Oleh: Sulaiman Djaya, penyair
Bertempat di gedung FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2 Juni 2024 lalu, hajatan Festival Teater Remaja Banten 2024, dengan penanggungjawab Giri Rukmana, yang bertema kearifan lokal cerita rakyat sukses digelar. Tentu program tersebut sebagai wujud memotivasi dan menumbuhkan minat dan bakat seni pertunjukan sejak dini di kalangan para pelajar sekaligus kesempatan bagi para seniman pertunjukan dan yang terkait untuk mentransmisikan pengetahuan dan kerja kreatif mereka di sekolah, kepada para siswa.
Festival itu diikuti oleh 9 peserta: SMKN 1 Pandeglang (STA Working Class), Teater Gardanawa (SMAN 10 Pandeglang), Teater Nol Banten (SMAN 1 Jawilan, Serang), Teater Tenda (SMAN 2 Kota Serang), Teater Litani (MTS Darul Irfan), Teater Batas (SMA Ikhlas Multi Program Jawilan, Serang), Pohon Asem Teater (SMA Peradaban Serang), Teater Eskalapa (SMKN 8 Pandeglang), dan Sangsendu Teater (SMAN 8 Kota Serang), dengan juri penilai: Ahdi Z. Amri dari Dewan Kesenian Cilegon dan Dede A. Majid dari Guriang Tujuh Indonesia serta saya sebagai juri pengamat.
Para peserta mementaskan cerita-cerita rakyat Sabakinkin, Dampu Awang, Sangkuriang dan yang lainnya. Mereka berangkat dari naskah yang sudah ada dan disediakan, meski sebenarnya bisa saja mereka mengembangkan cerita secara kreatif, namun dalam kadar mereka hal tersebut belum mereka lakukan. Akting dan struktur cerita yang mereka tampilkan lumayan baik, tapi masih perlu dimaksimalkan. Terlebih di usia mereka, masih sangat mungkin bakat asli alami mereka berhasil menjadi khas mereka.
Upaya pengenalan dan pewarisan kerja kreatif sejak dini di kalangan generasi muda sudah tentu pula merupakan wujud nyata pelestarian nilai-nilai dan etos kreatif kebudayaan. Terlebih tema yang dipilih, kearifan lokal cerita rakyat, sejalan dengan misi pemajuan kebudayaan: melestarikan khazanah sastra lisan melalu seni pertunjukkan (teater/drama), yang selaras pula dengan program pelestarian kekayaan bahasa dalam masyarakat bangsa kita. Sebab pementasannya memadukan Bahasa Indonesia dengan bahasa lokal Banten.
Selama ini, dalam hampir seluruh kerja kreatif, semisal seni dan sastra, kita selalu dipengaruhi seni Barat. Ketika ramai-ramai gerakan intelektual dan politik postmodernisme, sebagai contoh, kita pun ikut terpesona dan merayakannya dengan gembira. Dalam teater, tiba-tiba dikenal pula istilah teater postdramatik atau postdramatic theatre. Seakan perubahan gerakan artistik, intelektual, dan teoritik Barat dalam dunia kreatif seni itu sejalan pula dengan kondisi historis, sosial, kultural masyarakat di mana tempat kita hidup yang sebenarnya memiliki kearifan falsafah dan kultural adiluhung yang belum sepenuhnya digali dan dipahami.
Kita pun kemudian merayakan kerja kreatif seni seakan-akan hanya untuk para seniman itu sendiri, katakanlah hanya untuk kelas menengah semata (termasuk mereka yang dari kalangan kaum literati dan akademik), tidak menganggap dan melibatkan preferensi persepsi, penerimaan, dan penerimaan kultural dan sosial masyarakat kita kebanyakan. Padahal sejarah budaya kita telah menunjukkan seni-seni yang membangun komunikasi-konstruktif dan egaliter antara para seniman dan penonton (masyarakatnya), seperti lenong, wayang orang, ubrug dan lainnya.
Teater sendiri merupakan transformasi dan adaptasi dari ritus keagamaan dan hiburan rakyat, meski ada teater Mesir Kuno yang konon dalam rangka mengisahkan peristiwa epik, sesungguhnya tidak lah umum dikenal. Adapun teater kuno Yunani telah disinggung Friedrich Nietzsche dalam bukunya yang berjudul The Birth of Tragedy itu, di mana pada mulanya merupakan pentas ditirambik yang didominasi paduan suara sebagai simbol kesemestaan bersama manusia dalam menerima tragedi dan penderitaan dalam hidup dan sejarah manusia.
Tak jauh berbeda dengan mula transformasi ritus menjadi teater di Barat itu, Ubrug Banten sebagai contoh kesenian rakyat kita pada mulanya merupakan medium penghiburan yang bebas, tidak terpaku pemanggungan, tetapi bisa di tempat terbuka yang bukan panggung, seperti di pasar, sebelum pada perkembangan selanjutnya di era 70an hingga 90an, Ubrug Banten bisa dipesan untuk memeriahkan seremonial masyarakat, semisal hajatan keluarga yang sanggup membayar mereka. Dalam pentas bebas itu, yang terjadi adalah kesetaraan dan keterlibatan antara teater dan para penontonnya.
Kelas penguasa dan borjuasi lah yang kemudian menyingkirkan peran rakyat jelata dan kemudian membangun panggung teater. Meski panggung teater pada akhirnya tidak pernah sanggup mewadahi keseluruhan gambaran apa yang ingin disampaikan atau dipentaskan teater, sebab sesungguhnya panggung terlampau kecil untuk ‘merepresentasikan’ keutuhan apa yang hendak dilakukan oleh ‘drama’ atau cerita teater itu sendiri. Nietzsche, contohnya, agak sedikit mengkritik para dramawan Yunani yang menghilangkan unsur paduan suara dalam teater kuno Yunani.
Tantangan kita saat ini adalah bagaimana teater mampu mendatangkan penonton yang bukan sesama seniman atau pun para pegiat seni dan sastra saja, tetapi diminati pula oleh ragam kalangan, karena relevansinya dengan kehidupan dan pengalaman bersama ummat manusia. Teater bukan semata ‘proses kreatif’ para senimannya, tetapi produk yang sekiranya bisa dinikmati banyak orang. Warisan diskriminatif yang dilakukan borjuasi dan penguasa dalam kerja dan produk seni sudah semestinya dihilangkan, dan kita kembali membangun komunikasi interaktif dengan masyarakat penikmat, pembaca karya dan kerja kreatif intelektual dan kebudayaan kita.
Saat ini, pilihan-pilihan ‘penghiburan’ dan ‘katarsis’ masyarakat mendapatkan banyak pilihan, seperti film, sinetron, reality show, gossip, dan acara atau sajian digital lainnya di jaman Internet of Things kita sekarang. Belum lagi ragam platform dan aplikasi media sosial yang sudah terbukti memiliki pengguna yang sangat banyak. Adalah menarik, barangkali, mengaktualisasikan dan mengkontekstualisasikan warsian dan khazanah seni pertunjukan rakyat kita untuk dipentaskan teater kita saat ini. Tentu saja dengan sentuhan dan polesan yang sesuai jamannya, yah jaman kita saat ini.
Bukan semata-mata hanya dalam rangka pertahanan budaya, tetapi sebagai wujud menemukan dan menciptakan kreativitas baru yang berakar dari warisan dan khazanah falsafah dan kearifan kita sendiri. Dengan begitu, sesungguhnya kita pun akan menawarkan teater khas kita, dengan tidak harus menafikan atau mencampakkan sumbangan intelektual dan kultural mutakhir bersama di luar bangsa kita selagi cocok dan relevan untuk kerja, karya dan produk kreatif kita.
Ke depan, festival seperti ini sudah semestinya diselenggarakan di tempat yang memadai dan representatif, agar memberikan ruang kreatif pementasan yang lebih baik dan lebih maksimal. Catatan dari saya sendiri, diantaranya: agar para pekerja teater tidak menafikan pentingnya riset dan terus menggali inspirasi-inspirasi kreatif dari khazanah sejarah dan budaya bangsa kita menjadi tawaran-tawaran alternatif yang segar dalam seni pertunjukkan. Yang juga tak kalah penting adalah komunikasi yang baik antara para seniman dengan pihak-pihak sekolah untuk sama-sama memotivasi dan menumbuhkan bakat-bakat seni di kalangan pelajar.
Bersamaan dengan itu, perlu pula diadakan diskusi dan workshop bersama yang melibatkan pihak sekolah, para pelajar dan para seniman untuk berbagi pendapat dan pengalaman serta saling memperkaya satu sama lainnya secara guyub dalam rangka membangun komunikasi yang sehat dan ekosistem yang baik demi meningkatkan mutu sekaligus menjaga semangat kreatif kerja intelektual dan kebudayan kita. (*)