Beranda Opini Etika Tri Hita Karana

Etika Tri Hita Karana

Ilustrasi - foto istimewa CNN Indonesia

Oleh: Habibah Auni, Instansi: S1 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada

Selayaknya manusia, alam pun memiliki emosi. Ia bisa merasakan kesedihan, kemarahan, dan beragam emosi lainnya. Dan menyadari warna emosi alam, caranya cukup mudah. Cukup pandangi saja secara seksama apa yang terlukis di wajahnya. Niscaya, akan engkau dapati beragam ekspresi jiwa yang ditampilkan alam. Hal itu secara implisit, disampaikan oleh alam melalui peristiwa besar yang sarat akan makna.

Maka, tak ayal jika alam mencoba mengkomunikasikan perasaannya melalui bencana terbesar baru-baru ini. Peristiwa akbar yang tak lain adalah pandemi virus Covid-19 atau corona. Virus yang diamini sudah kadung menjalar ke 181 negara. Melayangkan beribu nyawa yang tengah kegusaran. Telah luluh lantak membuntungi pertahanan negara. Sekaligus, menelanjangi kedok asli dari kepedulian manusia yang sesungguhnya.

Tentu saja hal ini membuat seluruh umat manusia ketakutan. Kengerian ini menghinggapi saban malam, abadi membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak? Sejengkal kaki saja keluar dari pintu rumah, virus corona bisa mengambil nyawa tanpa pandang bulu.

Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Mencoba menaati perintah Gedung Senayan, untuk menerapkan Work From Home (WFH), yang dipercaya mampu menangkal pengaruh virus corona.

Sembari mengisi waktu senggang, manusia-manusia ini menyibukkan diri dalam dunia gawainya. Minimal mengingatkan teman-temannya akan bahaya virus corona. Paling banter, ‘yah mencoba mencari asal usul dari kelahiran virus corona. Penyelidikan tersebut berujung pada penemuan biang keladi virus corona, yang tak lain adalah kelelawar.

Virus corona, merupakan virus yang pertama kali ditemukan di kelelawar yang ada di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Kelelawar di sana dijadikan objek perburuan manusia untuk nantinya dipelihara atau menjadi bahan makanan. Inilah bagian yang mengkhawatirkan. Sebab, kelelawar sangat berbahaya apabila dikonsumsi, lantaran virusnya berpindah ke tubuh manusia.

Dari sini bisa dilihat bahwa alam tengah menjaga keseimbangan, seperti pepatah, “Bagaimana ditanam begitulah dituai”. Atau dengan kata lain, manusia akan mendapatkan balasan seperti yang diperbuatnya. Maka dari itu, perburuan kelelawar tanpa batas yang dilakukan manusia, suatu saat nanti akan ada ganjarannya. Keserakahan mansuia akan dibalas dengan keserakahan alam pula. Sederhananya, ledakan jumlah korban virus corona adalah cerminan dari bentuk keserakahan alam.

Manusia sudah terlanjur lama dibuai oleh angan-angan materialism mereka. Mereka melupakan hakikat alam dalam berkuasa dan berkehendak selayaknya manusia. Dengan membuat lingkungan luar rumah menjadi area yang berbahaya bagi manusia lewati, alam menunjukkan kekuasaan dirinya. Pandemi corona seolah-olah menunjukkan betapa marahnya alam sampai-sampai mengancam nyawa manusia.

Oleh karena itu, untuk memenangkan hati alam manusia harus mencari cara bagaimana menyenangkan hati alam. Salah satu cara yang diyakini filsuf sains sebagai cara yang terampuh adalah memakmurkan alam. Memakmurkan alam dalam konteks ini bukan berarti mengekspoitasi alam terlampau banyak, melainkan menjaga keseimbangan dan keteraturan alam. Dengan cara mengatur komposisi makrokosmos (alam) sesuai dengan yang ditetapkan.

Mengingat manusia berperan sebagai mikrokosmos yang aktif menggunakan akalnya, maka manusia memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola sumber daya alam. Mengelola sumber daya alam yang dimaksud harus sesuai dengan standar etik yang ada, dimana stabilitas jumlah kosmos sangat dijunjung.

Tentu saja tahap ini bisa dicapai bilamana manusia mulai menghadirkan aspek transedental (iman) dalam alam berpikirnya. Berbeda dengan indera manusia yang merespons apa yang terlihat di alam fisik yang kita tempati sekarang, ruh batiniah manusia mampu berinteraksi dengan alam spiritual. Alam spiritual sendiri merupakan salah satu dari alam semesta yang bisa ditempati oleh manusia yang sempurna akal, rasio, dan hatinya.

Ketika manusia sudah menyatu dengan alam spiritual, maka manusia akan mulai memaknai hakikat dirinya sebagai makhluk mikrosmos. Ia juga mampu mengenali alam sebagai makrokosmos secara integral. Akhirnya, penghidupan aspek integral berbuah pada perilaku kehidupan yang pro lingkungan.

Ini lah etika Tri Hita Karana, sebuah panduan termutakhir yang mampu merekonstruksi tata kelola berpikir dan tingkah laku manusia. Di dalam pedoman ini terkandung keselarasan relasi Palemahan (alam) – Pawongan (manusia) – Parahyangan (Tuhan), yang menjadi fondasi dasar manusia dalam menghayati hidup sekaligus menggunakan alam sesuai kodratnya.
Melihat kasus corona membawa kita kembali kepada sebuah era yang menjunjung tinggi keseimbangan alam semesta, maka jadikanlah momentum ini sebagai pembelajaran dalam upaya menyayangi alam!

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini