Beranda Opini Dilema Investasi, Antara Membangun di Cilegon dan Membangun Cilegon

Dilema Investasi, Antara Membangun di Cilegon dan Membangun Cilegon

Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan, Moch. Nasir Rosyid SH. (doc.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan

Istilah membangun di Cilegon dan membangun Cilegon, saya cangkok dari pernyataan Prof. Fauzi Sanusi dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) dua tahun lalu dengan tema “Investasi di Cilegon, Berkah atau Musibah”. Dalam acara itu, Prof. Fauzi Sanusi yang kala itu masih bergelar Doktor menyatakan bahwa dalam konteks pembangunan, di Cilegon terjadi anomali. Investasi di Cilegon, Industri di Cilegon hanya “membangun di Cilegon”, bukan “membangun Cilegon”.

Menurut akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini, bedanya sangat substantif, “membangun Cilegon”, semua ikut merasakan. Sementara jika “membangun di Cilegon”, industri ramai-ramai membangun pabrik di Cilegon tapi tidak dirasakan masyarakat sekitar, kalaupun ada hanya sedikit.

Harus diakui bahwa sejatinya investasi merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Kota Cilegon, yang berdiri tahun 1999 lalu merupakan daerah yang strategis di ujung barat Pulau Jawa. Julukannya tak tanggung, Cilegon Kota Industri. Dengan julukan daerah industri ini, Cilegon menjadi daya tarik tersendiri bagi korporasi, pemilik modal untuk menanamkan investasinya, membangun pabrik industri.

Namun, pertanyaan yang terulang adalah: apakah semua investasi yang masuk juga membangun Cilegon Perbedaan keduanya sangat penting seperti juga dikatakan Prof. Fauzi di atas. Membangun di Cilegon berkonotasi menempatkan infrastruktur, pabrik, dan proyek strategis di atas tanah kota ini. Kampung digusur, gunung dibabat, tawa-rawa yang semula berfungsi sebagai tandon alamiah atau area resapan air kini berubah menjadi bangunan pabrik. Dengan begitu si pemilik modal bebas mengeksploitasi kekayaan alam yang ada termasuk sumber daya yang ada. Sedangkan membangun Cilegon punya arti penting yakni menjadikan investasi sebagai instrumen peningkatan kualitas hidup warga: membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, baik Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Pendapatan Daerah pada umumnya, mengurangi kesenjangan, serta menjaga keberlanjutan lingkungan.

Dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2025–2029, Pemerintah Kota Cilegon mencantumkan strategi untuk menarik investasi. Namun persoalannya muncul ketika investasi justru lebih memberi nilai tambah bagi investor daripada masyarakat. Banyak industri berdiri, namun pengangguran tetap tinggi. Infrastruktur tumbuh, tetapi masyarakat sekitar tetap jauh dari kata sejahtera. Ini adalah sinyal bahwa investasi hanya membangun di Cilegon daripada membangun Cilegon. Indikasi bahwa investasi saat ini membangun di Cilegon antara lain bahwa kehadiran industri di Cilegon hanya numpang bangunan secara fisik, sedangkan alamat kantor dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari Industri hampir semuanya ada di Jakarta.

Baca Juga :  Di Rancangan Awal RPJMD Cilegon, DPRD Tuntut Helldy Akomodir Usulan Parlemen

Lalu pengaruhnya apa terhadap daerah?. Ini jelas persoalan serius karena berhubungan dengan pendapatan daerah yang berkaitan dengan masalah pajak, utamanya Pajak Penghasilan (PPh). Pajak ini termasuk pajak pusat, daerah hanya kebagian Dana Bagi Hasil (DBH). Dalam konteks ini, berhubung alamat kantor dan NPWP industri terdaftar di Jakarta misalnya, maka DBH-nya tidak menjadi hak Cilegon, melainkan Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari realisasi DBH PPh sebagaimana disebut dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Cilegon Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa realisasi DBH PPh hanya sebesar Rp155.336.904.822. Itupun hasil dari PPh Pekerja yakni PPh pasal 21. Sedangkan PPh pasal 25 dan pasal 29 (usaha orang pribadi dan badan), sama sekali tidak ada lantaran meskipun aktivitas ekonomi industri terjadi di Cilegon, namun karena perusahaan berkedudukan hukum di luar Cilegon (kantor pusat dan NPWP berada di kota lain), maka PPh Pasal 25/29-nya tidak tercatat sebagai potensi DBH untuk Cilegon.

Andai saja industri mencatatkan alamat kantor dan NPWP mereka di Cilegon, pendapatan daerah bisa dipastikan akan besar, bisa jadi Cilegon akan menjadi daerah terkaya nomor wahid di Banten. Oleh karenanya, dilihat dari sektor ini, industri di Cilegon hingga saat ini saya yakini masih sedikit kontribusinya terhadap pendapatan daerah khususnya yang berkaitan dengan pajak. Adapun pengaruhnya terhadap PAD, kontribusi dari industri secara langsung belum bisa terdeteksi secara pasti. Hal ini bisa dilihat dari realisasi Pajak Penerangan Jalan (PPJ) sebagai salah satu komponen PAD. Tahun 2024 lalu, PPJ menyumbang Rp225.576.178.034 atau 10,50% dari total pendapatan daerah sebesar Rp2.148.993.508.479. PPJ ini diambil dari konsumsi listrik  baik dari sektor rumah tangga, industri, maupun bisnis. Sayangnya, PPJ dari sektor industri tidak ditemukan rincian secara nominal, berapa kontribusinya.

Baca Juga :  Pandemi dan Momentum Membentuk Generasi Penghafal Alqur’an

Agar hal ini terang benderang, sebaiknya instansi terkait, utamanya Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD) Kota Cilegon bisa menyajikan pemetaan kontribusi PPJ berdasarkan sektor (rumah tangga, industri, bisnis) dalam laporan keuangan tahunan baik dalam LKPj Walikota maupun Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD untuk tiap tahunnya.

Demikian halnya dengan sektor ketenagakerjaan, selalu saja menjadi permasalahan yang berkepanjangan. Industri yang seharusnya bisa memberdayakan masyarakat lokal, nyatanya tenaga kerja lokal dianggap masih kalah dengan tenaga kerja urban. Alasan klise yang dikemukakan biasanya selalu berkutat pada persoalan kompetensi. Tetapi sesungguhnya yang terjadi  bukan masalah kompetensi an sich, di sektor ini terkait juga dengan persoalan kompetisi. Tenaga kerja lokal lemah dalam kompetisi. Faktornya bisa bermacam-macam, salah satunya yakni persoalan primordialisme dalam lingkungan internal industri. Tak sedikit industri yang  memakai pola kerja sama dengan sekolah dan perguruan tinggi tertentu di luar Cilegon dalam rekrutmen tenaga kerja. Ada juga pola rekrutmen dengan mencari calon tenaga kerja (canaker) yang berpengalaman. Ini menjadi titik lemah canaker lokal lantaran sejak dahulu memang selalu terpinggirkan. Intinya, masyarakat lokal selalu kalah dalam soal kompetisi, kalah sebelum bertanding lantaran disuguhi kompetisi yang tidak sehat.

Terkait masalah ketenagakerjaan ini, ada cerita menarik dari seorang warga Gerem Raya Kelurahan Gerem yang rumahnya hanya berjarak 50 meter dari pintu gerbang PT Lotte Chemical Indonesia (LCI). Ia memposting tayangan video di akun facebook miliknya. Video itu merekam jejeran mobil bus angkutan karyawan tetap (bukan karyawan proyek konstruksi) PT LCI. Caption dalam video itu hanya berbunyi, “Pemandangan setiap pagi dan sore”. Tentu saja tayangan itu bukan tanpa maksud, bisa diartikan kegalauan atas betapa riuhnya lalu lalang karyawan yang diangkut pakai bus ber-AC, menikmati dinginnya ruangan bus, sementara lingkungan hanya bisa menutup hidung saat bus angkutan itu lewat, debu yang dinikmati. Ada juga kisah seorang ibu yang nangis menjerit-jerit saking kesalnya lantaran anaknya terus menganggur, sementara pabrik ada di depan mata.

Apa arti dari semua ini?. Sekali lagi, ternyata perusahaan yang ada, kecil kemanfaatannya bagi masyarakat lingkungan, hanya debu yang jadi santapan, untuk tenaga kerja pun hanya dinikmati orang jauh (yang naik bus itu tadi). Ironis tentunya.

Baca Juga :  Kota Kecil Bernama Serang

Memang secara kasat mata, gemerlapnya ratusan bangunan pabrik dan infrastruktur megah menunjukkan geliat ekonomi yang mengesankan. Namun, dalam kenyataan di masyarakat terdapat indikasi adanya ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akibat dari industri yang hanya membangun di Cilegon. Kota kecil ini hanya dijadikan lokasi produksi atau ekspansi bisnis belaka.

Lantas bagaimana agar investasi benar-benar punya faedah bagi pembangunan Cilegon, ada kebermanfaatan terhadap masyarakat Cilegon. Di sinilah perlunya perubahan orientasi. Industri harus berpikir ulang agar investasi diarahkan untuk membangun Cilegon, bukan semata-mata membangun di Cilegon. Pemerintah tidak cukup hanya menjadi “penarik investor”, tapi harus menjadi penjaga arah pembangunan. Investasi yang ramah lingkungan, menyerap tenaga kerja lokal, mendukung UMKM, dan berkontribusi pada pendapatan daerah harus diprioritaskan.

Demikian halnya dengan masyarakat, bukan hanya harus mengubah orientasi, tapi harus pula mengubah mental. Jangan hanya karena diiming-imingi sarung, beras, minyak goreng, gula, kambing, kerbau saat momen tertentu lantas berpuas diri seolah industri telah membangun Cilegon. Padahal semua hanyalah kamuflase untuk meredam gejolak sosial  berdalih Corporate Social Responsibility (CSR). Yang paling penting adalah bagaimana agar antara industri dan masyarakat terjadi sinergitas untuk kepentingan bersama dan terjadinya  keseimbangan antara kepentingan bisnis dan keadilan sosial bagi masyarakat lokal khususnya masalah tenaga kerja.

Harapan kita semua, Cilegon bukan sekadar lokasi industri, tapi rumah bagi ratusan ribu warga yang (dulu dan sekarang) tanah dan kampung halamannya digusur untuk kepentingan korporasi. Industri harusnya menjadi penolong bagi masyarakat yang selalu gelisah dengan ancaman bencana termasuk masyarakat yang secara langsung terdampak dari aktivitas industri berupa debu, asap dan segala macam gangguan dan pencemaran lingkungan. Mereka ini punya hak atas ruang hidup yang layak dan masa depan yang lebih baik. Jika arah investasi tidak disesuaikan dengan kepentingan lokal, maka yang terjadi tetap seperti saat ini. Cilegon akan terus dibangun, tapi tidak dibangun untuk warga Cilegon. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News