Beranda Opini Darurat Kekerasan Anak Butuh Solusi Mendasar

Darurat Kekerasan Anak Butuh Solusi Mendasar

Ilustrasi - foto istimewa google.com
Oleh : Erni Yulianti S.Pd.I, Pengajar di Kabupaten Pandeglang

Kasus kekerasan pada anak di Indonesia semakin marak, menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak. Mereka-pun mencari penyebabnya dan berusaha memecahkan persoalan tersebut. Deretan kasus kekerasan pada anak, baik secara verbal maupun fisik telah menghiasi pemberitaan  hampir di seluruh media. Diantaranya, anak yang dilecehkan temannya, anak yang tewas karena perlakuan ibunya,  bapaknya, pamannya, kakeknya, tetangganya dan lain-lain.

Seorang anak sejatinya membutuhkan perlindungan, karena pada dasarnya mereka makhluk yang lemah baik secara fisik maupun pemikiran. Sayangnya, mereka harus berhadapan dengan permasalahan yang pelik yang berujung pada kekerasan. Ditambah lingkungan yang tidak ramah pada anak.

Salah satu penyebab kekerasan pada anak adalah tontonan pada film yang mengajarkan kekerasan. “Bagi anak tontonan adalah tuntunan. Film bukan sekadar hiburan bagi anak, namun juga sebagai sumber informasi hingga fungsi budaya dan pendidikan. Anak-anak dapat meniru berbagai tokoh yang ditontonnya dan juga berperan dalam pembentukan tren yang kemudian menjadi panutan bagi mereka.

Untuk itu, sangat penting bagi produsen dan lembaga sensor film memahami hal ini, sehingga film yang dibuat diharapkan benar-benar dapat memberikan nilai-nilai positif atau ramah anak,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film RI dengan tema Film dalam Perspektif Perlindungan Anak dan Hak Asasi Perempuan yang merupakan rangkaian kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri (3/11/2020).

Terkait konten perfilman, Lembaga Sensor Film RI melaporkan bahwa pada tahun 2019, film dengan kategori usia “semua umur” (yang berarti ramah ditonton anak) hanya sekitar 10-14 persen. Jumlah penonton anak tidak sebanding dengan jumlah film anak yang tersedia. Kondisi ini, membuat penonton anak-anak beralih turut menonton genre film yang tidak sesuai dengan usia mereka.

Ketua Lembaga Sensor Film RI, Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan bahwa “budaya sensor mandiri bertujuan agar masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Apalagi di masa pandemi, masyarakat menonton apa yang disiarkan di rumah mereka, baik dikonsumsi secara bebas maupun berbayar.”

Hal senada disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani “potret isi siaran saat ini belum sepenuhnya merujuk pada ketentuan Undang-Undang Penyiaran, serta masih terdapat konten kekerasan terhadap perempuan dan anak. Padahal, penyiaran merupakan kegiatan komunikasi massa yang berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat bangsa, dan kontrol sosial.

Hingga saat ini masih ditemukan konten siaran yang belum memberikan perlindungan bagi anak dan perempuan. Hal ini menjadi permasalahan serius. Oleh karenanya, menjadi penting untuk dilakukan sosialisasi budaya sensor mandiri untuk mendayagunakan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia.”

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur Andriyanto mengungkapkan masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020. Data Sistem Informasi Online Kekerasan Ibu dan Anak (Simfoni) mengungkapkan adanya 1.358 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim, yang tercatat hingga 2 November 2020.(Republika) Andriyanto mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Andriyanto menduga, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan rumah tangga karena selama pandemi Covid-19, masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah. Angka itu meningkat drastis pada 2020 yang hingga akhir September tercatat ada 55.747 kasus perceraian. Menurutnya, masalah tersebut juga harus segera dicarikan solusinya.

Nantinya akan dibagi di Bakorwil-Bakorwil yang ada di Jatim. Seperti di Malang, Jember, Bojonegoro, Madiun, hingga Sumenep. “Layanan bisa online dan offline. Yakni, untuk melayani pengendalian penduduk, ketahanan keluarga, dan terapi stres anak,” ujarnya.

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bantul Muhamad Zainul Zain menyebut, pada 2019 jumlah laporan yang masuk kepada PPA tercatat ada 155 kasus. Sedangkan di 2020, yang baru dihitung sampai dengan Oktober kemarin, jumlah kasus sudah menembus angka 120 kasus terlapor. SuaraJogja.id
“Kegelisahan ini harus bisa diminimalisir dan digarap bersama-sama oleh semua pihak. Dari mulai Pemerintah Kabupaten, DPRD, Pemerintah Kecamatan, hingga Pemerintah desa dan tentu masyarakat,” tuturnya. Lebih lanjut Zainul menjelaskan, produk turunan yang dihasilkan dari Perda tersebut dapat lebih diimplementasikan di lingkungan desa, ditambah lagi dengan sokongan dari program dan pembiayaan melalui APBDes.

Pertanyaannya, sebegitu parahkah masyarakat ini, hingga menjadikan anak-anak menjadi sasaran pelampiasan. Terlebih lagi, pelaku yang seharusnya melindungi dan menjaga justru melakukan kekerasan. Apakah sudah hilang kasih sayang kepada mereka terhadap anak-anak. Kepedulian dari semua pihak agar mampu meminimalisir kekerasan pada anak telah diupayakan, berbagai program dijalankan dan diakomodir, akan tetapi bukannya berkurang justru jumlah kasus semakin bertambah.

Sistem Sekuler Penyebab Kekerasan Anak

Sistem sekuler yang diadopsi negeri ini, memberi ruang kekerasan pada anak. Sistem yang memiliki asas memisahkan agama dalam kehidupan,  telah memberikan peluang seluas-luasnya ke arah kekerasan pada anak. Terbukti, tontonan dan game yang berkonten kekerasan dibiarkan dan difasilitasi. Adapun lembaga penyiaran merupakan bagian dari sistem sekuler ini, yang tidak memiliki kejelasan sikap.  Tayangan yang  terkategori tidak layak konsumsi anak, justru diizinkan tayang, serta tidak bertindak cepat sebelum adanya pengaduan dari masyarakat. Inilah lembaga dalam sistem sekuler yang kewenangannya telah dimandulkan karena bersinggungan dengan pemilik modal. Dalam hal ini, pelaku industri perfilman memiliki kekuatan untuk menekan agar tayangan yang diproduksi lolos dan layak tayang. Jika ini terus berlangsung, otomatis menambah suksesnya kekerasan pada anak.

Dilain sisi, para pelaku kekerasan pada anak dalam sistem sekuler saat ini dihukum dengan hukuman yang tidak menjerakan. Sebagai contoh, pelaku pembunuhan anak hanya dihukum dengan kurungan penjara, padahal pelaku telah menghilangkan nyawa manusia. Sanksi yang tidak tegas inilah penyumbang maraknya kekerasan pada anak.

Negara yang seharusnya memiliki kekuasaan penuh dan dapat menerapkan secara praktis peraturan yang mengikat warganya justru gagal melindungi warganya. Hal ini karena negara mengadopsi sistem sekuler, tidak memiliki acuan yang jelas dalam mengarahkan warganya, tidak memiliki konsep untuk memajukan peradaban. Terbukti, untuk masalah kekerasan pada anak tidak memiliki formula yang pas untuk menyelesaikannya.

Sistem sekuler yang diterapkan saat ini, menjauhkan manusia pada ketakwaan, tidak ada suasana ketakwaan yang dibangun baik dalam keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara. Manusia enggan untuk taat, enggan menyandarkan seluruh perbuatan pada aturan Allah. Inilah bahaya sistem sekuler, anak-anak kehilangan arah dan masa depan, kecenderungan pada budaya barat semakin masif, hilangnya kemuliaan pada manusia dan pasti kesengsaraan yang dirasakan oleh manusia semakin parah.

Kekerasan pada anak menunjukan bahwa masyarakat sedang sakit.Maraknya kekerasan pada anak bukti berhasilnya sistem sekuler merusak manusia terutama kaum muslim, karena muslim telah teracuni ide-ide barat dan tidak meyakini akan tingginya peraturan dalam Islam. Padahal, peradaban Islam merupakan peradaban yang mulia lagi tinggi.

Islam Solusi Mendasar

Keyakinan bahwa sistem Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan kekerasan pada anak harus dimiliki oleh setiap muslim. Islam memiliki seperangkat pedoman untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan jauh dari perilaku kekerasan pada anak. Islam membentengi setiap muslim untuk berakidah yang benar dan lurus. Sehingga memiliki pemahaman bahwa setiap perbuatannya senantiasa terikat dengan hukum Allah. Serta meyakini apapun yang dilakukan di dunia ini, akan diminta pertanggung jawaban. Inilah yang mengikat setiap individu muslim, selalu menyandarkan setiap persoalan hanya kepada Sang Pemilik dunia ini yaitu Allah SWT.

Langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan kekerasan pada anak adalah dengan melaksanakan segala aktivitas dengan kesadaran akan hubungannya dengan  Allah. Orang tua wajib memberikan cinta dan kasih sayang kepada anaknya dan memberikan pendidikan yang baik.

Sebagai muslim, kita perlu mempelajari dan mengikuti bagaimana Rasulullah saw. memperlakukan anak-anak. Hadis berikut ini membuktikan bahwa betapa besarnya kasih sayang Rasulullah saw. terhadap anak-anak. Diriwayatkan, suatu hari datang seorang kepala suku mengunjungi Rasulullah saw., kemudian dia melihat beliau sedang mencium cucunya. Kepala suku itu berkata kepada Nabi saw., “Saya mempunyai sepuluh anak, tetapi tak seorang pun di antara mereka yang pernah saya cium.” Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak mempunyai kasih sayang pada anaknya, dia tidak akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT.” (HR. Bukhari)

Kasih sayang  menjadi hal yang diutamakan terlebih bagi perempuan, seperti pujian Rasulullah kepada wanita Quraisy.
“Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita shalih dari Quraisy ; paling sayang pada anak di usia kecilnya dan paling menjaga suami pada yang dimilikinya.” (Muttafaq alaih)

Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Islam memberikan pedoman bagi sesama muslim untuk menyayangi dan melindungi

Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Bukhari dan Muslim). Islam memiliki peraturan, bagi semua agar tercipta kehidupan yang dinamis dan diridhai. Peraturan dalam masyarakat pun tidak lepas dari aturan Allah SWT, Rasulullah saw bersabda :

“Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling menjauhi, dan jangan sebagian kalian membeli di atas pembelian yang lain. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, enggan membelanya, membohonginya dan menghinanya. Takwa itu di sini—Rasul menunjuk dada beliau tiga kali. Keburukan paling keterlaluan seseorang adalah ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (HR Muslim dan Ahmad). Inilah fungsi masyarakat sebagai bagian dari kehidupan ini, yaitu melakukan pengawasan dan menciptakan suasana Islami ditengah-tengah masyarakat. Sehingga anak-anak memperoleh tempat yang nyaman dalam kehidupannya dan menjadi generasi yang shalih.

Negara memiliki andil besar untuk menghilangkan kekerasan pada anak, yaitu dengan menutup seluruh celah kekerasan pada anak. Hal tersebut, hanya bisa dilakukan dalam negara Islam karena memiliki kedaulatan di tangan Syara’ bukan pada pemilik modal. Dengan kekuasaannya, negara tidak akan memberikan tempat sedikitpun pada tayangan ataupun media yang menayangkan kekerasan. Negara akan membina rakyat untuk menjadi manusia yang taat dan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Negara dengan asas akidah Islam yang hukum perundang- undangannya merujuk pada Al Qur’an dan as Sunnah. Akan memberikan sanksi yang menjerakan jika ada pelaku yang melakukan kekerasan kepada anak, negara mendorong rakyatnya untuk beriman dan bertaqwa, meninggikan aturan Allah dan memiliki kesadaran untuk tunduk pada Syariat.

Negara memuliakan anak-anak sebagai tumpuan terbentuknya generasi yang shalih yang ditujukan untuk peradaban manusia yang agung. Negara melaksanakan fungsinya sebagai pelindung segenap warga negara. Inilah negara Islam yang memiliki kemampuan menjaga kehormatan, jiwa, dan keturunan yang tidak akan pernah dimiliki oleh negara sekuler.

Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll.)
Kehidupan Islam hanya bisa terwujud dengan diterapkannya aturan Allah dalam negara Islam bukan negara sekuler. Lingkungan yang ramah pada anak dan jauh dari kekerasan  hanya bisa diwujudkan dalam negara Islam.Wallahu ‘alam bishawwab

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini