah sehingga berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memperoleh Pendapatan Daerah.
Salah satu contohnya adalah masalah kewenangan pengelolaan laut. Saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota tidak punya kewenangan apapun terhadap laut. Awalnya Pemerintah Kabupaten/Kota punya kewenangan sejauh 4 mil dari bibir pantai. Dengan berlakunya Undang-Undang di atas, provinsi diberikan kewenangan pengelolaan laut dengan zonasi 0-12 mil. Alhasil Pemerintah Kabupaten/Kota sudah tak lagi diberikan kewenangan apapun terkait pengelolaan laut yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi, pengaturan administratif termasuk pengaturan tata ruang.
Atas dasar itu, Pemerintah Kota Cilegon hanya bisa menonton hiruk pikuknya lalu lintas di laut meskipun Cilegon berada pada zona laut Selat Sunda yang termasuk laut paling sibuk di tatar Banten. Karena tak punya kewenangan apapun, maka potensi yang bisa menghasilkan pendapatan daerah ambyar ditarik Provinsi Banten. Cilegon hanya kebagian dampak dan limbahnya akibat pelaksanaan “otonomi otek-otek buntut kebo”, kepalanya dilepas, tapi ekornya diikat atau dalam istilah orang kampung disebut otonomi setengah hati yakni daerah diberikan kebebasan untuk mengatur rumah tangga pemerintahan dan pembangunan sendiri, tapi potensi yang menghasilkan pendapatan untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan itu, justru diambil oleh Provinsi. Makanya tak heran, PAD tetap jalan di tempat.
Demikian pula dengan kebijakan fiskal nasional, ada beberapa yang merugikan daerah Kabupaten/Kota utamanya masalah pajak. Hal ini bisa dilihat misalnya tentang ketentuan Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Penghasilan (PPh). PKB diserahkan pengelolaannya kepada Provinsi, Cilegon hanya kebagian DBH-nya. DBH dari PKB, dibagi dengan proporsi 70% untuk Pemerintah Provinsi, sementara Kabupaten/Kota kebagian 30%. Dengan demikian, setiap penerimaan PKB, 70% milik Provinsi dan sisanya untuk Kabupaten/Kota.
Berdasarkan data yang ada, DBH PKB Kota Cilegon untuk tahun 2024 sebesar Rp50.934.234.950. DBH sebesar itu diperoleh dari pembagian DBH 30%, sementara Provinsi mendapat 70% dari realisasi pendapatan secara keseluruhan. Ini yang disebut pembagian proporsi yang tidak proporsional, makanya pendapatan transfer daerah dari DBH PKB akan selalu kecil untuk Cilegon.
Sama halnya dengan PPh. Jenis pajak ini termasuk pajak pusat, daerah hanya kebagian DBH. Sebagaimana telah saya tulis di media ini beberapa waktu lalu (Dilema Investasi, Antara Membangun di Cilegon dan Membangun Cilegon), Relisasi DBH PPh sebagaimana disebut dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Cilegon Tahun 2024 hanya sebesar Rp155.336.904.822. Itupun hasil dari PPh pekerja yakni PPh pasal 21. Dana sebesar itu merupakan bagian bagi hasil sebesar 20% dari realisasi pendapatan PPh para pekerja di Cilegon. Jadi pajak yang disetorkan atas hasil keringat pekerja di Cilegon, dihisap lebih banyak oleh pusat (80%), sementara untuk Pendapatan Daerah hanya 20%.
Yang lebih parah lagi tentang PPh pasal 25 dan pasal 29 (usaha orang pribadi dan badan). Cilegon sama sekali tidak kebagian, biang keladinya lantaran ulah dari Industri yang ada di Cilegon. Kita tahu bahwa meskipun aktivitas ekonomi industri ada di Cilegon, namun karena perusahaan berkedudukan hukum di luar Cilegon (kantor pusat dan NPWP berada di kota lain), maka PPh Pasal 25/29-nya tidak tercatat sebagai potensi DBH untuk Cilegon. Inilah bukti tentang adanya ketimpangan antara beban pembangunan yang ditanggung daerah dalam era otonomi daerah dan manfaat fiskal yang mengalir ke pusat. Otonomi setengah hati.
Selanjutnya bagaimana tentang PAD?. Sebagaimana saya sebut di atas, PAD Kota Cilegon masih berkutat di angka Rp751,7 miliar. Adapun sumbangan terbesar PAD berasal dari komponen Pajak Daerah yakni Rp582.234.600.823 diambil dari; Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan (PPJ), Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), Pajak Parkir, Pajak Air Bawah Tanah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan & Perkotaan (PBB-P2). Pertanyaannya kemudian adalah seberapa besar kontribusi Industri dalam realisasi Pajak Daerah?.
Jika kita lihat dari jenis pajak daerah yang berkaitan dengan industri, paling tidak ada 3 jenis pajak yakni; PPJ (Rp225.576.178.034), BPHTB (Rp99.113.133.836) dan PBB-P2 (Rp181.859.790.583). Namun sangat disayangkan, kita tidak menemukan angka yang pasti tentang kontribusi industri terhadap ketiga jenis pajak di atas disebabkan tidak pernah disajikan secara rinci berapa nominal PPJ yang berasal dari industri, rumah tangga, atau sektor komersial lainnya. Demikian halnya tentang BPHTB, tidak ada rincian pendapatan dari sektor industri atau masyarakat termasuk masalah PBB, tidak ada rincian pendapatan dari sektor industri.
Tahun 2024 kemarin, ada catatan menarik terkait dengan pajak daerah khususnya BPHTB dan PBB. Realisasi BPHTB, merupakan salah satu ironi terbesar sepanjang pelaksanaan pemerintahan di Cilegon. Boleh dibilang merupakan kegagalan terbesar dalam pengelolaan keuangan daerah. Betapa tidak, dari target sebesar Rp575 miliar, yang berhasil direalisasikan hanya Rp99 miliar atau sekitar 17%. Artinya, lebih dari Rp470 miliar target menguap, padahal sektor ini sempat digadang-gadang sebagai salah satu tumpuan peningkatan PAD.
BPHTB adalah jenis pajak daerah yang sangat bergantung pada volume dan nilai transaksi jual beli properti atau tanah. Dalam proses perencanaan target yang ditetapkan nampaknya dibangun di atas proyeksi adanya transaksi besar-besaran, bepijak pada awang-awang yang tak pasti, padahal kenyataannya nafsu besar tenaga kurang. Tidak tercapainya target BPHTB juga menunjukkan lemahnya perencanaan dan koordinasi antar OPD, ujung-ujungnya menjadi salah satu penentu terjadinya defisit yang dampaknya kemana-mana termasuk pelaksanaan pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Robinsar- Fajar Hadi Prabowo.
Adapun mengenai PBB, sama saja tak tercapai, dari target sebesar Rp204 miliar hanya terealisasi Rp181 miliar, atau sekitar 89% saja. Kota Cilegon adalah tempat atau lokasi berjibunnya industri berskala besar, menengah, hingga kecil, jumlahnya lebih dari seribu. Seharusnya dengan kondisi seperti ini, bisa menjadi “ladang emas” bagi PAD khususnya melalui PBB-P2). Namun ketika pemerintah mengadakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap sektor industri sebagai upaya menaikkan pendapatan, justru menimbulkan gelombang keberatan dari wajib pajak (industri) yang berujung pada turunnya realisasi penerimaan. Artinya, ketika Pemerintah Kota Cilegon mencoba memperbaiki keadilan nilai pajak, justru berhadapan dengan resistensi dari pihak yang memiliki potensi pendapatan terbesar, sektor industri. PBB sektor industri seharusnya menjadi tulang punggung PAD Kota Cilegon. Namun dengan tidak tercapainya target pendapatan PBB, turut andil pula terjadinya defisit, alhasil perolehan PBB berbalik menjadi titik rawan terjadinya defisit.
Harus disadari, dalam pelaksanaan otonomi daerah, PAD merupakan komponen penting Pendapatan Daerah yang terangkum dalam APBD. Namun, jika PAD masih rendah, maka secara substantif otonomi daerah berjalan di atas kertas Undang-undang, otonomi daerah hanya tinggal catatan administratif. Dengan mengacu pada pelaksanaan pengelolaan pemerintahan tahun 2024 sebagaimana diuraikan di atas, bisa disimpulkan bahwa Kota Cilegon sebagai kota industri justru mengalami stagnasi dalam peningkatan PAD. Meskipun Cilegon merupakan pusat industri nasional, capaian PAD masih tak memuaskan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan industri belum berdampak signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah.
Tidak tercapainya Pendapatan Daerah termasuk PAD dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, kebijakan otonomi daerah yang setengah hati, di mana kewenangan pengelolaan potensi strategis seperti laut dan pajak-pajak penting (seperti PPh dan PKB) ditarik ke pusat atau provinsi, hal ini berakibat beban pelayanan bagi daerah. Kedua, masalah internal daerah, seperti lemahnya perencanaan target pajak (terutama BPHTB dan PBB), kurangnya transparansi kontribusi sektor industri.
Inilah bukti sekaligus ironi bahwa Pajak Daerah dari sektor industri seperti BPHTB, dan PBB-P2 yang seharusnya menjadi andalan PAD, justru tidak terealisasi secara optimal sehingga kemandirian keuangan daerah Kota Cilegon belum terwujud, dan pelaksanaan otonomi daerah masih bersifat administratif.
Lantas upaya apa agar PAD Kota Ciegon tidak stagnan?.
Tak ada jalan lain bagi Kota Cilegon dalam mencari terobosan menerjang keterkungkungan otonomi setengah hati, agar Cilegon bisa mandiri yakni dengan membangun Pelabuhan Warnasari. Titik! (*)